Singaraja Sedang Hujan, Sayang
Hujan
bulan Oktober membasahi seisi Singaraja. Jalanan lenggang tanpa nyawa, tak ada
suara menggema dari pengguna metropolitan. Pohon-pohon merunduk malu, terbasahi
tirai Tuhan yang semakin lama semakin rapat saja. Matahari tidak hadir hari ini, hanya menengok
sejenak, lalu kembali terselimuti awan abu-abu tebal.
Saya
terduduk di depan jendela, dengan secangkir teh hangat dan biskuit kelapa.
Jangan lupa dengan kaos kaki berwarna sama seperti awan itu, dan selimut biru
tua di seluruh area badan. Menyenangkan sekali, walau menggundahkan di sisi
lain.
Ini
pukul enam sore, saya menunggu senja yang sudah pasti tidak akan datang. Hah…
rasanya sudah sangat lama sekali terbekam di rumah. Apakah saya masih bisa
mengingat wajah teman-teman jika sekolah nanti? Yah, saya harap masih dan
semoga seperti itu.
Menghela
nafas, sebenarnya bukan hanya senja saja yang saya tunggu tanpa perasaan yang
pasti. Sebenarnya saya sedang menunggu seseorang, yang seminggu lalu berbincang
ringan dengan saya melalui via sms. Menanyakan perkembangan pembelajaran saya
terhadap kompetisi AI atau Artificial Intelligence yang kini telah di
tahap selanjutnya.
Ya,
saya mengikuti kompetisi itu dengan empat teman laki-laki saya, dan saya
satu-satunya perempuan di kelompok. Kepala sekolah dengan baik hatinya memberi
saya pembina untuk menunjang latihan saya.
Apa
kamu mengetahui sedikit tentang Artificial Intelligence? Itu adalah
semacam kompetisi dan pelatihan untuk para generasi muda mempelajari lebih jauh
tentang teknologi dan kecerdasan buatan. Berhubungan dengan silsilah keluarga
saya yang semuanya berkecimpung di bidang IT, maka saya juga tertarik dengan
hal itu. Saya senang jika bisa mengembangkan diri saat sekolah masih di
rumahkan. Ya, kalian tahu sendiri bagaimana kondisi dunia saat itu. Miris
sekali. Sistem pembelajaran yang tidak bisa mengetes sebagaimana kemampuan
siswa, atau cara melihat perkembangan siswa dengan baik, seperti celah curang
bagi sebagian orang. Dan, kamu tahu? Saya sudah bosan dengan hal seperti itu. Saya
membutuhkan sesuatu di luar dari lingkaran.
Kembali
lagi dengan tujuan awal menunggu dia yang saya tidak ketahui jelas namanya,
bahkan bagaimana penampilannya. Apakah seumuran dengan orangtua saya? Atau
mungkin lebih tua dari itu, kita lihat saja nanti.
Sesekali
saya menyuruput teh melati saya, atau asik membuat biskuit lebih lembut dengan
mencelupnya. Sampai tidak terasa tiga puluh menit berlalu, dan terdengar suara
sayup-sayup motor menerobos hujan. Ini sudah mulai malam, aroma tanah menguar
dengan penerangan yang satu persatu dihidupkan untuk menghiasi jalanan gang.
Melirik kecil dari jendela, sebuah motor tua berhenti di gerbang saya, dengan
satu kali klakson, saya sudah mengerti bahwa dia yang saya tunggu-tunggu telah
datang.
Ibu
saya berteriak keras di penjuru rumah, mengatakan siapa yang diam di depan
gerbang kita, dan saya sudah melesat dengan kecepatan maksimal, menerobos hujan
di halaman, cekatan membuka gerbang, lalu tersenyum kecil pada laki-laki yang
masih mengenakan helm dan jas hujan coklat tua itu.
Tangan
saya menunjukan jalan untuk memarkirkan motor, sekalian saja saya tutup kembali
gerbang rumah saat laki-laki itu telah masuk ke pekarangan. “Apa susah mencari
alamat saya?” kata saya sebagai salam pembuka. Dengan sedikit kikuk, memikirkan
bagaimana caranya mengajak berbicara.
Tapi,
tidak untuk waktu yang lama, saya terkejut dengan suaranya. “Tidak juga, kamu
sudah memberi tahu detailnya di chat kemarin. Terima kasih.” Pendengaran
saya seperti menjernih seketika. Nada suaranya begitu tegas, bervolume, namun bersamaan
dengan lembutnya.
Dan
saya kembali terkejut saat ia membuka helm, menampakan wajah manis dengan
lesung pipi yang bertengger cantik di sebelah kiri. “Tapi ini benar rumah
Hasika Arunika, ‘kan?” katanya sambil tersenyum jahil.
