Bagaimana?

Bagaimana seharusnya aku berlakon? 
Singaraja, 28 Agustus 2021
The Begining, 
Author : Karisma

Lampu-lampu hiasan menyala beragam warna menerangi seluruh sudut ruangan ini. Bahkan, sinar-sinar yang lain juga masih banyak bertebaran di luar, membuat suasana malam lebih meriah dari hari-hari biasanya. Aroma popcorn, jagung bakar, mie cup, bakso, dan lainnya bercampur menjadi satu, menambahkan kehangatan yang tercipta.

Tidak jauh dari sana, sayup-sayup suara vokalis band masih terdengar dengan suara merdu. Menyanyikan sepatah dua patah lagu cinta dan sakit hati.

Dengarkan suaraku kali ini

Kita bukannya berpisah

Hanya saja mencari yang lain

Kenyamanan yang tak sama

Beberapa mahasiswa ikut bernyanyi, memeriahkan penampilan. Beberapa orang yang bermental tinggi, meneriakkan nama sesseorang disusul dengan sumpah serapah dan air mata. Dan beberapa orang lainnya tertawa merasa terhibur.

Ini adalah malam kedua festival yang ada di kampusku. Setelah pembukaan kemarin yang membuat sakit kaki karena panjangnya kalimat motivasi dari para dosen. Sekarang merupakan hari perayaan para mahasiswa dari tamatnya rangkaian hari UAS yang melelahkan. Sebagian orang akan terlihat senang karena deretan huruf A yang tertera pada sistem, dan sebagian lagi merasa menyesal, mungkin karena kebablasan menonton drama korea hingga larut malam.

Aku menghela nafas, melihat pertunjukan Almatera, Band terbesar dikampusku sedang menyanyikan lagu kebanggannya. Dari jendela besar ruang tempat latihan koreografi, kulihat flash hp yang menyala, bergoyang kanan kiri di udara.

Haah… aku sudah terlalu lelah untuk sekedar ikut bernyanyi. Menjadi panitia bukanlah hal yang menyenangkan, mungkin itu berlaku untukku. Pagi-pagi buta datang ke kampus, menjadi penghuni pertama. Bahkan, hantupun heran melihat kedatangan kami yang merusak pesta tengah malamnya.

Mendekor, berkoordinasi, mengarahkan, mengecek, semua agenda kegiatan agar tidak terjadi kesalahan sedikitpun. Kesana-kemari mencari pengisi acara yang belum berada di tempatnya, dan bertemu orang-orang egois atau sok tenar.

Ketika belum semua keluh kesahku tertumpahkan dengan benar, suara dering ponsel memecah keheningan.

Satu notifikasi pesan dari Andrea, laki-laki komunitas tenis lapangan yang sekelas denganku.

Andrea

Ris

Kamu udah selesai tugasnya?

Kamu di sebelah mana? Aku dari tadi nyari kamu.

Sini buruan, aku di tempat jagung bakar.

Aku beliin kamu satu, yuk makan dulu.

Andrea sent a pic

Aku hanya membaca lewat pemberitahuan notifikasi, tanpa berniat sekalipun membuka gambar apa yang ia kirim.

Untuk saat ini, aku malas merespon. Ia terlalu sering bahkan selalu berterus terang padaku tentang apa yang ada dipikirannya, bagaimana hari ini ia lalui, dan cerita-cerita konyol koleksinya.

Pada awalnya, kukira ia hanya bertanya sambil lalu denganku, namun semakin hari laki-laki itu tidak ada hentinya bertanya, menempel, atau tanpa sengaja menjadi salah satu anggota kelompokku.

Bukan seperti laki-laki strict. Tidak, Andrea bukan kumpulan manusia seperti itu.

Ia hanya sedikit berlebihan bagiku. Walau tidak dipungkiri, banyak orang yang berbisik-bisik bagaimana talentanya laki-laki satu ini.

Bagaimana tidak, baru saja selesai kami melakukan ospek yang melelahkan itu, entah angin darimana, ia telah menerima salam penghormatan dari Rektor karena memenangkan medali perak pada pertandingan tenis lapangan yang bergengsi itu.

Belum lagi, otaknya yang encer seperti air membuatnya selalu mendapatkan pujian dari dosen. Aku malas mengingat berapa penghargaan yang ia terima saat kami semua masih menginjak semester satu.

Sekali lagi, dering ponselku berbunyi. dering yang berbeda.

Itu Nathan. Laki-laki yang dua tahun lebih tua dariku, senior sekaligus pacarku sejak masih menginjak bangku sekolah menengah atas.

Nathan adalah laki-laki cuek irit bicara. Tapi tak seirit para sinetron di tv tangkap.

Ia masih tersenyum atau tertawa jika ada hal yang lucu, masih berbicara dengan sopan ketika ada yang bertanya. Tapi untuk gossip? Ah, jangan heran jika ia akan diam mendengarkan tanpa berkomentar apapun.

