When [Part 2]

“Aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Kamulah yang harus berjanji pada diri sendiri untuk tetap bertahan.”

Ponsel berdering, sungguh bising. Ditambah suara hujan di luar sana, lengkap sudah penderitaan bagi seseorang yang sangat tidak menyukai hujan.

Eidel namanya. Eidel Hoffman. Laki-laki berumur 18 tahun, senior tertinggi di SMA. Berkulit putih bersih, dan warna rambut coklat tua.

Menelungkup dengan pakaian basah di sudut tembok kamarnya. Sunyi sepi, dan miris.

Satu jam yang lalu, kata-kata yang telah ia rangkai telak sudah ia sebut. Pada orang yang sangat ia cintai. Cinta pertamanya, Mawar Marieke van Raymond. Ia tidak bodoh, tidak dengan gampang mengatakan hal itu, namun juga tidak bisa menyimpan terlalu lama kata-kata itu.

Eidel bimbang awalnya, namun ia meneguhkan hati. Dan mengungkapkan bersama dengan bunga yang telah ia bawa.

Jika Mawar berpikir bahwa itu bunga terakhir, Eidel akan menolak tegas pernyataan itu. Karena…

Tidak tau, ia tidak tau. Kenapa hidup begitu sulit?

Tombol hijau di ponsel ia geser, menempel ke telinga, ia mengucapkan salam sebelum mulai mendengarkan.

Guten Abend.”

“………….”

“Ya mama, saya akan memutuskan. Beri saya waktu beberapa hari lagi, saya akan menghubungi mama secepatnya.”

“………”

“Ya, saya sudah mengikuti apa kata mama. Tapi ingat juga perjanjian kita.”

“……….”

“Mama tidak berhak melarang saya untuk hal itu. Terima kasih sudah mengabari.”

Tut…tut…tut….

“Ck!” Eidel mengacak rambutnya, melayangkan tatapan benci ke hujan yang sudah membuatnya basah kuyup, dan benci dengan perjanjian bersama mamanya.

Eidel terlahir dalam perkawinan campuran dari Jerman yaitu Ibunya, dan Ayahnya orang lokal. Sebenarnya Eidel sangat menyayangi ibunya sejak ayahnya pergi beberapa tahun silam. Ia adalah ibu kandung yang baik, namun sedikit posesif dan overprotektif. Barretta, ibu dari Eidel memutuskan untuk pulang ke negara asal, karena belum bisa melupakan kenangan bersama suami tercintanya. Dan Eidel memilih menetap karena ia lebih suka iklim tropis di sini. Belum lagi bahwa cintanya ada di sini. Lalu untuk apa ia ikut ibunya? Barretta akan baik-baik saja di sana, karena keluarga besarnya ada di sana.

Namun dua bulan belakangan ini, Barretta meneror Eidel untuk cepat-cepat menentukan kuliahnya. Barretta ingin Eidel memilih jurusan Arsitektur seperti ayahnya, walau sebenarnya Eidel lebih menyukai profesi dokter.

Akibat keinginannya itu, Barretta mengancam dan memberinya dua pilihan. Salah satunya adalah memutuskan hubungan dengan Mawar dan memilih jurusan yang ia sukai. Atau mengambil jalur arsitektur, dan tetap menjalin hubungan dengan Mawar.

Memikirkan itu saja membuat Eidel kesal bukan main. Ia mengambil jaketnya, bergegas turun dari lantai dua rumahnya. Dan menerjang hujan yang dibencinya begitu saja.

Satu tujuan adalah, rumah Mawar.

Bermain dengan Iris adiknya, setidaknya bisa membuat pikiran Eidel lebih tenang. Tadi, ia seperti telah melakukan kesalahan terbesarnya. Melepas orang yang sangat ia cintai. Mawar selalu sabar akan tingkah lakunya, sabar memberi tahu mana yang patut dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Walaupun begitu, Mawar tidak pernah mengekangnya terlalu jauh. Eidel mengerti, jika gadis itu akan berbicara hal yang sudah ia pikirkan baik-baik, dan tidak mungkin asal berbicara. Saat cemburupun, gadis itu hanya diam, menunggu usai, lalu mengatakan yang sebenarnya. Eidel tersenyum, merasa bersyukur mengenal Mawar di hidupnya.

