Singaraja Sedang Hujan, Sayang


“Dalam sekali tatapan, ada ketulusan di matamu. Dalam sekali senyuman, ada keteduhan di rautmu. Dan dalam sekali pelukan, hati saya sudah tak bisa diganggu gugat. Saat ini, saya proklamasikan, bahwa saya milikmu seutuhnya.”
***

Hujan bulan Oktober membasahi seisi Singaraja. Jalanan lenggang tanpa nyawa, tak ada suara menggema dari pengguna metropolitan. Pohon-pohon merunduk malu, terbasahi tirai Tuhan yang semakin lama semakin rapat saja.  Matahari tidak hadir hari ini, hanya menengok sejenak, lalu kembali terselimuti awan abu-abu tebal.

Saya terduduk di depan jendela, dengan secangkir teh hangat dan biskuit kelapa. Jangan lupa dengan kaos kaki berwarna sama seperti awan itu, dan selimut biru tua di seluruh area badan. Menyenangkan sekali, walau menggundahkan di sisi lain.

Ini pukul enam sore, saya menunggu senja yang sudah pasti tidak akan datang. Hah… rasanya sudah sangat lama sekali terbekam di rumah. Apakah saya masih bisa mengingat wajah teman-teman jika sekolah nanti? Yah, saya harap masih dan semoga seperti itu.

Menghela nafas, sebenarnya bukan hanya senja saja yang saya tunggu tanpa perasaan yang pasti. Sebenarnya saya sedang menunggu seseorang, yang seminggu lalu berbincang ringan dengan saya melalui via sms. Menanyakan perkembangan pembelajaran saya terhadap kompetisi AI atau Artificial Intelligence yang kini telah di tahap selanjutnya.

Ya, saya mengikuti kompetisi itu dengan empat teman laki-laki saya, dan saya satu-satunya perempuan di kelompok. Kepala sekolah dengan baik hatinya memberi saya pembina untuk menunjang latihan saya.

Apa kamu mengetahui sedikit tentang Artificial Intelligence? Itu adalah semacam kompetisi dan pelatihan untuk para generasi muda mempelajari lebih jauh tentang teknologi dan kecerdasan buatan. Berhubungan dengan silsilah keluarga saya yang semuanya berkecimpung di bidang IT, maka saya juga tertarik dengan hal itu. Saya senang jika bisa mengembangkan diri saat sekolah masih di rumahkan. Ya, kalian tahu sendiri bagaimana kondisi dunia saat itu. Miris sekali. Sistem pembelajaran yang tidak bisa mengetes sebagaimana kemampuan siswa, atau cara melihat perkembangan siswa dengan baik, seperti celah curang bagi sebagian orang. Dan, kamu tahu? Saya sudah bosan dengan hal seperti itu. Saya membutuhkan sesuatu di luar dari lingkaran.

Kembali lagi dengan tujuan awal menunggu dia yang saya tidak ketahui jelas namanya, bahkan bagaimana penampilannya. Apakah seumuran dengan orangtua saya? Atau mungkin lebih tua dari itu, kita lihat saja nanti.

Sesekali saya menyuruput teh melati saya, atau asik membuat biskuit lebih lembut dengan mencelupnya. Sampai tidak terasa tiga puluh menit berlalu, dan terdengar suara sayup-sayup motor menerobos hujan. Ini sudah mulai malam, aroma tanah menguar dengan penerangan yang satu persatu dihidupkan untuk menghiasi jalanan gang. Melirik kecil dari jendela, sebuah motor tua berhenti di gerbang saya, dengan satu kali klakson, saya sudah mengerti bahwa dia yang saya tunggu-tunggu telah datang.

Ibu saya berteriak keras di penjuru rumah, mengatakan siapa yang diam di depan gerbang kita, dan saya sudah melesat dengan kecepatan maksimal, menerobos hujan di halaman, cekatan membuka gerbang, lalu tersenyum kecil pada laki-laki yang masih mengenakan helm dan jas hujan coklat tua itu.

Tangan saya menunjukan jalan untuk memarkirkan motor, sekalian saja saya tutup kembali gerbang rumah saat laki-laki itu telah masuk ke pekarangan. “Apa susah mencari alamat saya?” kata saya sebagai salam pembuka. Dengan sedikit kikuk, memikirkan bagaimana caranya mengajak berbicara.

Tapi, tidak untuk waktu yang lama, saya terkejut dengan suaranya. “Tidak juga, kamu sudah memberi tahu detailnya di chat kemarin. Terima kasih.” Pendengaran saya seperti menjernih seketika. Nada suaranya begitu tegas, bervolume, namun bersamaan dengan lembutnya.