“Halo? Kenapa?” Tanyaku saat tombol hijau telah kutekan.

Suaranya yang datar dan tidak bertenaga terdengar. “Kamu dimana?

“Di kampus. Kamu masih dirumah?”

Hmm, jam berapa pulang? Bawa motor?” Suara Nathan seperti orang yang baru bangun. Yaah… tidak dipungkiri, mana mau ia datang ke tempat riuh seperti ini. ya… introvertnya kambuh.

Aku melayangkan pandangan kembali pada penampilan di panggung yang kini telah tergantikan dengan tarian.

“Aku gatau. Kayaknya malem, soalnya masih banyak acara yang belum mulai.”

“Oke. Aku tutup ya.”

“I-“ tiit….

Aku menghela nafas sambil memutar bola mataku. Sudahlah, Nathan pasti akan tidur kembali.

Kuputuskan untuk pergi dari ruangan ini, mengambil jaket, dompet yang tadinya tersampir di salah satu kursi.

Saat berada di luar gedung, aku berpapasan dengan Fanya, teman sekelasku sekaligus teman seorganisasi. Perempuan itu terlihat sangat feminim dengan kaca mata yang membingkai wajah mungilnya. Fanya menyapa, lalu berkata santai.

“Kamu dicariin sama Andrea tuh. Daritadi dia bawa-bawa jagung.” Sudut mata Fanya berkedip sedikit seperti memberitahu keberadaan laki-laki tersebut.

“Disamperin aja kali Ris, kasian dia.” Sambung Fanya menyentak kekagetanku.

Aku tertawa canggung. “Haha, ini mau nyamperin, Nya. Kamu udah selesai di sekretariatan?”

Fanya mengangguk, lalu melihat jam di tangannya. “Kayaknya aku bakalan pulang lebih awal, tugasku udah selesai semua. Aku pamit balik ya, Ris.” Fanya mengulurkan tangannya, berlalu pergi ke ruangan yang tadi kutempati. Mungkin ingin mengambil perlengkapannya yang tertinggal.

Andrea.

Sekarang, satu nama itu yang terngiang jelas di otakku. Aku berusaha mengabaikan perkataan Fanya tadi dan lebih memilih membeli beberapa makanan untuk mengganjal perut.

Aku membeli satu cup mie instan dan teh kaleng. Duduk tenang mendengarkan sayup-sayup suara kemeriahan dari panggung. Beberapa kali aku berbincang ringan dengan mahasiswa penjaga stand, mulai dari menanyakan fakultas, dosen, matkul, dan keluh kesah atau keseruan lain.

Setidaknya, diantara keramaian orang, aku tidak merasa terlalu sendiri, walaupun sendiri juga tidak masalah bagiku. Tapi… sepertinya bukan untuk saat ini.

Kami mengobrol santai. Aku dan beberapa mahasiswa dari jurusan yang berbeda.

Hingga mie instanku hanya tinggal kuah dan teh yang kupegang hanya tinggal kaleng, aku masih nimbrung sesekali tertawa di sela-sela guyonan lucu mereka.

Dan aku pamit undur diri saat dirasa kami sudah mulai kehilangan topik pembicaraan.

Sepenuhnya pikiranku telah teralihkan entah dari apa yang kupusingkan tadi.

Aku berjalan mencari tempat sampah untuk membuang bungkus mie dan kaleng teh tadi. Sampai, sudut mataku melihat tempat sampah berwarna hijau di dekat gerobak jagung bakar dan kacang tanah. Secara otomatis, langkahku berjalan ke arah tersebut, tanpa mengetahui bahwa seorang laki-laki masih duduk tak jauh dari sana, dengan memegang dua buah jagung bakar yang masih penuh.

Mata kami tidak sengaja bertemu. Itu Andrea.

Laki-laki yang kini memakai jeans levis panjang berwarna navi dengan kaos polo bertuliskan Teknik, sedang menatapku sembari tersenyum.

Seperti setelah menanti hal yang begitu berharga. Matanya sedikit sayu, namun tak meluputkan rekahan bibirnya yang manis.

“Eh ris. Ini aku beliin jagung bakar. Kamu belum makan ‘kan?” ujarnya seperti tidak ada masalah.

Hatiku sedikit perih. Seperti tertumpahkan cairan asam.

Aku hanya bisa diam tanpa suara, saat Andrea mengulurkan satu jagung bakar yang sudah mulai dingin itu padaku.

“Aku kira kamu gabakal ke sini.” Ujarnya lagi, masih dengan senyum khasnya yang meneduhkan.

Mungkin kali ini, aku seperti orang jahat yang sangat tidak tahu berterima kasih. Seperti orang tanpa belas kasian yang arogan.

Tapi mengertilah, aku juga tidak ingin seperti itu.

Aku hanya sedang menjaga hati.

“Ambil aja. Aku cuma mau buang sampah.”

Hati yang lain.

 -bersambung

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

S(t)ick with U

UNTUK SIA