Bagaimana?
Lampu-lampu hiasan menyala beragam
warna menerangi seluruh sudut ruangan ini. Bahkan, sinar-sinar yang lain juga
masih banyak bertebaran di luar, membuat suasana malam lebih meriah dari
hari-hari biasanya. Aroma popcorn, jagung bakar, mie cup, bakso,
dan lainnya bercampur menjadi satu, menambahkan kehangatan yang tercipta.
Tidak jauh dari sana, sayup-sayup suara
vokalis band masih terdengar dengan suara merdu. Menyanyikan sepatah dua patah
lagu cinta dan sakit hati.
Dengarkan suaraku kali ini
Kita bukannya berpisah
Hanya saja mencari yang lain
Kenyamanan yang tak sama
Beberapa mahasiswa ikut bernyanyi,
memeriahkan penampilan. Beberapa orang yang bermental tinggi, meneriakkan nama
sesseorang disusul dengan sumpah serapah dan air mata. Dan beberapa orang
lainnya tertawa merasa terhibur.
Ini adalah malam kedua festival yang
ada di kampusku. Setelah pembukaan kemarin yang membuat sakit kaki karena
panjangnya kalimat motivasi dari para dosen. Sekarang merupakan hari perayaan para
mahasiswa dari tamatnya rangkaian hari UAS yang melelahkan. Sebagian orang akan
terlihat senang karena deretan huruf A yang tertera pada sistem, dan sebagian
lagi merasa menyesal, mungkin karena kebablasan menonton drama korea hingga
larut malam.
Aku menghela nafas, melihat pertunjukan
Almatera, Band terbesar dikampusku sedang menyanyikan lagu kebanggannya. Dari
jendela besar ruang tempat latihan koreografi, kulihat flash hp yang menyala,
bergoyang kanan kiri di udara.
Haah… aku sudah terlalu lelah untuk
sekedar ikut bernyanyi. Menjadi panitia bukanlah hal yang menyenangkan, mungkin
itu berlaku untukku. Pagi-pagi buta datang ke kampus, menjadi penghuni pertama.
Bahkan, hantupun heran melihat kedatangan kami yang merusak pesta tengah
malamnya.
Mendekor, berkoordinasi, mengarahkan,
mengecek, semua agenda kegiatan agar tidak terjadi kesalahan sedikitpun. Kesana-kemari
mencari pengisi acara yang belum berada di tempatnya, dan bertemu orang-orang
egois atau sok tenar.
Ketika belum semua keluh kesahku tertumpahkan
dengan benar, suara dering ponsel memecah keheningan.
Satu notifikasi pesan dari Andrea,
laki-laki komunitas tenis lapangan yang sekelas denganku.
Andrea
Ris
Kamu udah selesai tugasnya?
Kamu di sebelah mana? Aku dari tadi
nyari kamu.
Sini buruan, aku di tempat jagung
bakar.
Aku beliin kamu satu, yuk makan dulu.
Andrea sent a pic
Aku hanya membaca lewat pemberitahuan
notifikasi, tanpa berniat sekalipun membuka gambar apa yang ia kirim.
Untuk saat ini, aku malas merespon. Ia terlalu
sering bahkan selalu berterus terang padaku tentang apa yang ada dipikirannya,
bagaimana hari ini ia lalui, dan cerita-cerita konyol koleksinya.
Pada awalnya, kukira ia hanya bertanya
sambil lalu denganku, namun semakin hari laki-laki itu tidak ada hentinya
bertanya, menempel, atau tanpa sengaja menjadi salah satu anggota kelompokku.
Bukan seperti laki-laki strict. Tidak,
Andrea bukan kumpulan manusia seperti itu.
Ia hanya sedikit berlebihan bagiku.
Walau tidak dipungkiri, banyak orang yang berbisik-bisik bagaimana talentanya
laki-laki satu ini.
Bagaimana tidak, baru saja selesai kami
melakukan ospek yang melelahkan itu, entah angin darimana, ia telah menerima
salam penghormatan dari Rektor karena memenangkan medali perak pada
pertandingan tenis lapangan yang bergengsi itu.
Belum lagi, otaknya yang encer seperti
air membuatnya selalu mendapatkan pujian dari dosen. Aku malas mengingat berapa
penghargaan yang ia terima saat kami semua masih menginjak semester satu.
Sekali lagi, dering ponselku berbunyi. dering
yang berbeda.
Itu Nathan. Laki-laki yang dua tahun
lebih tua dariku, senior sekaligus pacarku sejak masih menginjak bangku sekolah
menengah atas.
Nathan adalah laki-laki cuek irit
bicara. Tapi tak seirit para sinetron di tv tangkap.
Ia masih tersenyum atau tertawa jika
ada hal yang lucu, masih berbicara dengan sopan ketika ada yang bertanya. Tapi
untuk gossip? Ah, jangan heran jika ia akan diam mendengarkan tanpa berkomentar
apapun.
“Halo? Kenapa?” Tanyaku saat tombol
hijau telah kutekan.
Suaranya yang datar dan tidak bertenaga
terdengar. “Kamu dimana?”
