When
Anaphalis javanica
Sudah satu minggu lebih, hujan
tidak berhenti sama sekali. Siang seperti malam, bahkan malam lebih gulita dari
sebelumnya. Sepertinya, Dewa asik dengan perayaannya, sampai-sampai menurunkan
rahmatnya tak henti-henti.
“Huh….” Perempuan berambut
panjang sepunggung, memegang payung bening, berjalan menyampiri trotoar.
Perkenalkan, namanya Mawar. Gadis
kelas akhir SMA yang sedang putus cinta. Baru saja. Iya, mungkin sekitar
setengah jam yang lalu.
Pacarnya sebelum tiga puluh menit
terakhit menjadi mantan, mengajak bertemu di alun-alun kota, memberikan
sebutket bunga terakhir sebelum kata-kata menyakitkan itu keluar tanpa kontrol.
Kata jenaka yang sensitif seperti pantat bayi. Kata seperih badai yang
menerjang Aceh dulu.
“Kita sampe sini aja ya, putus.” enam kata, satu koma, satu titik. Dan Mawar mengangguki saja seperti orang bodoh. Mungkin terhipnotis, atau apapun itu. Tapi bagian penting, Mawar tidak sangsi. Seperti hal itu wajar dilakukan oleh seorang pria, dan wanita hanya bisa pasrah dengan keadaan.
Kaki-kakinya berjalan beriringan,
menyipratkan hujan yang telah terinjak-injak di tanah, mengeluarkan suara kecil
yang membuat semakin perih hati. Sungguh dalam relung yang terdalam, dan logika
yang terpandai, Mawar sama sekali tidak tau kenapa Eidel, yang setengah jam
lalu telah menjadi mantannya memustuskan sepihak.
Padahal, kemarin mereka masih
sempat memakan martabak manis berdua di warung kaki lima pinggir jalan.
Kemarinnya lagi, Eidel dengan senyum mengantarkan Mawar meminjam buku ke
perpustakaan daerah, sorenya mengajari Mawar bahasa Jerman. Kemarinnya lagi,
Eidel menginap di rumah Mawar, bermain bersama Iris, bocah umur tiga tahun,
adik satu-satunya yang Mawar miliki.
Tapi kenapa sekarang malah kata
putus yang mengiang-ngiang di otaknya? Mawar tidak menangis, matanya kering,
tidak sedih, tidak juga Bahagia, siapa yang bisa Bahagia setelah putus? Ah..
mungkin sebagian orang, tapi tak termasuk Mawar. Ia hanya menatap kosong
jalanan di depannya. Berharap hujan menggila, agar dengan sepenuhnya menjadi
wali dari air mata keringnya.
Menggenggam pemberian terakhir dengan erat. Berharap ini hanyalah mimpi.
“Kakak!! Iris lapeeeer,” teriakan
itu menyentak Mawar yang termenung menonton hujan di bingkai jendela kamarnya. Ia
menoleh, melihat adiknya tertatih tatih berjalan ke arahnya. Tersenyum, ia
merentangkan tangannya.
Melihat sekali lagi lima buah
campuran bunga yang dengan cantik menghiasi meja belajarnya. Bunga terakhir
dari mantan pacarnya. Eidel.
Menarik nafas panjang, Mawar
melepaskan sementara bayangan Eidel di kepalanya. “Iris mau makan apa?” Ia
beranjak, menggendong Iris dengan sayang, menuju dapur dan menaruhnya di atas
pantri.
“Telolr kakak”
“Telur?” Mawar mengernyit,
“bukannya kemarin udah makan telur? Kemarinnya juga udah, gimana kalo sekarang
makan sayur? Iris suka wortel, ‘kan? Kakak buatin sop ya? Waktu itu Iris makan
banyak kalo kakak buatin sop.”
Bocah laki-laki berkulit kuning
langsat itu menggeleng, matanya yang bulat lucu menatap Mawar sangsi. “Iyis mau
telolr kaka” rengeknya memegang ujung baju Mawar.
“Iya iya, kakak buatin telur.
Tapi harus makan sop juga, nanti kakak suapin. Gimana?”
Bocah itu mengangguk khidmat,
duduk diam melihat kakaknya mulai memotong sayuran berwarna jingga.
“Iris jangan mandi sekarang ya,
ganti baju aja. Soalnya hujan, takutnya Iris sakit.” Kata Mawar. Ia melihat
anggukan sekali lagi dari adiknya.
Iris tidak seperti banyak anak
kecil lainnya. Ia lebih pendiam dan tidak rewel. Mungkin hanya disaat sakit,
dan akan sangat cerewet jika bersama Eidel.
