UNTUK SIA


-Singaraja, 30 Mei 2020- 10.38 AM.
Sad story made by Risma.karisma


Ternyata, tidak semua novel fiksi akan tetap fiksi. Tidak menutup kemungkinan bahwa itu akan terjadi di beberapa kehidupan. Mungkin terdengar manis, jika membayangkan. Tapi tolong sayang, tidak semua penulis dapat membuat kisah yang berakhir bahagia, bersatu, dan bersama hingga tua.

Kenal karena perjodohan, atau sebuah kesepakatan, lalu memuai konflik, berusaha mencapai klimaks, tapi tak bisa sampai ke penyelesaian. Hanya berputar di genangan masalah dan teriakan lara itu, tanpa tau jalan pulang atau setitik cahaya ketika terbangun dari koma.

Aku menulis sederet kata, sambil menunggu kepulangannya. Di tengah malam gelap dan sunyi, berteman dengan kenestapaan dan riuh kesenangan dunia gelap. Aku menunggu, sambil tetap mengukir lukisan yang tanganku buat.

Ya.. Lukisan aksara.

Aku memejamkan mata sejenak, membiarkan angin terhembus dari jendela dan pentilasi udara yang memang sengaja ku buka.

Minggu kemarin, ia mengatakan jika akan pergi. Seperti biasa dengan raut wajah tanpa ekspresi. Berlalu pergi, tanpa kenangan romantis telenovela.

“Aku ditugaskan di pulau perbatasan.” Dia menatapku.

 Aku akan pergi sekarang.” Diam sejenak, melangkah pergi dengan kalimat penutup.

“Jaga dirimu saat aku tidak ada”

Begitulah, hanya tiga kalimat tanpa bisa dirangkum menjadi sebuah paragraf. Dia pergi membawa tas ranselnya yang lebih mirip seperti beras lima puluh kilo di punggungnya.

Aku hanya bisa tersenyum menghantar kepergiannya. Seraya berkata

“Hati-hati.”  Melambaikan tangan ucapan perpisahan walau bodohnya aku tau ia tak akan melihat.

Sesak rasanya, saat tau dia masih tidak bisa membuka hati padaku. Segala cara telah kulakukan, tapi tetap tak ada perubahan. Satu dan dua patah lontaran tiap harinya. Tak niat mengurangi, bahkan melebihi.

Miris rasanya, perjalanan hatiku begitu menyedihkan.

Awalnya memang aku sangat keberatan, tapi entah sejak kapan, perasaan ini bermunculan aku tak tau. Aku tetap memberi haknya, kewajibanku, dan seperti biasa, mengurus, membersihkan semua kulakukan dengan senang hati. Lelah? Tentu sangat melelahkan, tapi kau tau? Aku tak bohong, jika aku berkata kepulangannyalah penyemangatku.

Tubuhku seperti diberikan fast charge.

Aku pernah dengan beraninya berkata, saat itu akulah yang akan mencuci bajunya. Karena setiap pagi, dia menggerutu pelan karena hasil cucian laundry masih menyisakan kusut. Tapi dia tak pernah memarahiku, hanya menggerutu dengan alis yang mengkerut.

Lucu jika diingat, bahwa tetap saja dia memasang seluruh atribut itu ketempatnya.

Hah, mengingatnya membuatku merindu.

Tidak apa. Walau dia tetap membisupun akan ku cintai selamanya. Sampai kapanpun. Hanya saja, satu yang ku takutkan adalah, ia memutuskan tali merah yang telah terikat erat.

Ya.. hanya itu yang kutakutkan. Tidak jika dia menamparku, tidak juga jika dia tak mengucap salam, tidak jika dia ingin tidur terpisah, dan juga tidak jika dia berbincang dengan perempuan lain.

Itu saja.

Cukup bagiku.

Aku beranjak tidur, mengambil salah satu bajunya. Ya, baju lapangan dengan corak campuran hijau coklat.  Memeluk erat, merasakan dirinya hadir di sampingku. Aromanya seakan mengatakan bahwa dia selalu ada dan selalu sigap untukku. Hah.

Itu hanya hayalanku saja mungkin?

