Dari Kapten Grech

 


Aku terus berlari, menerjang semua rintangan yang ada di setiap arah mata angin, yang tidak bisa kuprediksi kapan akan muncul berhadapan. Hampir semua bagian tubuhku berwarna merah karena darah dan cokelat karena tanah. Itu hal biasa, yang penting aku bisa dengan cepat mencari titik aman untuk sementara.

Hari ini, ingin sekali aku menangis. Hatiku hancur berkeping-keping ketika melihat ke belakang, melihat seseorang yang kugenggam merintih kesakitan karena tikaman peluru di lengannya. Suara bedebum keras terdengar di mana-mana, langit tidak bisa sepi. Hilir mudik suara helikopter dengan sorot lampu terang menghadap ke hamparan padang dan ilalang ini. Terkadang kami harus menunduk, dan memperlambat gerakan kami agar tidak tertangkap basah. Aku belum menyerah, dan tidak akan menyerah sampai kami berdua aman.

“Bertahanlah. Kumohon, kau kuat. Kau pasti bisa.” Kataku tegas. Sangat bertentangan dengan hatiku yang  berteriak sumpah serapah dengan apa yang kami alami sekarang. Rambut panjang sebahuku berantakan tidak tertata, surai-surainya hilir mudik menari kesana-kemari. Suara ledakan kembali terdengar beberapa kilometer dari jarak kami, percikan api hinggap di ujung-ujung keringnya ilalang. Menyebar luas, menguji ketahanan dan rasa panik yang hinggap bersamaan.

“Ar…” Kudengar ia berucap lirih, kaki-kakinya masih kuat untuk berlari. Tentu saja, ia adalah kaptenku, dan aku hanya seorang prajurit perempuan dari beribu tentara laki-laki.

You still have enough energy to run away.” Aku berkata datar, masih menyeret tangannya yang kian melemah. Menengok kebelakang, kulihat dirinya tersenyum. Senyum yang meneduhkan, yang ia selalu tampilkan untuk membuat atmosper aman para orang-orang disekitarnya. Dan tidak kupungkiri, itu bekerja padaku. Aku tau berapa banyak luka yang bersemayam anggun di dalam tubuhnya, aku tau rasa sakitnya lebih besar dibandingkan diriku. Tapi aku akan tetap bersamanya.

Tembakan beruntun datang seketika, dan untungnya dengan jarak yang lumayan jauh dari perkiraan. Aku bernafas lega. Setidaknya, aku masih bisa hidup bersamanya. Mungkin, bisa kuandaikan ini hanyalah mimpi buruk yang hinggap sementara dalam tidurku. Aku berharap ini hanyalah salah satu syuting TV untuk sebuah acara atau semacamnya.

Sangat kuingat jelas, beberapa hari yang lalu, aku masih di tengah lapangan hijau dengan matahari terik membakar tubuhku. Berdiri tegap memberi hormat padanya atas keterlambatan yang kuperbuat di pagi hari. Mendengar kalimat sarkasnya yang mampir, kala aku keliru menyebutkan nama panjang dan jabatannya di militer. Namun, tetap saja ia akan terkekeh kecil, lalu menepuk-nepuk rambutku sedikit keras. Menyuruhkan untuk berpacaran dengan matahari pagi. Sebagai muridnya, aku hanya bisa mengatakan ya, dan ya. Tidak ada yang lain. Di dalam hatiku, aku tersenyum senang, setidaknya aku bisa melihatnya tertawa.

Hingga suara pemberitahuan darurat itu berbunyi keras berulang kali. Mengatakan bahwa barak kami di kepung dengan pasukan yang tidak di kenal dan kami dengan cepat diperintahkan menuju ruang senjata. Mengambil peluru dan laras untuk bertahan hidup dan berjaga-jaga.  Tempat kami bertugas memang wilayah perbatasan dengan banyak konflik. Namun, baru kali ini markas diserang secara tiba-tiba tanpa ada peringatan atau ultimatum sebelumnya.

Kebetulan sekali, lapangan adalah tempat yang paling dekat dengan ruangan senjata, maka dari itu kami mengambil sebanyak mungkin senjata untuk diri sendiri dan kawan-kawan. Kami ingin hidup, begitu juga mereka.

