Uncertainty

 

Military Story 
-I am your biggest uncertainty-

“Na, kamu udah siap?”

Mama masuk ke kamarku dengan baju casual rapi. Beliau tampak masih bersinar diumurnya yang sudah memasuki kepala empat.

“Udah, papa jadi ikut?” tanyaku, menyambat tas jinjing yang ada di samping meja rias.

Hari ini, mama menyuruhku untuk menemaninya berbelanja salah satu mall di pusat kota. Ini adalah sesuatu yang langka bagi seorang ibu sepertinya, karena semua waktunya lebih sering habis untuk mengurus perpajakan negara ini.

Aku melangkah keluar menggunakan dress biru tua selutut dengan aksen bunga putih yang jarang. Sepatu putih kesayanganku juga kembali kugunakan setelah menganggur lama di pojok ruangan.

“Iya, papa udah nunggu di luar. Yuk cepet, keburu malem.” Kata mama, menggandeng tanganku.

Aku tersenyum kecil, tidak mempunyai banyak tenaga untuk meladeni mama.

Hatiku sedang tidak baik-baik saja dan kemarin sore, aku menghabiskan sisa kelenjar air mata yang masih menanti untuk keluar. Mengunci diriku di kamar seharian, membuat mama khawatir akan kondisiku. Tapi, alangkah baiknya ia tau bahwa aku sedang tidak ingin diganggu, dan membiarkanku meluapkan semua perasaan ini.

Seseorang laki-laki. Aku menunggunya lebih dari lima bulan. Tanpa kabar, tanpa komunikasi, tidak tau di belahan bumi mana ia tersangkut. Tidak bisa kudengar cara bicaranya, bahkan tidak bisa kulihat secara nyata.

Aku mengkhawatirkannya lebih dari kesehatanku.

Pekerjaannya memang seperti itu, menjadi penengah dibeberapa daerah perbatasan, daerah dimana hukum tidak berlaku. Daerah, yang masih menjunjung tinggi hukum rimba.

Pernah, suatu hari ia berkunjung ke rumah, masih dengan seragam corak loreng. Bekas peluru di dagunya dan jahitan melintang di pelipisnya terlihat baru. Wajahnya yang penuh noda.

Dan ia hanya tersenyum dengan lesung pipi manis di kanan, merentangkan tangannya padaku setelah menjatuhkan tas yang beratnya menyamai batuan purba.

“Saya tidak tau kapan kembali lagi. Jika bosan, carilah yang lain. Saya tidak pernah melarang.” Ujarnya pada setiap antaran pergi.

Aku tidak pernah melihatnya menangis, merintih, atau mengeluh. Parasnya memang tegas, tidak ada raut kelembutan, keras, senyumnya pelit.

Bersyukur, karena aku salah satunya yang bisa melihat antonim dari dirinya yang lain.

“Hana, kenapa bengong? Ayo cepet masuk mobil.” Aku tersentak. Papa dari balik kemudi menyadarkanku.

Kubuka pintu, lalu duduk di jok belakang sendirian.

Mobil melaju membelah jalanan senja. Matahari mulai turun di garis horizon. Sinarnya membias dari bujur ke bujur.

Laki-laki itu sangat suka diam tanpa suara, melihat rotasi tata surya di depan matanya. Duduk diantara bebatuan dengan dua tangan di belakang yang menopang tubuhnya. Terkadang ia sangat ekspresif menceritakan semua kegiatannya di barak. Pergantian komandan, siswa baru, kesalahan yang berakhir lucu, atau sebatas celana dalam yang tertukar sesama temannya.

Di lain waktu  ia juga bisa bisu, dan menjadi pendengar terbaikku. Ia mengingat semua cerita yang kuucapkan, walau hanya membalas dengan deheman atau anggukan, aku masih bisa merasakan bahwa ia menyerap semuanya.

Mobil terus melaju. Aku menghela nafas dalam diam. Suara mama papa yang berbincang tidak juga membuat perasaanku membaik.

Entah berapa ribu pesan yang sudah kukirim. Berpuluh surat yang pernah kuantar ke markasnya, atau sekedar bertanya pada temannya yang telah menyelesaikan misi.  

Tapi tidak ada informasi yang pasti.

Saya sendiri tidak bisa menjamin keberadaannya. Kami kehilangan kontak selama hampir dua bulan lamanya, tapi radar pasukannya masih kami pantau sampai sekarang. Maaf, hanya itu yang bisa kami katakan.” Suara penutup pertemuan singkat itu.