Aku memejamkan mata, meringkuk di tempat tidur yang begitu besar untuk kuisi sendiri. Entah kenapa, hatiku seperti dihujam banyak duri. Perih.

Itu yang kurasakan sekarang. Mengingat dia taka da di sampingku. Dan selalu saja seperti ini.

Apakah aku kuat?

Tentu tidak. Itu adalah pertanyaan bodoh. Setiap melihatnya pergi, hatiku remuk redam. Takut jika dia tak kembali. Dan malah memberiku surat pemutusan.

Sangat takut.

Ya.

Terlalu sering, sampai menjadi bagian dari mimpi burukku.

Sudahlah. Aku berusah tertidur, bersama isakan yang menemaniku.

Terlelap di dalam mimpi yang entah apa isinya.



Terbangun kembali, saat matahari belum menampakan sinarnya. Berusaha tersenyum pada diri sendiri, dan bergegas ke dapur. Menyiapkan seluruh keperluan memasakku. Aku kembali menaikkan kedua sudut bibirku kala mendengar berita resmi dari grup Lembaga, jika ia akan pulang hari ini.

Seharian aku terus tersenyum. Moodku memang sekarang sedang naik turun. Aku terlalu sensitive jika menerka lagi berapa kali aku tersenyum dan kembali menangis. Tapi, baiknya, aku tau alasan mengapa hal ini teradi kepadaku.

Dan aku takut-takut senang memberi tau padanya.

Aku tak bermaksud membuat kalian penasaran, Sayang. Pasti kalian sudah tau maksud dari perkataanku bukan?

Hahaha, tentu saja. Jadi tak usah kujelaskan kembali.

Siang menjelang sore, aku terus menunggunya sambil memakan kue yang baru saja kubuat. Masakan telah siap dan melimpah banyaknya. Aku sangat tau, bahwa dia tak suka makan sembarang, maka karena itu, saat pertama kali kita bersama, aku bertekad untuk memenuhi kebutuhannya.

Berita-berita dan acara tayangan televisi hanya menjadi layar untuk mematikan kesunyian ini.

Aku bertumpu pada sofa, membaca buku penelitian yang telah rampung dan telah dijadikan referensi dari beberapa buku lain. Aneh ya..

Aku membaca bukuku sendiri tanpa tau akan bosan.

Aku tetap tersenyum, walau jam berputar begitu cepat, dan memperlihatkan malam bergelayut di atas sana.

Aku berusaha tersenyum walau ada sedikit kerikil di relung hatiku. Seperti peristiwa yang tak ingin kulihat akan kulihat.

Dan benar saja, beberapa menit kemudian. Ponselku berdering, dari markas pusat.

Mengatakan hal yang benar-benar tak ingin aku percaya.

“Hormat kami. Maaf, kami kehilangan radar dengan pasukan IC117, pasukan yang beranggotakan suami anda.”

Aku diam.

Seluruh sendiku seperti tak bisa digerakkan.

Luruh kelantai, menatap nanar nasibku.

Orang itu kembali menghela nafas, lalu melanjutkan.

“Sebenarnya, kami kehilangan kontak tiga hari yang lalu. Tapi saat itu, kami masih berusaha mencari radar yang tersisa. Maafkan kesalahan kami.”

Dan sambungan itu terputus. Menyisakanku yang tetap berusaha tidak percaya.

“Tidak mungkin.” Sahutku pelan. Tanganku lemas.

Aku menutup mulutku, disanalah tak terbendung lagi rasa lara yang menyesak.

Tangisku tumpah begitu saja. Tak ingin kuhentikan, dan tak ingin kembali berusaha tegar.

Siapa lagi yang ingin kuperlihatkan ketegaran ini?

Siapa?

Hanya dia yang mampu membuatku aman, walau hanya dengan satu tarikan nafas.

Aku tak mempunyai siapa lagi selain dia. Hanya sebatang kara.

Aku mengelus perutku, membisikkan kata-kata penyemangat pada buah hatinya.