Bunyi ledakan bersumber dari Gedung pemancar merupakan awal dari semuanya. Sinyal mati, dan listrik padam. Pasukan membentuk kelompok-kelompok kecil dan mulai berpencar. Dan dialah yang menggenggam tanganku erat, membawaku pergi bersamanya.

Sampai sekarang, hanya kami yang tersisa. Beberapa pasukan lain telah gugur. Bahkan, aku sendiri yang melihat mereka tumbang seketika. Beberapa mengangkat jempol, menunjukan senyum terbaik mereka yang keterakhir kalinya sebagai penghormatan kepada kapten. Sungguh, itu menyakitkan.

Ini sudah hari ke lima, dan bantuan dari pusat belum mendapatkan titik terang. Atau, yang paling fatal, bahwa kota lain juga diserang? Aku tidak tahu, yang ada dipikiranku hanyalah menyebut nama Tuhan beribu kali untuk diberikan perlindungan.

Suara bisik ribut yang keras sudah meredam, mungkin karena malam datang menyelimuti. Kulihat, langit sudah mulai sepi dan baru tersadar, kami sedang berada di hutan. Hutan yang aku sudah sangat hafal jalannya, karena berpuluh-puluh kali, laki-laki disampingku memanduku kemari untuk sekedar berburu hewan atau berlatih ketangkasan.

“Arleta, apa kau tidak lelah?” ujarnya.

“Anda bertanya hal yang sudah pasti, kapten.” Aku mendengus, mataku meneliti tempat yang sekiranya aman untuk bermalam sementara. Pasokan peluru kami tidak sedikit, namun juga tidak banyak. “Apa anda ingin beristirahat?”

Ia mengangguk cepat. Tangannya melepas genggaman tanganku, menunjuk salah satu titik. Aku tersenyum, di tengah-tengah banjir keringat. Ia memang teliti, cermat, dan tanggap. Kami berjalan beberapa langkah. Lalu membantunya duduk, dan membuka seluruh seragam atasnya tanpa malu. Rambutku lebih awal kukucir kuda, dengan berapa helaian yang masih saja berontak untuk keluar.

Saat kaos putih yang telah bernoda coklat dan merah itu kuangkat. Ia membuka mulut bertanya. “Apa kau sering melakukan ini?” Nada suara itu terdengar sangsi, walau hanya sedikit.

Aku mengerutkan kening. Tidak mengerti. “Sering melakukan apa?”

“Membuka seragam seorang pria.”

Tanganku yang sedang mengelap luka di dadanya berhenti. Aku mendongak menatap manis matanya yang berwarna coklat tua. “Apakah saya jenis seseorang seperti itu?” kataku, kembali memokuskan diri untuk membersihkan luka goresan itu. “Tiga tahun belakangan ini, saya terus bersama anda dan pasukan yang lainnya. Apakah waktu selama itu tidak cukup bagi anda untuk memahami karakter saya?”

“Aku hanya bertanya, Arleta. Dan kau hanya di perintahkan untuk menjawab.” Ia berkata datar, membuatku spontan menghela nafas berat.

“Tidak, hanya dengan dua orang pria saja.”

Pertanyaan selanjutnya terlontar lebih cepat dan terkesan buru buru “Siapa?”, tanyanya.

“Saat anda memerintahkan saya untuk mengobati pasukan yang terkena busur, dan anda sendiri sekarang.” Jawabku seadanya tanpa  mengurangi rasa hormat. Aku merobek sebagian dari seragam dalamku yang masih berwarna putih, membersihkan dadanya, lalu perlahan menggosok ke arah tembakan yang masih membekas. Dengan cepat, aku mengambil pisau lipat, mengeruk perlahan untuk menemukan benda yang bersarang di tubuhnya.

“Bertahanlah.” Kataku. Tanganku mengambil peluru itu. Tidak terlalu besar, dan kuyakin itu tanpa racun. Mungkin ditembakkan oleh orang yang baru latihan menembak dua kali. Serangan kali ini terjadi mendadak, dengan pasukan yang cukup besar. Jadi dipastikan mereka mengambil pasukan baru untuk terjun langsung.