Dengan sepatu tinggi yang menapak tegas, pimpinan itu keluar dari ruangan tanpa satu katapun, dan di saat itu, di ruangan itu, beberapa orang menangis tersedu. Terlingkup satu rasa yang tidak ada kepastian.

Sebisa mungkin aku melakukan kegiatan keseharianku. Bangun pagi, berangkat ke kantor, pergi ke toko buku, menulis cerita, membuat instrumen lagu.

Dan mengingatnya di ujung malam, dalam diam, dan tanpa batas.

 “Kamu masih kuat, Hana? Saya padahal sudah berpikir akan mendapatkan undangan pernikahan darimu.” Ujarnya untuk pertemuan kami kesekian kalinya.

Senyumnya hangat saat menyampaikan itu. Tersirat lelucon di sisipan baris kalimat itu.

Aku terlalu sibuk jika harus memikirkan penggantimu, Hana. Mungkin, jika tidak bersamamu, aku akan mengiklhaskan untuk tetap sendiri sampai mati.” Katanya kembali, saat hujan mulai turun di tempat makan yang kami kunjungi.

Bagaimana kabarmu? Apakah ada berita baru?” tanyanya, dengan santainya menyurup kopi hitam.

Tanpa kusangka, air mataku kembali menetes. Aku terlalu lama terdiam.

“Kita udah mau sampai, sebentar lagi. Atau kamu mau mampir ke tempat makan dulu?” tanya mama sendu.

Dari spion depan, mama tersenyum tegar padaku. Sedangkan papa mengalihkan pandangan dengan fokus menyetir.

“Gausah ma, tadi Hana udah makan.” Jawabku.

“Liat kamu diem gini, papa jadi nganggep kamu masih anak papa yang umur dua tahun.” kata papa memulai percakapan.

“Kamu kadang diem-diem nangis waktu mama mandiin kamu karna jatuh. Waktu paha kamu luka, kamu diem ga bilangan, sampai mama nangis juga sama kamu.” Kata papa diselingi tawa.

Suara papa renyah, sama seperti laki-laki itu. Aku terkekeh, mengusap air mataku.

Kami berbincang sedikit lama, hingga mobil berhenti di parkiran mall. Setelah membayar, kami masuk ke dalam. Papa berpisah karena ingin mencari sandal, sedangkan mama menggandengku untuk mencari celana kain.

“Raka dapet ngirim kabar lagi, Na?” kata mama mulai rileks, tangannya memilah dan memilih diantara celana yang terpajang.

Raka, nama laki-laki yang kutunggu sampai saat ini. Tidak bisa untuk melupakaan lebih lama, dan kembali aku teringat lagi, menceburkan diri dalam kenangan yang lain.

“Belum.” Kataku pelan.

Mama kembali terdiam setelah berdeham.

Namanya Raka. Raka Heeraken. Rambutnya hitam terpangkas rapi, tubuhnya tegap tinggi, kulitnya coklat eksotis yang selalu membuatku iri. Dan matanya yang mempesona, jangan lupakan poin penting itu.

Nama saya Raka. Kamu Hana, ‘kan?” kalimat pertama yang ia lontarkan saat ia mendapat kunjungan ke SMA-ku.

Seragamnya bersih, menjinjing baret hijaunya.

Masih ada tugas ya? Saya tunggu boleh?” tanyanya lagi saat ia melihatku berbicara melalui walkie talkie.

Hari itu adalah hari yang sibuk, ramai, dan padat. Ulang tahun sekolah serta reuni akbar dilaksanakan serentak.

Menjadi bagian dari OSIS, sepertinya tidak akan bisa lepas untuk ikut membantu persiapan kegiatan dan menjadi panitia adalah salah satu jalannya.

Aku hanya bisa tersenyum sopan sambil menggumamkan kata minta maaf.

Aku tau dirinya. Ia salah satu alumni sekolah ini, diundang untuk menjadi bintang tamu di salah satu acara.

Seperti katanya, kurang lebih tiga jam ia menunggu di kursi lipat di sisi gedung. Hanya melihat hilir mudik orang-orang yang berlalu lalang.

Ia kembali tersenyum senang saat aku berjalan menghampirinya.

Saya kira kamu lupa.” Katanya sederhana, hingga percakapan rumit menyenangkan yang mengisi beberapa waktu ke depan.