“Di kampus. Kamu masih dirumah?”
“Hmm, jam berapa pulang? Bawa
motor?” Suara Nathan seperti orang yang baru bangun. Yaah… tidak
dipungkiri, mana mau ia datang ke tempat riuh seperti ini. ya… introvertnya
kambuh.
Aku melayangkan pandangan kembali pada
penampilan di panggung yang kini telah tergantikan dengan tarian.
“Aku gatau. Kayaknya malem, soalnya
masih banyak acara yang belum mulai.”
“Oke. Aku tutup ya.”
“I-“ tiit….
Aku menghela nafas sambil memutar bola
mataku. Sudahlah, Nathan pasti akan tidur kembali.
Kuputuskan untuk pergi dari ruangan
ini, mengambil jaket, dompet yang tadinya tersampir di salah satu kursi.
Saat berada di luar gedung, aku
berpapasan dengan Fanya, teman sekelasku sekaligus teman seorganisasi.
Perempuan itu terlihat sangat feminim dengan kaca mata yang membingkai wajah
mungilnya. Fanya menyapa, lalu berkata santai.
“Kamu dicariin sama Andrea tuh.
Daritadi dia bawa-bawa jagung.” Sudut mata Fanya berkedip sedikit seperti
memberitahu keberadaan laki-laki tersebut.
“Disamperin aja kali Ris, kasian dia.”
Sambung Fanya menyentak kekagetanku.
Aku tertawa canggung. “Haha, ini mau
nyamperin, Nya. Kamu udah selesai di sekretariatan?”
Fanya mengangguk, lalu melihat jam di
tangannya. “Kayaknya aku bakalan pulang lebih awal, tugasku udah selesai semua.
Aku pamit balik ya, Ris.” Fanya mengulurkan tangannya, berlalu pergi ke ruangan
yang tadi kutempati. Mungkin ingin mengambil perlengkapannya yang tertinggal.
Andrea.
Sekarang, satu nama itu yang terngiang
jelas di otakku. Aku berusaha mengabaikan perkataan Fanya tadi dan lebih
memilih membeli beberapa makanan untuk mengganjal perut.
Aku membeli satu cup mie instan dan teh
kaleng. Duduk tenang mendengarkan sayup-sayup suara kemeriahan dari panggung.
Beberapa kali aku berbincang ringan dengan mahasiswa penjaga stand, mulai dari
menanyakan fakultas, dosen, matkul, dan keluh kesah atau keseruan lain.
Setidaknya, diantara keramaian orang,
aku tidak merasa terlalu sendiri, walaupun sendiri juga tidak masalah bagiku.
Tapi… sepertinya bukan untuk saat ini.
Kami mengobrol santai. Aku dan beberapa
mahasiswa dari jurusan yang berbeda.
Hingga mie instanku hanya tinggal kuah
dan teh yang kupegang hanya tinggal kaleng, aku masih nimbrung sesekali tertawa
di sela-sela guyonan lucu mereka.
Dan aku pamit undur diri saat dirasa
kami sudah mulai kehilangan topik pembicaraan.
Sepenuhnya pikiranku telah teralihkan
entah dari apa yang kupusingkan tadi.
Aku berjalan mencari tempat sampah
untuk membuang bungkus mie dan kaleng teh tadi. Sampai, sudut mataku melihat
tempat sampah berwarna hijau di dekat gerobak jagung bakar dan kacang tanah.
Secara otomatis, langkahku berjalan ke arah tersebut, tanpa mengetahui bahwa
seorang laki-laki masih duduk tak jauh dari sana, dengan memegang dua buah
jagung bakar yang masih penuh.
Mata kami tidak sengaja bertemu. Itu
Andrea.
Laki-laki yang kini memakai jeans levis
panjang berwarna navi dengan kaos polo bertuliskan Teknik, sedang menatapku
sembari tersenyum.
Seperti setelah menanti hal yang begitu
berharga. Matanya sedikit sayu, namun tak meluputkan rekahan bibirnya yang
manis.
“Eh ris. Ini aku beliin jagung bakar. Kamu
belum makan ‘kan?” ujarnya seperti tidak ada masalah.
Hatiku sedikit perih. Seperti
tertumpahkan cairan asam.
Aku hanya bisa diam tanpa suara, saat
Andrea mengulurkan satu jagung bakar yang sudah mulai dingin itu padaku.
“Aku kira kamu gabakal ke sini.”
Ujarnya lagi, masih dengan senyum khasnya yang meneduhkan.
Mungkin kali ini, aku seperti orang
jahat yang sangat tidak tahu berterima kasih. Seperti orang tanpa belas kasian
yang arogan.
Tapi mengertilah, aku juga tidak ingin
seperti itu.
Aku hanya sedang menjaga hati.
“Ambil aja. Aku cuma mau buang sampah.”
Hati yang lain.
-bersambung
keren bgt, gpernah gagal nulissnya aaaa🥺
ReplyDeleteMakasi banyak
DeleteBagus Dk
ReplyDeleteThank youu:")
Delete