“Kau mengatakan seperti itu seakan tidak pernah ada peluru yang menenbus tubuhku.” Suaranya yang terkekeh terdengar menyebalkan. Tanpa sengaja aku menekan lukanya, hingga ia meringis.

“Akh.. kau tidak bisa lembut ya?!”

“Kapten, anda terlalu berisik.” Sambil tersenyum, aku mengikat kain yang menutup lukanya.  Untunglah aku sempat menyimpan beberapa peralatan Kesehatan di kantong celanaku.

“Aku kira kau sudah tidak ingat, bahwa aku ini kaptenmu.”

“Saya selalu ingat.”

“Apakah itu janji?” tanyanya.

“Ini sumpah.” Aku menatap matanya, tersenyum lembut. “Jadi bertahanlah.” Aku memiringkan kepalaku, menahan tangis yang bisa pecah kapan saja. Aku lihat, raut wajahnya berubah, tapi hanya beberapa saat, sebelum kembali santai.

“Kau seorang gadis Arleta. Kenapa kau memutuskan bergabung?”

“Bergabung?”

Ia mengangguk. “Seharusnya ini bukan tempatmu. Setidaknya sampai saat ini, aku tidak bisa mempercayaimu pada orang lain.”

“Tidak semua perempuan lemah.”

“Aku tidak mengatakan dirimu lemah. Hanya saja, aku masih tidak bisa yakin jika kau sudah memegang senjata.” Ia menutup matanya perlahan. Menyandarkan diri di pohon besar nan teduh. Sedangkan aku, masih tetap membersihkan semua lukanya. Dari kaki, betis, hingga tangan. Karena, jika hari esok lebih berat dari ini, setidaknya aku bisa bersyukur telah meringankan bebannya. Jika kalian bertanya, apakah aku mendapatkan luka? Tentu saja, namun peluru yang menancap dilenganku telahku bersihkan lebih dulu. Itu saja, selain itu aku yakini akan tertutup sendirinya.

“Sebenarnya, bukan anda saja yang menganggap saya aneh, kapten. Sebaliknya juga begitu. Bukankah seharusnya, bukan anda yang melatih saya?” kataku, tanpa memandangnya.

“Tidak tau. Aku tertarik dengan kedatangan awalmu. Bukan setelah kau diterima, namun kehadiran pertamamu saat seleksi. Saat itu, aku sudah memantaumu.” Ia mengedikkan bahu acuh tak acuh. “Dan kupikir, kau baru tau itu sekarang.”

“Tentu saja.” jawabku.

“Atau, apakah kita mempunyai ikatan batin, Arleta? Seperti di film-film barat yang sering ditayangkan saat malam minggu di lapangan.” Ia kembali berbicara konyol seperti biasa.

“Terserah apa yang anda katakan.” Kataku berusaha cuek, walau dalam hati menghangat karena kata-katanya. Ia tertawa, walau tidak lepas untuk beberapa saat, masih dengan mata tertutup rapat.

“Aku masih belum percaya hanya kita berdua yang tersisa.” Celetuknya setelah sekian lama diam. Aku sudah selesai dengan tugasku, dan bersandar disampingnya.

“Bahkan, aku pikir, ini terlalu cepat untuk pasukan baru sepertimu.” Lanjutnya lagi, menghela nafas lelah.

“Saya tidak merasa seperti itu, kapten. Karena andalah, saya bisa sigap dengan situasi seperti ini. latihan yang selalu anda berikan pada kami, dan semua hukuman atas kesalahan saya, membuat saya bisa lebih disiplin dan tanggap. Maka dari itu, sudah seharusnya saya yang mengucapkan terima kasih pada anda.” Kataku lirih.

“Jika anda ingin menyalahkan diri sendiri, salahkan saja. Saya tidak akan melarang. Namun, lakukan secukupnya saja. Jangan berlarut-larut. Jika anda menangis, tangisi saja, tidak ada hukum bahwa seorang kapten tidak boleh menangis.” 

Kurasakan tubuhnya bergerak. Malam semakin larut. Sunyi, hanya ada burung yang saling sahut menyahut. Aku juga tidak pernah bisa menyadari bahwa malam ini, hanya tersisa aku dan dia.