Hujan
menderas, kembali menderas, dan saya terpukau akan dia untuk pertama kalinya. Saya
tersenyum menanggapi. “Ya, bapak benar. Saya Hasika Arunika. Mari masuk pak.”
Kerutan
terlihat jelas dari dahi laki-laki itu. Ia membuka mulut dengan cepat seperti
mencoba menyangkal suatu hal.
“Saya
tidak setua itu. Mungkin lima tahun lebih tua darimu.” Katanya. “Perkenalkan,
saya Greehan Akasa. Panggil saja Han.” Saya menggaruk tengkuk yang tidak gatal,
malu dengan apa yang barusan saya perbuat. Hasika! Lihatlah betapa mudanya dia
untuk kamu panggil ‘bapak’.
Kami
menerobos hujan untuk mencapai teras rumah, saya berjalan di depan, dan dia
mengikuti di belakang.
“Bapaak!”
teriak saya memanggil bapak. “Ini sudah datang.”
Namun,
bukan bapak yang muncul, melainkan ibu dengan apron biru muda, bersama singkong
goreng dan lelehan gula aren di nampan.
“Lho,
kamu Han, ‘kan? Waah, akhirnya bisa bertemu kamu kembali. Sudah lama sekali ya,
sini duduk dulu, nak.” Saya terjengkal menatap ibu yang mengenal Han.
“Ibu
kenal dari mana?” Tanya saya, saat ibu sudah mulai berbasa-basi ria dengan Han.
Ibu
tersenyum teduh. “Dia itu salah satu tim bapakmu dulu, Ka. Kami hilang kontak,
dan ibu pikir dia masih di daerah timor. Eh, udah pindah ternyata.” Dengan gemasnya,
Ibu menepuk-nepuk pipi Han dengan santai. Sedangkan Han hanya tertawa kecil
menanggapi.
Setelah
itu, bapak datang dengan bahagianya menyambut Han. Mengatakan bahwa dia tidak
boleh pulang hari ini. menyuruh ibu untuk membersihkan kamar tamu tempat Han
bermalam. Bapak juga mengatakan ia tidak menyangka jika orang yang saya
bicarakan adalah anak buahnya dulu.
Berbincang
agak lama, dengan singkong goreng
sebagai perekat, akhirnya orangtua saya melepaskan Han untuk mengajari saya
materi yang telah disepakati.
“Saya
tidak menyangka bisa bertemu mereka kembali. Awalnya saya berpikir tidak jadi
pergi kemari, karena di rumah saya hujannya sangat deras. Namun, saya ingat
janji denganmu. Jadi saya memantapkan diri kemari, dan dengan hadiah saya
akhirnya bertemu kembali dengan bapakmu.” Kata Han, duduk di karpet ruang tamu,
membolak-balikkan buku dasar yang berkaitan tentang teknologi.
Saya
menatap Han yang masih menunduk fokus. “Saya juga tidak tahu, kalau kamu adalah
orang yang sering diceritakan bapak. Katanya, kamu memang pintar, dan pandai menyusun
strategi, kamu adalah orang kepercayaannya.” Jelas saya, mengingat bagaimana
bapak terlihat menggebu saat menceritakan kembali bagaimana beliau meretas
salah satu sistem pencuri uang.
“Beliau
berlebihan. Saya tidak sehebat itu.”
“Tapi
nyatanya bapak memujimu.” Dengan tulus, saya mengatakan itu. Han tersenyum,
kembali melahirkan lesung pipi yang sudah berulang kali saya puji.
“Karena
beliau pemimpin yang baik, Hasika.” Ia terkekeh sembari memanggil nama saya,
yang entah kenapa menular pada saya. Senang rasanya Han mengingat nama saya.
“Jadi,
sampai mana kamu sudah mengerti? Apa ini sudah? Saya lihat kamu sudah banyak
berlatih soal dan mencoba beberapa program. Bisa saya lihat?” katanya, setelah
menghela nafas. Menatap saya dengan manis. Matanya seperti mata ibu. Mengayomi
dengan lembut.
Malam
itu dan malam-malam lainnya, kami terus bertukar pikiran. Han sangat disiplin
tentang waktu. Ia tahu saat di mana serius, dan saat kapan bisa bergurau.
Pernah suatu kali, saya bercanda namun disangkalnya dengan cepat, mengatakan
bahwa saya harus fokus pada topik permasalahan agar perkembangan saya dapat
dengan cepat meningkat. Han sangat terstruktur mengajari saya, bahkan ia
melihat sedetail mungkin kesalahan yang bisa saya perbuat.
Produktivitas
saya karena pandemi ini semakin baik. Saya bersyukur waktu saya berharga untuk
mempelajari suatu hal yang baru, yang mulanya saya takut untuk pelajari. Saya
merasa saat itu, saya dalam keragu-raguan, karena saya kurang teliti dalam
bidang matematika, tapi anehnya, saya tetap menyukai mata pelajaran tersebut.