Dan saya kembali terkejut saat ia membuka helm, menampakan wajah manis dengan lesung pipi yang bertengger cantik di sebelah kiri. “Tapi ini benar rumah Hasika Arunika, ‘kan?” katanya sambil tersenyum jahil.

Hujan menderas, kembali menderas, dan saya terpukau akan dia untuk pertama kalinya. Saya tersenyum menanggapi. “Ya, bapak benar. Saya Hasika Arunika. Mari masuk pak.”

Kerutan terlihat jelas dari dahi laki-laki itu. Ia membuka mulut dengan cepat seperti mencoba menyangkal suatu hal.

“Saya tidak setua itu. Mungkin lima tahun lebih tua darimu.” Katanya. “Perkenalkan, saya Greehan Akasa. Panggil saja Han.” Saya menggaruk tengkuk yang tidak gatal, malu dengan apa yang barusan saya perbuat. Hasika! Lihatlah betapa mudanya dia untuk kamu panggil ‘bapak’.

Kami menerobos hujan untuk mencapai teras rumah, saya berjalan di depan, dan dia mengikuti di belakang.

“Bapaak!” teriak saya memanggil bapak. “Ini sudah datang.”

Namun, bukan bapak yang muncul, melainkan ibu dengan apron biru muda, bersama singkong goreng dan lelehan gula aren di nampan.

“Lho, kamu Han, ‘kan? Waah, akhirnya bisa bertemu kamu kembali. Sudah lama sekali ya, sini duduk dulu, nak.” Saya terjengkal menatap ibu yang mengenal Han.

“Ibu kenal dari mana?” Tanya saya, saat ibu sudah mulai berbasa-basi ria dengan Han.

Ibu tersenyum teduh. “Dia itu salah satu tim bapakmu dulu, Ka. Kami hilang kontak, dan ibu pikir dia masih di daerah timor. Eh, udah pindah ternyata.” Dengan gemasnya, Ibu menepuk-nepuk pipi Han dengan santai. Sedangkan Han hanya tertawa kecil menanggapi.

Setelah itu, bapak datang dengan bahagianya menyambut Han. Mengatakan bahwa dia tidak boleh pulang hari ini. menyuruh ibu untuk membersihkan kamar tamu tempat Han bermalam. Bapak juga mengatakan ia tidak menyangka jika orang yang saya bicarakan adalah anak buahnya dulu.

Berbincang agak lama, dengan singkong  goreng sebagai perekat, akhirnya orangtua saya melepaskan Han untuk mengajari saya materi yang telah disepakati.

“Saya tidak menyangka bisa bertemu mereka kembali. Awalnya saya berpikir tidak jadi pergi kemari, karena di rumah saya hujannya sangat deras. Namun, saya ingat janji denganmu. Jadi saya memantapkan diri kemari, dan dengan hadiah saya akhirnya bertemu kembali dengan bapakmu.” Kata Han, duduk di karpet ruang tamu, membolak-balikkan buku dasar yang berkaitan tentang teknologi.

Saya menatap Han yang masih menunduk fokus. “Saya juga tidak tahu, kalau kamu adalah orang yang sering diceritakan bapak. Katanya, kamu memang pintar, dan pandai menyusun strategi, kamu adalah orang kepercayaannya.” Jelas saya, mengingat bagaimana bapak terlihat menggebu saat menceritakan kembali bagaimana beliau meretas salah satu sistem pencuri uang.

“Beliau berlebihan. Saya tidak sehebat itu.”

“Tapi nyatanya bapak memujimu.” Dengan tulus, saya mengatakan itu. Han tersenyum, kembali melahirkan lesung pipi yang sudah berulang kali saya puji.

“Karena beliau pemimpin yang baik, Hasika.” Ia terkekeh sembari memanggil nama saya, yang entah kenapa menular pada saya. Senang rasanya Han mengingat nama saya.

“Jadi, sampai mana kamu sudah mengerti? Apa ini sudah? Saya lihat kamu sudah banyak berlatih soal dan mencoba beberapa program. Bisa saya lihat?” katanya, setelah menghela nafas. Menatap saya dengan manis. Matanya seperti mata ibu. Mengayomi dengan lembut.

Malam itu dan malam-malam lainnya, kami terus bertukar pikiran. Han sangat disiplin tentang waktu. Ia tahu saat di mana serius, dan saat kapan bisa bergurau. Pernah suatu kali, saya bercanda namun disangkalnya dengan cepat, mengatakan bahwa saya harus fokus pada topik permasalahan agar perkembangan saya dapat dengan cepat meningkat. Han sangat terstruktur mengajari saya, bahkan ia melihat sedetail mungkin kesalahan yang bisa saya perbuat.