“Apakah aku pantas menangis?” tanyanya.

“Saya tidak mempunyai jawaban atas pertanyaan anda. Hanyalah anda yang bisa menjawab.”

Tidak ada jawaban, hingga beberapa menit berlalu. 

“Aku sudah mendapatkan jawabannya, Arleta.” Katanya di tengah kesunyian ini.

Tangannya memaksa kepalaku untuk bersandar di bahunya. Pelan-pelan ia menepuk-nepuk kepalaku, dan mengelus rambutku. “Aku bangga mempunyai prajurit tangkas sepertimu Arleta.” Nadanya terdengar tegas, dan ketulusan merembak keluar.

Lubuk nadiku bergetar. Air mataku muncul kepermukaan, membuat pandanganku mengabur, seperti kaca buram yang siap pecah kapan saja.

“Dan sebagai seorang laki-laki, Tuhan sangat sayang padaku, karena telah mempertemukanku padamu. Andai saja kita bisa menjalani hidup sebagaimana orang lakukan, mungkin saat ini, aku sudah mengajakmu keluar untuk menikmati malam di bukit bintang. Sayangnya, takdir berkata lain.” Tangannya masih setia mengusap kepalaku dan aku hanya mendengar kesaksiannya dengan sungguh-sungguh.

Suaranya semakin melirih. “Tapi, ini saja sudah cukup. Setidaknya, saat ini aku masih bersamamu.” Setelah kata-kata itu, tubuhnya mendekat, membekapku erat di tengah dinginnya angin malam. Jari-jarinya menutup sempurna keterkejutan dari wajahku. Mengusap mataku perlahan, sembari berbisik. “Pejamkan matamu sejenak, Arleta. Anggap saja ini hadiahku untukmu atas semua kerja kerasmu selama ini.”

Bibirku ingin melontarkan sesuatu, namun dengan cepat ditahannya. “Kau tidak pantas menolak. Kini giliranku untuk melindungimu. Suatu saat nanti, jika masih ada cukup waktu bagiku bersamamu, akan kugunakan sebaik mungkin.” Aku masih setia memokuskan indera pendengaranku untuk kalimat selanjutnya, namun usapannya membuatku merasa kenyamanan dan aman. Inderaku mulai melemah, dan mataku tertutup sepenuhnya.  

Mungkin, Itulah kalimat terakhirnya malam ini. Atau mungkin, percakapan santai kami untuk yang terakhir kalinya.

Karena saatku membuka mata cepat, kulihat laki-laki itu telah meletuskan beberapa misil ke beberapa orang yang menyergap dari arah tenggara.

“Lari Arleta!” teriaknya tanpa menoleh sama sekali.

Aku menggelengkan kepala. Mengambil laras panjang, ikut bergabung dengannya

Ia menggeram marah karena aksiku. “Ini Perintah! Apa kau sudah tidak menganggapku sebagai kaptenmu?”

“Maaf, kapten. Kali ini saya tidak bisa menerima perintah anda.” Jawabku, sembari memasukkan beberapa peluru lagi.

“Arleta, bantuan akan tiba beberapa saat lagi. Sinyal sudah diperbaiki oleh pemerintah pusat. Mengertilah, nyawamu lebih berharga dari apapun.”

“Saya bilang tidak!” kataku ikut membentaknya. Air mataku kian meluncur deras. Membuat pandanganku tidak terfokus pada satu titik.

Suara baling-baling helikopter terdengar mendekat. Aku mendongak ke angkasa, sedangkan ia masih bersitegang dengan peluru-peluru sisanya.

Hatiku membucah kala tau itu adalah helikopter dari pasukan kami. Dengan beberapa sniper yang sudah meluncurkan beberapa tembakan pada pasukan lawan di sekitar kami berdua.

“Turuti perintahku! Jangan membangkang! Aku tidak mendidik murid membangkang.” Teriaknya marah, geram. Aku hanya diam. Fokus pada informasi yang akan disampaikan bala bantuan.