“Waktu saya sudah habis. Boleh saya minta nomor hpnya?” itu adalah pertama kalinya seorang laki-laki meminta nomor ponselku secara terang-terangan.

“Saya mau kenal kamu.” Lanjutnya saat aku masih diam.

Ia mengecek lebih dari enam kali nomor ponselku. Mengulang, dan bertanya apakah sudah benar. Terbaca konyol, bukan? Tapi itulah kenyataannya, sebelum ia menghilang dibalik kerumuman bersama teman-temannya yang lain.

Raka dan teman-temannya, sebenarnya menjadi perhatian banyak dari murid-murid saat itu. Mereka terlihat sangat berkarisma, dan tidak sedikitpun pikiranku untuk mengetahui lebih banyak tentang mereka. Mereka seperti robot, sedikit sekali tersenyum, padahal para murid sudah tertawa.

“Ini saya, Raka. Masih ingat?” pesan pertama yang ia kirim setelah lebih dua bulan acara ulang tahun sekolah berlalu. Bahkan, aku harus mengingat kembali sebelum menjawab pesan tersebut.

“Saya takut ganggu sekolah kamu. Jadi saya cari waktu yang pas.” Hari itu, aku masih ingat. Kami berkirim-kiriman pesan hingga pagi dini hari. Toh, juga besok adalah liburan panjang.

Aku tersenyum, entah untuk yang keberapa kali.

“Saya tidak pernah berpacaran sebelumnya. Jadi saya tidak tau bagaimana seharusnya mengatakannya padamu. Hanya saja, saya sudah suka denganmu dari awal bertemu. Waktu itu, kamu sedang membawakan acara pembukaan. Jadi, bagaimana?” sore itu, di lapangan, setelah berlari lima putaran, ia mengatakan kalimat itu.

Wajahnya sedikit bersemu, ia menggaruk tengkunya yang kutahu itu tidak gatal.

Aku tertawa, pertama kali melihatnya bertingkah menggemaskan. Dan ia ikut tertawa setelah aku menjawabnya secara jelas.

Hari-hariku lebih baik.

Raka. Sosok yang mungkin banyak orang idamkan.

Papa dan mama lebih sering menghabiskan waktu di kantor, dan aku sendiri di rumah yang lumayan luas itu tanpa pembantu atau saudara.

Terkadang ia akan menemaniku jika papa memintanya, namun ia tidak pernah menawarkan diri.

Saya juga laki-laki, Hana.” Katanya saat aku bertanya alasannya.

Apa kamu nyaman di sana? Bagaimana dengan teman-teman barumu?” ujarnya saat aku pindah kerja ke divisi baru.

Ia sabar mendengar keluh kesahku tentang rekan kerja atau kesialan di hari itu.

Bukan hanya pasangan, tapi ia juga sahabat satu-satunya yang kumiliki.

Dari jendela besar mall, kulihat matahari mulai terbenam, kembali tertidur di peradaban.

Hatiku menghangat, memutar ulang kenangan manis bersamanya.

Saya suka lihat matahari terbenam. Apalagi sama kamu, jarang-jarang, ‘kan?” Ia menoleh ke hadapanku hangat.

“Saya tidak tau kalau dulu saya populer. Kalau bukan kamu yang cerita, mungkin sampai kapanpun saya gamikirin itu.” katanya saat aku bercerita kehadiran keduanya di sekolahku dulu.

Saya masih ingat waktu kamu tidak balas pesan saya tiga hari. Jujur saja, saat itu saya bingung sekali. Ternyata, kata tante kamu lagi cemburu, ya? malu sekali. Saya harus konsultasi sama ibu kamu dulu.” tawanya terdengar renyah, tidak henti-henti, sambil mengusap kepalaku lembut.

“Warna bajunya bagus, Hana. Sekalian saja beli itu, kamu jarang sekali jalan-jalan seperti ini.” ia mengambil beberapa baju tanpa banyak pikir, dan membayarnya cepat. Saat itu, aku berpikir, ia lebih pintar masalah berbelanja dibandingkan diriku sendiri.

“Kamu kemarin ke markas? Kenapa tidak tunggu saya? Saya lagi di kolam renang, ngajarin siswa baru.” Itu adalah ekspresi kesal pertamanya. Mulutnya maju beberapa mili tanpa ia sadari, dan saat itu aku tidak bisa memberhentikan tawaku.