Produktivitas saya karena pandemi ini semakin baik. Saya bersyukur waktu saya berharga untuk mempelajari suatu hal yang baru, yang mulanya saya takut untuk pelajari. Saya merasa saat itu, saya dalam keragu-raguan, karena saya kurang teliti dalam bidang matematika, tapi anehnya, saya tetap menyukai mata pelajaran tersebut. Hanlah dengan hati-hati mengembangkan ketelitian saya. Mencoret satu huruf yang salah, mengganti deretan program yang kurang tepat, agar output yang dihasilkan tidak melenceng.

Bapak juga terlihat lebih cerah jika berbincang dengan Han. Sudah menjadi rutinitas, Han akan menginap di rumah saya ketika libur sabtu minggu. Susu di meja, setelah sesi mengajarnya, adalah sesi selanjutnya untuk bapak dan Han.

“Bagaimana perkembangan saya? Apakah ada kemajuan?” Saya bertanya saat Han dan saya duduk di teras rumah tanpa buku-buku penunjang pembelajaran ataupun laptop yang dipenuhi oleh program-program.

Han menoleh ke saya, lalu mengelus lembut rambut panjang saya. “Ya, begitu. Kamu sudah mulai teliti, dan tidak salah memasukkan data string atau integer.”

“Kamu selalu memberikan result pada kepala sekolah tentang progres saya?”

Han mengangguk. “Iya, terkadang beliau juga bertanya banyak tentang kamu dan empat temanmu yang lain. Beliau sangat memperhatikan siswanya.” Saya menatap taman anggrek bapak untuk waktu yang lama, tidak membalas kata-kata Han.

“Apa ada informasi kapan kamu akan kembali sekolah offline?” tanya Han.

“Kemungkinan Januari. Namun itu hanya kemungkinan. Saya tidak terlalu berharap banyak. Saya di posisi netral.” Mengedikkan bahu, saya menyeruput susu coklat hangat di samping saya. “Han…” panggil saya.

“Hmm?”

“Apa kamu tetap bekerja di kantor cabang pada pagi hari?”

Han menarik nafas dalam satu kali hentakan. “Ya, seperti itu. Tapi lebih sering tidak, karena selalu mendapatkan panggilan mendadak kesana kemari.” jelasnya. Saya mengangguk mengerti. Pantas waktu itu, bapak lepas piket, ingin berkunjung ke SPN, namun ia tidak menemukan Han di sana.

“Kamu tidak tidur? Ini sudah malam.” Han kembali membuka suara.

“Nanti saja, saya masih mau di sini. Lagian, besok hari minggu.”

Han tertawa. “Baiklah, saya akan menemanimu. Tapi, Hasika, apa bedanya hari biasa dengan hari minggu? Bukannya kamu selalu bangun jam setengah tujuh?”

“Bukaan! Akan saya pastikan kalau besok saya bangun jam delapan.” Saya menyangkal, memukul pundak Han yang masih bergetar karena tawa.

“Jangan memaksa diri, Hasika. Daripada kepalamu akan sakit lagi. dan lagipula, kita sudah berjanji untuk ke sekolah besok. Kepala Sekolah menyuruh saya untuk mengajakmu bersama.”

“Kamu saja yang pergi, saya sedang malas.”

“Jika saya bisa, akan saya lakukan. Tapi bagaimana? Itu amanat, mau tidak mau kamu harus menerima.” Kata Han teduh.

Saya menatap mata Han, sebelum menghela nafas. “Ya, saya akan pergi bersamamu.” Saya hanya mempunyai cukup waktu bersama Han di malam hari. Walau Han sering menginap di sini, ia akan pulang sebelum matahari terbit, atau akan pergi setelah saya bangun dari tidur. Menepuk-nepuk kepala saya, sebelum berpamitan.

Jujur saja, saya senang jika Han memperhatikan saya. Lebih dari itu, saya mengetahui bahwa semakin lama kami menghabiskan waktu bersama, perasaan saya terhadapnya semakin besar berkembang. Namun, saya tak pernah menunjukan apapun. Karena, hubungan ini adalah hubungan profesional, antara pembina dan yang dibina. Han mengajari saya dengan halus, itu saja sudah saya syukuri. Tidak menginginkan lebih, dan membuat saya menjadi orang yang egois. Perasaan saya malam itu abu-abu, sampai di pagi hari. Kata-kata Kepala Sekolah semakin membuat saya abu-abu.

Beliau mengatakan, lomba akan dipercepat, menyuruh saya dan empat orang teman saya segera membuat suatu produk dari hasil kerja keras kami selama ini. Han juga mengatakan bahwa ia tidak bisa lagi mengajari saya, karena ada tugas mendesak dari Kapolres untuk mengamankan wilayah perbatasan.