Hanlah dengan hati-hati mengembangkan ketelitian saya. Mencoret satu huruf yang
salah, mengganti deretan program yang kurang tepat, agar output yang
dihasilkan tidak melenceng.
Bapak
juga terlihat lebih cerah jika berbincang dengan Han. Sudah menjadi rutinitas,
Han akan menginap di rumah saya ketika libur sabtu minggu. Susu di meja, setelah
sesi mengajarnya, adalah sesi selanjutnya untuk bapak dan Han.
“Bagaimana
perkembangan saya? Apakah ada kemajuan?” Saya bertanya saat Han dan saya duduk
di teras rumah tanpa buku-buku penunjang pembelajaran ataupun laptop yang
dipenuhi oleh program-program.
Han
menoleh ke saya, lalu mengelus lembut rambut panjang saya. “Ya, begitu. Kamu
sudah mulai teliti, dan tidak salah memasukkan data string atau integer.”
“Kamu
selalu memberikan result pada kepala sekolah tentang progres saya?”
Han
mengangguk. “Iya, terkadang beliau juga bertanya banyak tentang kamu dan empat
temanmu yang lain. Beliau sangat memperhatikan siswanya.” Saya menatap taman
anggrek bapak untuk waktu yang lama, tidak membalas kata-kata Han.
“Apa
ada informasi kapan kamu akan kembali sekolah offline?” tanya Han.
“Kemungkinan
Januari. Namun itu hanya kemungkinan. Saya tidak terlalu berharap banyak. Saya
di posisi netral.” Mengedikkan bahu, saya menyeruput susu coklat hangat di
samping saya. “Han…” panggil saya.
“Hmm?”
“Apa
kamu tetap bekerja di kantor cabang pada pagi hari?”
Han
menarik nafas dalam satu kali hentakan. “Ya, seperti itu. Tapi lebih sering
tidak, karena selalu mendapatkan panggilan mendadak kesana kemari.” jelasnya.
Saya mengangguk mengerti. Pantas waktu itu, bapak lepas piket, ingin berkunjung
ke SPN, namun ia tidak menemukan Han di sana.
“Kamu
tidak tidur? Ini sudah malam.” Han kembali membuka suara.
“Nanti
saja, saya masih mau di sini. Lagian, besok hari minggu.”
Han
tertawa. “Baiklah, saya akan menemanimu. Tapi, Hasika, apa bedanya hari biasa
dengan hari minggu? Bukannya kamu selalu bangun jam setengah tujuh?”
“Bukaan!
Akan saya pastikan kalau besok saya bangun jam delapan.” Saya menyangkal,
memukul pundak Han yang masih bergetar karena tawa.
“Jangan
memaksa diri, Hasika. Daripada kepalamu akan sakit lagi. dan lagipula, kita
sudah berjanji untuk ke sekolah besok. Kepala Sekolah menyuruh saya untuk
mengajakmu bersama.”
“Kamu
saja yang pergi, saya sedang malas.”
“Jika
saya bisa, akan saya lakukan. Tapi bagaimana? Itu amanat, mau tidak mau kamu
harus menerima.” Kata Han teduh.
Saya
menatap mata Han, sebelum menghela nafas. “Ya, saya akan pergi bersamamu.” Saya
hanya mempunyai cukup waktu bersama Han di malam hari. Walau Han sering
menginap di sini, ia akan pulang sebelum matahari terbit, atau akan pergi
setelah saya bangun dari tidur. Menepuk-nepuk kepala saya, sebelum berpamitan.
Jujur
saja, saya senang jika Han memperhatikan saya. Lebih dari itu, saya mengetahui
bahwa semakin lama kami menghabiskan waktu bersama, perasaan saya terhadapnya
semakin besar berkembang. Namun, saya tak pernah menunjukan apapun. Karena,
hubungan ini adalah hubungan profesional, antara pembina dan yang dibina. Han
mengajari saya dengan halus, itu saja sudah saya syukuri. Tidak menginginkan
lebih, dan membuat saya menjadi orang yang egois. Perasaan saya malam itu
abu-abu, sampai di pagi hari. Kata-kata Kepala Sekolah semakin membuat saya
abu-abu.
Beliau
mengatakan, lomba akan dipercepat, menyuruh saya dan empat orang teman saya
segera membuat suatu produk dari hasil kerja keras kami selama ini. Han juga
mengatakan bahwa ia tidak bisa lagi mengajari saya, karena ada tugas mendesak
dari Kapolres untuk mengamankan wilayah perbatasan.
Sungguh,
itu hal yang benar-benar membuat saya menjadi murung seharian. Tidak ingin
makan, atau melakukan apapun. Bapak juga ijin karena hal yang sama dengan Han,
dan tinggalah hanya saya dan Ibu di rumah. Saya berjanji, bahwa satu hari ini
saja saya akan terbelengu abu. Namun tidak untuk keesokan hari.