Aaah…. Kembali lagi ia mengingat
Eidel.
Eidel… Eidel… dan Eidel.
Laki-laki pertama yang masuk ke
hatinya, lembut dan tak akan pernah terlupakan. Ia begitu bodoh, mengiyakan
saja pernyataan laki-laki itu. Ia tidak bertanya kenapa, kenapa, kenapa. Kenapa
ada kata ‘putus’ tanpa ada masalah? Apakah ia membuat laki-laki itu marah atau
apa? Sungguh bodohnya.
Hah… Eidel. Bagaimana Mawar akan
menjelaskan pada adiknya jika Iris terus menyuruh Eidel main ke rumah?
Mawar menggeleng, itu bisa
masalah nanti. Yang sekarang adalah membuatkan makanan Iris dan membantunya
belajar.
Belajar….
Eidel selalu mengajarinya bahasa
Jerman dengan sabar. Sangat sabar, dengan konsep yang mudah dan ampuh diingat.
Eidel seperti guru privat
baginya. Atau mungkin sudah, karena Mawar akan memberikan beberapa lembar uang
dengan paksa pada Eidel.
Ia tau jika Eidel akan
mendapatkan konsekwensi jika pulang malam. Maka dari itu, Mawar tidak mau
terlalu banyak berutang budi pada Eidel. Laki-laki yang kini sudah menjadi
mantannya.
Hah…! Kenapa ingat lagi.
“Ck!” decaknya, menuangkan sop
berisi wortel, jagung, bayam, dan kentang di mangkuk khusus Iris, dan satunya
ke mangkuknya. Mangkuk biru laut pemberian Eidel di ulang tahunnya yang ke
tujuh belas. Hadiah sederhana. Namun ada makna. Jika di usap hati-hati, ada
ukiran namanya dan nama Eidel di sana. Iya… nama mereka.
Mawar memejamkan matanya, menarik
nafas dan membuang nafas beberapa kali, sebelum menggendong Iris menuju ruang
keluarga. Menyetelkan lagu favoritnya sembari menyuapinya sop dan telur mata
sapi.
“Iris habis ini mau ngapain?”
“Mhau thidul tama khaka.” Kata
Iris dengan mulut penuh.
“Habisin dulu makanannya,
sayang.”
Iris menoleh, menatap Mawar.
“Kakak tanya Iyis, jadi Iyis jawab.”
“R Iris, I R I S. coba.”
“Iyis.”
“Iris.”
“Iyiiiiss”
“Kamu kalo lagi males gini ya.
Ckckck, ayok cepet makannya.” Mawar terkekeh geli, menyuapkan kembali.
Hujan bertambah deras di luar
sana. Mungkin akan ada berita pohon tumbang dibeberapa titik besok. Seperti
berita sebelum sebelumnya.
“Yuk, lagi satu suap. Setelah itu
Iris cuci tangan dulu, habis itu tunggu kakak di kamar mandi. Gosok gigi.”
“Makaci kaka.”
Cup
Mencium pipi Mawar, dan bergegas
mencuci tangan.
“Sikap giginya yang bener, Iris.
Supaya giginya Iris tetep bersih, ga item-item. Iiih, jelek kalo item. Iris mau
gaada yang temenan sama Iris karna giginya item?”
“Engga kakak, Iris sikat gigi
yang bener.”
“Iya.. iyaa… udah kumur sekarang,
kakak udah nyiapin bajunya Iris. Jangan main air Iriiiiss.” Mawar mengambil
tangan adiknya yang mulai menyipratkan air kemana-mana.
“Gaboleh nakal sayang, nanti Iris
sakit. Sini kumur dulu.” Ia membantu Iris menyangga gelas yang biasa digunakan
untuk sikat gigi. Membasuh wajah adiknya, sampai kaki.
“Naaah, udah. Ayuuuk kita
tiduur.” Mawar menerbangkan Iris. Tertawa senang, Iris meminta lagi.
“Hahaha, enak ya Ris. Kamu ringan
sih, kakak jadi kuat nih. Hiyaaa.” Mawar membawa adiknya ke kamar. Bersiap-siap
tidur.
Sebelum bel itu berbunyi nyaring.
Tepat pada pukul 10 malam.
Mawar melihat Eidel di depan
pintu rumahnya. Basah kuyup, bibir pucat, namun tak melunturkan senyumnya yang
memang manis.
“Gue nginep disini ya, Mawar.”
Katanya lirih.
*Bersambung Part 2
Comments
Post a Comment