Sungguh, itu hal yang benar-benar membuat saya menjadi murung seharian. Tidak ingin makan, atau melakukan apapun. Bapak juga ijin karena hal yang sama dengan Han, dan tinggalah hanya saya dan Ibu di rumah. Saya berjanji, bahwa satu hari ini saja saya akan terbelengu abu. Namun tidak untuk keesokan hari.

Kembali bersama keempat teman saya, membuat hal yang sudah kami nanti-nanti dari awal. Bekerja terorganisir, meminimalisir kesalahan, ataupun salah input. Memastikan semua berjalan sesuai yang direncanakan. Terus seperti itu. Terkadang saya teringat dengan Han saat saya hilang ketelitian. Tapi, saya mengusir dengan cepat, membuat program ringan sebagai bentuk relaksi otak atau meminum secangkir susu coklat dari Ibu. Dan apapun caranya agar pikiran saya tidak teralihkan.

Hingga hari penentuan datang. Saya dan empat teman saya berkumpul di rumah saya. Singkok rebus dan teh hangat menjadi pendamping. hujan kembali datang menderas, seperti awal saya bercerita. Kami terfokus pada layar laptop yang menampilkan email kami masing-masing. Menunggu informasi dengan hati yang nano-nano.

Sebenarnya, saya tidak begitu yakin akan menang, namun saya puas akan kerja keras saya selama ini. Saya senang karena bisa menyelesaikan program produk tanpa bantuan Han, Bapak, Ibu, atau teman-teman. Itu semua murni seorang gadis kelas akhir SMA lakukan.

“Sudah ada!” kata teman saya berseru. Suasana semakin mencekam, antara membuka pesan itu atau menunggu yang lain bersorak bergembira atau berpasrah saja pada keadaan.

Ibu datang dari ruang tengah, dengan senyum di wajahnya. “Ka, gimana? dapet?” katanya.

Saya menggeleng. “Takut membukanya.” Bersamaan dengan saya mengatakan itu. Suara deru motor seperti memecah hujan. Seperti deja vu.

Hati saya gundah gulana. Saya berusaha menekan angan-angan saya, menganggap bahwa bukan Han yang datang malam-malam begini. Tidak mungkin. Bapak belum datang, mana mungkin Han datang mendahului. Tidak etis sekali, kata saya dalam pikiran.

Klakson motor menggema di tengah tirai yang menderas. Saat itu, ingin sekali saya menangis. Mengatakan bahwa itu adalah hayalan. Saya sudah sangat lelah dengan semua kerja keras saya beberapa waktu belakangan ini.

Saya berpura-pura tidak mendengar. Namun, ibu menyentak saya. “Itu bukain, Ka! Greehan dateng astaga. Kamu kok tul- Kaaa! Aduh nak, pakek payungnyaaa, nanti kamu sakiiit.” Teriakan Ibu tidak kuhiraukan. Tanpa sandal, aku menerjang hujan. Cipratan air membasahi bajuku.

“Hasika! Cepat buka. Saya kedinginan.” Teriakan itu cukup kukenal. Entah menangis atau tertawa, saya membuka gerbang dengan cepat.

Han masuk bersama motornya. “Kamu kenapa lama sekali bukanya? Biasanya cepat.” Kata Han setengah mengomel, membuka helm dan menyugar rambut yang terlihat basah di ujung-ujungnya. Wajahnya lelah, namun tidak menyurutkan dia tersenyum. “Kenapa kamu diam?” katanya.

Saya menggeleng lemah. Tetesan demi tetesan air mata tidak terkendali membasahi wajah saya. Saya berusaha menghentikan tangisan saya, menunduk malu. “Saya senang kamu datang. Maaf, saya cengeng sekali.”

Saya sudah tidak tahu lagi, mungkin saya lelah karena tubuh terporsir beberapa waktu belakangan ini. Saya bahkan tidak memikirkan kemungkinan terburuk jika kata-kata yang tadi saya ucapkan menyinggungnya.

Namun, syukur tidak seperti itu. Tanpa aba-aba, Han memeluk erat saya yang masih berusaha menghilangkan air mata sialan ini.

“Kenapa menangis?” katanya teduh, mengusap-usap rambut saya.

Bukan mereda, isak tangis saya malah semakin menjadi. “Sa-saya tidak tahu, saya hanya senang. Saya rindu.”  Kata saya, membalas pelukan Han.

“Oh, jadi kamu juga rindu. Kalau begitu saya kangen.” Han terkekeh di belakang saya. Mencium puncak kepala saya lama. Sebelum kata-kata itu keluar, yang membuat hati sayang menghangat. Hingga saya lupa bagaimana rasa dinginnya hujan di hari ini.

“Lebih dari itu, saya suka kamu, Hasika Arunika.”

“Saya sudah menyukaimu, lama sebelum kamu menyukai saya.”  


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bagaimana?

S(t)ick with U

UNTUK SIA