Kembali
bersama keempat teman saya, membuat hal yang sudah kami nanti-nanti dari awal.
Bekerja terorganisir, meminimalisir kesalahan, ataupun salah input. Memastikan
semua berjalan sesuai yang direncanakan. Terus seperti itu. Terkadang saya
teringat dengan Han saat saya hilang ketelitian. Tapi, saya mengusir dengan
cepat, membuat program ringan sebagai bentuk relaksi otak atau meminum
secangkir susu coklat dari Ibu. Dan apapun caranya agar pikiran saya tidak
teralihkan.
Hingga
hari penentuan datang. Saya dan empat teman saya berkumpul di rumah saya.
Singkok rebus dan teh hangat menjadi pendamping. hujan kembali datang menderas,
seperti awal saya bercerita. Kami terfokus pada layar laptop yang menampilkan email
kami masing-masing. Menunggu informasi dengan hati yang nano-nano.
Sebenarnya,
saya tidak begitu yakin akan menang, namun saya puas akan kerja keras saya
selama ini. Saya senang karena bisa menyelesaikan program produk tanpa bantuan
Han, Bapak, Ibu, atau teman-teman. Itu semua murni seorang gadis kelas akhir
SMA lakukan.
“Sudah
ada!” kata teman saya berseru. Suasana semakin mencekam, antara membuka pesan
itu atau menunggu yang lain bersorak bergembira atau berpasrah saja pada
keadaan.
Ibu
datang dari ruang tengah, dengan senyum di wajahnya. “Ka, gimana? dapet?”
katanya.
Saya
menggeleng. “Takut membukanya.” Bersamaan dengan saya mengatakan itu. Suara
deru motor seperti memecah hujan. Seperti deja vu.
Hati
saya gundah gulana. Saya berusaha menekan angan-angan saya, menganggap bahwa bukan
Han yang datang malam-malam begini. Tidak mungkin. Bapak belum datang, mana
mungkin Han datang mendahului. Tidak etis sekali, kata saya dalam pikiran.
Klakson
motor menggema di tengah tirai yang menderas. Saat itu, ingin sekali saya
menangis. Mengatakan bahwa itu adalah hayalan. Saya sudah sangat lelah dengan
semua kerja keras saya beberapa waktu belakangan ini.
Saya
berpura-pura tidak mendengar. Namun, ibu menyentak saya. “Itu bukain, Ka! Greehan
dateng astaga. Kamu kok tul- Kaaa! Aduh nak, pakek payungnyaaa, nanti kamu
sakiiit.” Teriakan Ibu tidak kuhiraukan. Tanpa sandal, aku menerjang hujan.
Cipratan air membasahi bajuku.
“Hasika!
Cepat buka. Saya kedinginan.” Teriakan itu cukup kukenal. Entah menangis atau
tertawa, saya membuka gerbang dengan cepat.
Han
masuk bersama motornya. “Kamu kenapa lama sekali bukanya? Biasanya cepat.” Kata
Han setengah mengomel, membuka helm dan menyugar rambut yang terlihat basah di
ujung-ujungnya. Wajahnya lelah, namun tidak menyurutkan dia tersenyum. “Kenapa
kamu diam?” katanya.
Saya
menggeleng lemah. Tetesan demi tetesan air mata tidak terkendali membasahi
wajah saya. Saya berusaha menghentikan tangisan saya, menunduk malu. “Saya
senang kamu datang. Maaf, saya cengeng sekali.”
Saya
sudah tidak tahu lagi, mungkin saya lelah karena tubuh terporsir beberapa waktu
belakangan ini. Saya bahkan tidak memikirkan kemungkinan terburuk jika kata-kata
yang tadi saya ucapkan menyinggungnya.
Namun,
syukur tidak seperti itu. Tanpa aba-aba, Han memeluk erat saya yang masih
berusaha menghilangkan air mata sialan ini.
“Kenapa
menangis?” katanya teduh, mengusap-usap rambut saya.
Bukan
mereda, isak tangis saya malah semakin menjadi. “Sa-saya tidak tahu, saya hanya
senang. Saya rindu.” Kata saya, membalas
pelukan Han.
“Oh,
jadi kamu juga rindu. Kalau begitu saya kangen.” Han terkekeh di belakang saya.
Mencium puncak kepala saya lama. Sebelum kata-kata itu keluar, yang membuat
hati sayang menghangat. Hingga saya lupa bagaimana rasa dinginnya hujan di hari
ini.
“Lebih
dari itu, saya suka kamu, Hasika Arunika.”
“Saya
sudah menyukaimu, lama sebelum kamu menyukai saya.”
kereen
ReplyDeleteterima kasih :D
Delete