“Tidak apa-apa. Jangan ikut lemah.” Kataku pelan. “Aku berjanji hanya hari ini aku akan menangis. Setelah itu, kau akan melihat ibumu adalah sosok yang tegar.” Aku terisak pelan, mengelus perut yang telah sedikit membuncit itu. “Tenanglah. Ibu ada disini untukmu, Sayang.”

Tangisku kian mengeras, aku tak bisa lagi membedakan yang mana hayalan dan kenyataan.

Karena saat disela tangis kubuka mataku. Dia terlihat di daun pintu. Bersamaan dengan wajah penuh noda, menggendong tas yang pernah kuejek seperti menggendong beras saja.

Tersenyum tipis di wajah tanpa dinginnya.

“Jangan menangis. Aku mencintaimu.” Dia mendekat. “Selalu mencintaimu.”

“Sia.”



Katakanlah padaku. Apakah ini kenyataan? Atau hanya hayalan?
Karena tentu, aku akan memilih kenyataan, walau akan kuterima jika seandainya dia benar-benar pergi.




*****

Surat singkat,

Dari saya, untuk Sia. Istri saya.

Sudah lama saya ingin menyampaikan ini, bahkan sangat ingin cepat-cepat menyampaikan padamu. Tapi, maaf. Entah kenapa, seluruh keberanian saya hilang ketika menatap manik matamu. Ya, katakanlah saya pengecut, karena benar adanya bahwa saya sangat takut menghadapimu. Saya sungguh bukan pasangan yang baik, dan jauh dari kata sempurna. Tapi kamu tidak pernah sekali saja menentang, atau bahkan mendiami saya. Kamu masih saja bangun setiap pagi, memasakkan saya makananmu, menyetrika baju saya, membuatkan saya air hangat, menunggu saya pulang setiap malam. Kamu masih melakukan semua itu, walau saya memutuskan untuk tidak lagi satu ranjang bersamamu.

Terkadang saya berpikir, kamu begitu bodoh, dan bagaimana bisa kamu masih tahan akan kelakuan saya yang begitu brengsek ini, Sia? Saya tidak tau, terbuat dari apa hatimu. Kamu masih saja tersenyum, ketika saya mengatakan banyak pekerjaan, kamu tetap sabar saat saya tidak ada kabar. Rasa-rasanya, saya tidak pantas menerimanya.

Perlakuanmu membuat saya meluruh, mulai menyadari arti dari rumah, dan selalu berusaha berdiam diri dirumah sebanyak-banyaknya. Karena apa? Karena saya ingin melihatmu tertawa saat menonton televisi, saya ingin melihat kamu mengespresikan perasaanmu. Sungguh, saya tidak tau, bagaimana cara agar kamu tau bahwa saya juga mempunyai perasaan yang sama sepertimu? Saya terlalu malu, Sia. Kamu tak pantas saya dapatkan, tapi kamu tetap saja bertahan.

Kami diberi perintah untuk membuat surat, setiap menjalankan suatu misi. Dan seluruh surat itu hanya tertuju padamu. Satu yang ingin saya katakan padamu. Begitupun satu yang saya doakan, yaitu.

Agar kamu tidak pernah menerima satupun surat yang saya tulis.
Saya ingin berusaha, untuk mengatakan, bahwa
Saya juga sangat menyayangimu. Sangat mencintaimu.

Maaf dan terima kasih.



Tertanda,
Suamimu.


Letnan Greehan Akasa.
30 Januari…












Comments

  1. OMG, aku kebaperan bacanyaaaaa..bentar lagi nyusul aeeee

    ReplyDelete
  2. keren cerita nya mbk wik..terus semangat untuk cerita yg baru lagi...

    ReplyDelete
  3. Ceritanya bagus mbk wik...terus berkarya ya n smoga kelak menjadi penulis yg sukses

    ReplyDelete
  4. Yaa ampun, bener² ngena banget ceritanya, aku sampe kebawa perasaan loh:(
    Tapi aku masih bingung, itu suaminya beneran dateng atau cuma mimpi:(

    Kak lanjutin yaa ceritanya, aku salut banget sama Sia, tegar ngadepin cobaan yg seberat itu:(

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bagaimana?

S(t)ick with U