Aku melepaskan pandanganku, menatap satu persatu musuh, lalu membidiknya dengan sasaran tepat. “Jika anda ingin saya selamat, maka itu juga sebaliknya. Lebih baik saya bertahan bersama anda.” Kataku mantap. Bersamaan dengan angin yang kian berputar keras karena baling baling itu.

“Ini dari pangkalan A997, menjemput anggota atas nama Keirin Arleta, dan Kapten Grech Vorlano.” Suara protokol terdengar jelas, membuyarkan beberapa musuh, dan langsung saja kutembaki dengan beberapa peluru tersisa. “Kami telah mengkonfirmasi keberadaan kalian. Kalian mempunyai waktu satu menit  dengan pengamanan untuk naik. Kami akan mengamankan wilayah di sekitar anda. Pergunakan waktu secara cepat.” Tali tergelempar dari atas, tepat sekitaran lima meter dari posisiku dan dirinya berdiri.

Kini kalian mengetahui nama laki-laki itu. Grech Vorlano. Seseorang dengan karismatik yang tinggi dan wajah yang bersih nan tampan. Auranya bijaksana, membuat banyak orang merasa aman di sampingnya. Begitu juga aku.

Grech menarik tanganku, sambil menembakkan beberapa peluru ke belakang. Ada sekitaran tiga orang yang tersisa. Jadi itu mempermudahkan kami.

“Naik terlebih dulu. Jika kau membangkang kali ini. Selama tidak akan pernah kujamin keselamatanmu.” Suaranya membuat diriku dengan cepat mengangguki permintaannya.

Aku memanjat dengan tali itu. Sedangkan para penembak jitu terus menembaki beberapa musuh yang menargetkan helikopter kami.

Waktu kalian tersisa tiga puluh detik lagi.” Aku mempercepat gerakan. Dia yang setengah meter di bawahku juga berteriak menyemangati.

“Kau bisa Arleta. Bertahanlah.” Katanya yang membuat semangatku meletup-letup.

Waktu singkat, aku di tarik cepat dengan beberapa orang untuk memasuki helikopter. Sedangkan beberapa satu orang lagi,

Dor!

Aku terkejut dengan tembakan yang cukup dekat. Aku melihat bahu Grech terkena peluru, membuat pegangan pada talinya terlihat melemah. Kulihat ia meringis kesakitan.

Itu bukan peluru biasa. Itu ditembakan oleh seseorang yang sudah mahir dari bidangnya.

Aku dan beberapa pasukan menarik tali itu dengan cepat. Dalam hati, beribu kali aku menyebut nama Tuhan dengan hati yang sudah remuk redam melihatnya tergantung hanya dengan seutas tali.

Aku tidak berbicara apapun, namun kekuatanku semua kukerahkan pada tarikan demi tarikan.

Dor!

Suara tembakan kembali terdengar. “Bertahanlah Grech.” Lirihku.

Satu tarikan kuat, dan Grech telah sepenuhnya masuk ke dalam helikopter. Perintah di turunkan untuk dengan cepat keluar dari zona berbahaya itu.

Aku menutup mataku, menahan nafas beberapa saat, sebelum menghambur kepelukannya. Memeluknya, seperti memeluk barang rapuh.

“I’ll be fine, Arleta.” Katanya lirih terengah-engah. Beberapa orang, sudah dengan siap mengambil dua peluru yang bersarang di tubuhnya. Satu di bahu, dan satu di kaki.

Aku mencium wajahnya berkali-kali dengan linangan air mata. “Kumohon bertahanlah.” Kataku berulang-ulang.

Nafasnya terdengar semakin kecil. Tangki oksigen segera di kerahkan. Aku mengenggam tangannya erat, sambil merapalkan doa yang tak surut berhenti.

Dia yang selalu menjagaku. Yang selalu melindungiku, dan membuat hatiku menghangat. Tuhan, dia hambamu yang baik, sangat baik. Tak tercela, baik dari perjuangannya, atau dari pengabdiannya bagi negeri ini.

Arleta…” Panggilan Grech terdengar sangat pelan. “Ingatlah dengan sumpahmu.”

Kumohon, selamatkanlah dia. Untukku.

Matanya terpejam, bersamaan dengan pikiranku yang penuh keabu-abuan.