Depan rumah Mawar, ia sudah merasa sangat kedinginan, ia memang tidak bisa terkena hujan dalam waktu yang panjang. Ia memencet bel rumah itu dengan tangan gemetar. Lalu pintu terbuka tidak lama setelah itu, menampilkan raut wajah khawatir Mawar dan raut sumringah Iris.

“Eidel? Kok kamu basah-basahan sih? kenapa?” kata Mawar panik.

“Gue nginep di sini ya, Mawar.”

“Hah?! Kok kamu ga bilang-bilang Ei tadi? Astaga, kamu sakit gimana? Ini pasti sakit besok. Udah tau gabisa kena hujan, masih aja keukeh.” Mawar menarik Eidel ke dalam rumah, mengunci pintu. berlari ke arah dapur sembari berteriak pada Iris.

“Iris sayaaang, tolong bawain handuknya Kak Eidel ya, sekalian ambilin bajunya, dek. Kakak buatin air hanget buat Kak Eidel.”

Iris mengiyakan, berjalan cepat mengambil handuk yang biasa Eidel gunakan jika menginap. “Kakak kenapa hujan-hujanan? Nanti cakit, Kak Mawar repot.” Kata Iris, memberi handuk dan pakaian ganti.

Eidel terkekeh. “I won’t get sick because of that rain, Iris. I’m strong.” Kata Eidel mengusap rambut Iris dengan sayang.

Okay, Eidel juga seneng kak Ei dateng. Iyis uda punya banyak ceyita buat kakak.” Iris membuat lingkaran besar menggunakan tangannya hingga menjinjit lucu. Ia mulai bercerita akan kosa kata baru yang diajari Mawar, dan makanan yang tadi ia makan bersama.

“Kamu ganti baju dulu, Eidel. Jangan deket-deket Iris juga, nanti dia ikut sakit.” Mawar datang dengan segelas air hangat. Ia mengambil alih handuk yang dipegang Eidel, menggosok rambut Eidel dengan teliti. “Kamu udah makan?”

Eidel menggeleng. “Gue belum makan apa-apa.  Tapi gue ga laper. Nanti aja kalo gue laper.” Katanya.

Mawar mengangguk. “Kamu mandi dulu, Iris juga tidur ya, udah malam.”

Iris menggeleng. “Iyis tidur sama Kak Ei. Nanti setelah mandi.”

“Yaudah, kakak keluar dulu, bersihin dapur. Iris gaboleh nakal, dan kamu…” Mata Mawar menatap Eidel yang sudah berjalan menuju kamar mandi.

“Kenapa?” kata Eidel.

“Jangan lama-lama.” Eidel tersenyum iya. Ia masuk, memejamkan mata. Bodoh sekali dirinya. Seharusnya ia tidak memutuskan gadis itu sepihak. Namun, ia juga tidak bisa harus mengikuti kata ibunya untuk kuliah ke jurusan arsitektur. Menjadi dokter bedah adalah cita-citanya sejak dulu.

Eidel menghela nafas gusar. Menghidupkan shower, membasahi semua tubuhnya dengan air hangat yang mengalir. Tidak ia sangka, bahwa ia akan mengeluarkan air matanya demi Mawar. Gadis ajaib yang sudah membuat dirinya ketergantungan.

Di lain tempat, Mawar selesai mencuci barang-barang makan Iris. Sebisa mungkin ia mencoba baik-baik saja. Entah apa yang diinginkan Eidel, Mawa mencoba mengerti. Menarik nafas, ia beralih pada sisa-sisa mainan yang Iris lupa bersihkan. Mengatur ulang buku-buku cerita di rak. Lalu merapikan kamarnya yang sedikit berantakan, baju-baju ia lipat sesuai warna, bantal yang berceceran karena bermain dengan Iris, dan bunga yang ada di sudut mejanya.