“Besok sampai tiga hari, saya libur. Mau kemana? Atau bareng sama orang tua kamu ke desa? boleh saja, yang penting sama kamu.” Ujarnya saat ia mengunjungiku selepas piket, masih dengan seragam lengkapnya. Jujur saja, itu keren.

Mengenang itu semua, membuatku merasak sedikit terobati, walau tidak sepenuhnya.

Sangat kuharapkan kami bisa menjadi sepasang yang seperti orang lain banyak lakukan. Memakan eskrim di pinggir jalan? Atau sekedar piknik kecil di kebun raya.

Kuharap aku bisa melakukan itu.

Matahari telah tenggelam sepenuhnya. Menyisakan warna langit yang berhenti membias, menjadi biru gelap hingga hitam.

Helaan nafasku terdengar jelas. Mataku tertutup beberapa detik.

Kulihat kembali dunia di luar yang kini bermandikan bintang.

Hai, apakah harimu baik-baik saja di sana?

 

 

Dari Raka Heeraken

Untuk Hana  

 

Hai, Hana. Apakah surat ini sampai ke  kamu? Atau aku yang terlebih dahulu nampak di hadapanmu?

Seperti biasa, di beberapa misi, kami diperintahkan untuk menulis surat. Dan, sepertinya misi ini sedikit berbahaya, karena siratan selembar kertas putih ini.

Bagaimana kabarmu di sana? Apakah kamu baik-baik saja? dan bagaimana keadaan orang tuamu? Apakah mereka masih sering duduk dan berbincang di teras rumah? Apakah terdapat kesusahan di pekerjaanmu? Kamu pernah bilang, kamu kesal dengan salah satu teman kerja yang selalu mengacuhkanmu. Apakah masih seperti itu sekarang?

Di sini sedang mendung, Hana. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Kami sedang mendapatkan waktu istirahat, aku malas jika bergabung dengan yang lainnya di ruang aula. Kuharap aku bisa menghubungimu, tapi tidak ada sinyal di sini dan kami kehilangan kontak dengan markas pusat.

Hana, aku tidak tau apakah aku akan kembali atau tidak.

Mungkin kau sudah hapal apa yang akan kukatakan, entah itu saat kau didepanku, atau di surat ini.

Kamu tau, Hana? Aku adalah ketidakpastian terbesarmu.

Jadi, jika suatu saat aku tidak akan kembali lagi, jangan tangisi aku terus menerus. Jangan menunggu seakan aku masih bernafas dengan baik, dan jangan sekali-kali berharap bahwa yang kamu alami hanyalah bagian dari mimpi.

Kenyataan untukku semu. Mungkin pagi hari kamu masih bisa tertawa denganku, tapi setiap jam bahkan setiap detik hidupku tidak bisa kujamin.

Seharusnya, jika aku tau aku tidak bisa mencari yang lain tapi kamu, seharusnya tidak usah kamu menunggu saat ulang tahun sekolah tempo itu. Lebih baik, aku diam duduk di sana seperti orang bodoh.

Atau, seharusnya aku yang tidak menghampirimu. Hanya melihat dan menganggumimu untuk saat singkat itu.

Kata-kataku tidak pernah sejelasmu, aku tidak bisa mengungkapkannya. Tapi kuharap kamu tau, aku selalu padamu.

Kamu perempuan kuat, dan kuharap akan seperti itu untuk selamanya.

Kemungkinan terburuk yang tidak ingin kupikirkan harus terus kupikirkan.

Jika aku tidak kembali, berbahagialah tanpaku, walau aku sangat kurang ajar jika harus mengatakan ini.

Jika aku tidak datang, jangan terlalu menunggu. Jangan anggap aku menghilang, tapi anggap aku telah tiada, agar kamu tidak perlu menunggu kepastian lagi.

Semua peristiwa dan kegiatan yang kamu bagi untukku, sudah lebih dari cukup untuk kukenang di nafas terakhirku.

Kuharap surat ini tidak tersampaikan padamu.

Supaya aku yang bisa menyampaikan, dan kembali bertanya kabarmu setelah lama kita tidak bertemu.

Salam terakhir dariku,

Aku mencintaimu.

 

 

 "Pakaian yang kau gunakan terlalu terbuka, Hana. Tapi aku menyukai corak bunga putih. Ingin sekali aku memasangkan jaket dan celana panjang, supaya tidak ada laki-laki yang melihatmu seperti terserang penyakit malnutrisi" 

-Raka 8/07_unknow 


 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana?

S(t)ick with U

UNTUK SIA