 

 

-Bagiku, dirimu tidak bernilai. Terlalu banyak jika harus kuucapkan dengan nominal, dan terlalu panjang jika harus kuartikan dengan kata-kata. Dirimu, adalah salah satu cara Tuhan menjelma, sebagai malaikat tak bersayap bagiku-

 

Dari Kapten Grech Vorlano.

Untuk satu-satunya pasukan perempuan tangguh. Arleta.

 

Surat yang kutulis untukmu, hanyalah ini. karena, kuanggap aku tidak akan meninggalkanmu, atau akan ditinggalkan olehmu. Walaupun, jika nanti kau meninggalkanku, aku akan selalu mencarimu bagaimanapun caranya. Dan, sangat tidak masuk akal jika aku harus meninggalkanmu. Hanya keputusan Tuhan yang akan menghentikan langkahku.

Arleta. Aku menganggapmu lebih dari seorang pasukan perempuan. Lebih dari itu, aku mengenalmu sejak dulu, jauh sebelum matamu menatap kagum padaku. Di kereta, sore hari. Kau menatap senja dari balik kaca itu. Sedangkan aku duduk berseberangan denganmu. Manik mata itu adalah favoritku. Senyummu adalah canduku, bahkan tawamu, adalah satu hal terpenting untukku.  

Sesaat setelah itu, takdir kembali mempertemukanmu denganku. Dan saat itulah, aku mengatakan pada diriku sendiri, bahwa kau adalah amanat Tuhan yang diberikan padaku seorang. Karena kau, berharga dari banyaknya berlian. Dimataku, kau memang bukan yang pertama. Aku tetap memilih ibu, namun kau yang terakhir.

Aku akan sangat menyesal, jika surat ini tersampaikan padamu. Karena jika itu terjadi, aku tidak akan bisa lihat semu merah jambu di pipimu. Kau hanya akan menangis. Dan aku tidak menyukai itu.

Biarlah surat ini selalu tersimpan apik, dan kuharap demikian hingga selamanya. Agar aku bisa menyatakan dengan seluruh inderaku, bahwa hanya kau wanita yang cocok untukku, dan hanya aku laki-laki yang pantas bersanding denganmu. Katakah aku egois, dan aku akan mengakuinya. Aku tau, bahwa kau mempunyai perasaan yang sama seperti itu. Jadi, tunggu hingga hari dimana aku mengatakan yang sebenarnya.

Kau takdirku, dan selamanya akan seperti itu.

Namun, peraturan sialan itu menyuruhkan memberiku pesan terakhir. Dan inilah pesan terakhirku.

Aku memang egois, namun aku akan terus menjagamu dimana langkahmu terpijak. Hingga lelah, aku akan terus ikut dimanapun kamu berada. Jika, aku tak disampingmu. Maka lihatlah aku sebagai salah satu bintang yang paling bersinar di langit malam.

Kenanglah aku dari dalam hatimu yang terdalam. Bahwa aku damai jika melihat kebahagiaanmu. Jadi, berbahagialah. Maka aku akan menuntunmu menuju yang terbaik dari atas sana. Menunjukan takdirmu.

Aku akan ikhlas, jika aku melihat binar matamu. Walau, aku tidak bisa berjanji, bahwa aku akan terus bernafas.

Terima kasih atas kenanganmu, Sayang.

Akan kusimpan selamanya. Bukan di kepalaku, namun di hatiku. Sudah kukunci. Tenang, aku selalu menyayangimu.

Salam terakhir, salam hangat dariku.

 

Kaptenmu,

Grech Vorlaro.

Comments

  1. Ceritanya menyentuh hati sampe ke tulang rusuk😄

    ReplyDelete
  2. Ga bisa berhenti scroll ulang bagian surat dari kaptennya:'')

    ReplyDelete
  3. Sedih banget, ceritanya bagus banget, saran agar supaya lebih jeli lagi karena masih ada kata yang typo "ternyata itu helikopter kamu" atau helikopter kami"? saya awalnya sedikit bingung

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih banyak atas koreksinya. Sudah saya benarkan :"D Terima kasih sudah membaca

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

UNTUK SIA

Fruitful Memory as KGEO Internship

Bagaimana?