Mawar terdiam menatap bunga tersebut. di ambilnya lagi, lalu dihirupnya dalam-dalam. Ia harus kuat, ia masih mempunyai Iris walau tidak ada kedua orangtua yang akan mengayominya ke depan. Setidaknya ia harus kuat demi Iris.

“Mawar, lo masih lama?” Mawar tersentak, menatap Eidel yang sudah dengan wajah segarnya di daun pintu. “Can we have a chat?” katanya.

Mawar mengangguk. “Kamu udah minum air hangatnya?”

“Udah habis, Iris udah tidur juga.”

“Oke, aku mau seli-“

“Udah gue selimutin dia. Semua udah beres.” Kata Eidel memotong. “I’m so sorry, Mawar.”

Mawar tersenyum teduh. “Aku mau dengerin semua, Ei. Kita di luar aja, ya.” Eidel mengangguk sebagai jawaban. Berjalan dan duduk di sofa ruang keluarga.

Mawar menempatkan diri di single sofa. “Kamu ga laper? Yakin?”

“Kenapa lo tetep baik sama gue?”

Because I still love you and so do you.” Mawar tersenyum mengucapkan kata-kata sederhana yang bisa membuat hati Eidel menghangat.

My mother. She told me that I should make a choice. She…” mengalirlah cerita dan semua perasaaan yang sudah laki-laki itu pendam selama ini. alasan mengapa ia memutuskan hubungannya sepihak, bagaimana ego membuatnya melupakan suatu hal yang sangat berharga untuknya.

Semua itu, ia hanya bisa ungkapkan pada satu orang gadis. Mawar selalu sabar akan dirinya. Selalu mengerti, semua itu hanya Mawar.

I don’t know, what should I do. Gue bingung. You said that you still love me after this all? Gue gangerti lagi, Mawar. Gue bingung.” Eidel menangkup wajahnya dengan dua tangan. Isakan kecil terdengar semakin lama.

Ia menangis, dengan drama kehidupan yang tidak berhenti-henti.

”Kamu bisa nangis sepuas kamu. Kamu ga lemah, kamu cuma perlu waktu istirahat, Ei.” Mawar beranjak dari tempatnya. Memeluk Eidel erat. “Aku selalu ada untuk kamu. You are not alone, okay? I love you.” Kata Mawar, mengusap rambut Eidel yang setengah kering.

I’m so sorry, Mawar. I have hurting your heart.”

“And, I will always forgive all of your fault.” Pelukan Eidel mengerat, menangis terisak. Rasanya seperti tubuhnya semakin ringan. Setidaknya beberapa beban bisa ia hapus untuk sementara.

Setidaknya ia tahu bahwa ia tidak sendiri berjuang. Ada Mawar yang mendampinginya. Ada Mawar yang selalu setia padanya.

“Gue butuh jalan, gue butuh saran dari lo.”

Mawar menghela nafas di balik punggung Eidel. “Keputusan ada di kamu sepenuhnya. Aku dukung apa yang kamu pilih. Arsitek atau dokter, that is a good choice. Kamu hanya perlu percaya dengan diri kamu sendiri. Kamu harus berusaha berpikir jernih, Ei. Coba kamu bersikap netral akan kedua pilihan. Apa dokter memang pilihan yang tepat? Apa arsitektur selalu salah? You should find the answer of that.

“Pelan-pelan, kamu bisa. Aku yakin.” Lanjutnya, masih dengan mengelus pucuk kepala Eidel.

“Mawar…”

“Hmm?”

Don’t leave me. Can you promise?”

“No, I can’t”

*bersambung

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana?

S(t)ick with U

UNTUK SIA