S(t)ick with U
Di tengah
hiruk-pikuknya Bandara Ngurah Rai hari itu, seorang gadis berkulit kuning
langsat melintasi loket-loket keberangkatan menuju ke loket Internasional.
Rambutnya yang hitam legam menjuntai indah hingga punggung. Jalannya tegap dan
mantap, seperti tidak ada ikatan duniawi lagi dengan hal dibelakangnya.
Dihyan
Dahayu. Gadis itu akan meninggalkan Bali hari ini. Berencana tidak akan
kembali, apapun alasannya. Koper abu-abu besar yang diseretnya menjadi bukti
bahwa ia bukan hanya berpindah tempat, namun juga akan berpindah rumah.
Suara
dering ponsel dari dalam tas pundak yang dibawanya, membuat Dihyan menghentikan
langkahnya sementara. Itu dari Geya, sahabat satu-satunya sejak mereka duduk di
sekolah dasar.
Awalnya
Dihyan ragu mengangkat telponnya. Ia tidak mau rencana yang sudah ia susun
bertahun-tahun menjadi hancur berantakan karena kata-kata yang akan Geya
lontarkan. Ia takut Geya tidak mendukungnya kali ini.
Tapi
bagaimana lagi, Dihyan tetap mengangkatnya setelah beberapa kali deringan.
“Halo Ge?
Kenapa?” Ujar Dihyan. Kembali melangkahkan kakinya, namun kali ini lebih pelan.
“Dihyan,
kamu beneran udah di bandara?” tanya Geya dengan suara cemas. “Kamu beneran
enggak akan balik ke Bali?” sambungnya.
Dihyan
menghembuskan nafasnya. “Iya, aku kemarin ‘kan udah bilang kalau aku diterima
kerja di sana.” Mereka berdua memang sudah lulus kuliah dengan Sarjana Satu di
waktu yang tepat. Tidak lebih dan tidak mungkin kurang. Dihyan pernah
mengatakan ingin bekerja di luar negeri, sedangkan Geya ingin meneruskan tim
ayahnya. Tapi, Geya tidak menyangka kalau ‘bekerja di luar negeri’ yang Dihyan
maksud akan muncul secepat ini.
Geya membuang
nafas berat. “Aku bakalan kangen banget dah sama kamu, lho.” Suara Geya
bergetar lemah. “Hati-hati ya berangkatnya. Maaf aku ga bisa temenin.”
“Gapapa
Ge. Kemarin ‘kan kita udah jalan-jalan dari pagi sampai malem.”
“Papa aku
nyariin kamu lho. Baru aja dia mau rekrut kamu di tim-nya.” Ayah Geya adalah
seorang penulis, dan ia sangat menyukai gambar-gambar ilustrasi dari Dihyan.
Karena buku-buku yang ia publiskan juga sudah sampai keluar negeri, jadi Ayah
Geya mempunyai tim sendiri untuk membantunya.
Dihyan
terkekeh. Bekerja dengan ayah Geya memang seru, dan sebenarnya yang menyunting
naskah adalah Geya sendiri, lalu dibagian illustrasi sampul adalah Dihyan.
Mereka
sering menghabiskan waktu bertiga sampai malam di Bale Bengong rumah Geya untuk
berdiskusi seputar alur suatu cerita. Nanti jika Dihyan dan Geya mulai
mengantuk, Ayah Geya akan memberikan minuman racikannya untuk membangkitkan
imajinasi mereka berdua.
“Nanti
aku bantu kalau kalian ada cerita baru.” Ujar Dihyan menyemangati.
Geya
mulai terisak kecil. “Hati-hati di sana. Kalau ada apa-apa inget berkabar,
Dihyan. Nanti Mendengar itu, Dihyan merasakan sedikit rasa perih yang mulai
merambat di dadanya. Bagaimanapun, mereka sudah berteman sejak lama dan Dihyan
pasti akan sangat rindu dengan Geya. Walaupun seperti itu, Dihyan memang tidak
bisa tinggal lebih lama lagi, dan tekadnya untuk pergi sudah bulat.
Sampai di
loket keberangkatan internasional, dengan berat hati Dihyan berpamitan dengan
Geya. Ia harus segera melakukan pengecekan untuk menuju bagian imigrasi. Karena
ini kali ketiga Dihyan naik pesawat, jadi setidak ia sudah lebih paham mengenai
langkah-langkahnya.
Dihyan
melewati bagian imigrasi dengan aman, dan sedikit telat karena pengumuman
tentang jadwal keberangkatannya sudah tersiar. Dihyan bersama para penumpang pesawat
lainnya menaiki pesawat lalu mencari tempat duduk masing-masing, dan
beruntungnya Dihyan bisa mendapatkan kursi di samping jendela pesawat. Kebetulan
Dihyan memesan tiket premium economy,
jadi akan ada satu orang lagi di samping Dihyan.
Selang sekian
menit, terdengar suara pria dari belakang yang bertanya mengenai tempat
duduknya. Dihyan menoleh karena penasaran, seorang pria tinggi blasteran
berjalan di lorong tempat duduk Dihyan dan berhenti tepat di barisan kursi
Dihyan.
Sedikit
senyum terbit dari pria itu dan sambil menyapa Dihyan, ia duduk disampingnya.
“Hai,”
ujarnya berbisik. Pria itu menjulurkan tangannya dan memperkenalkan dirinya sebagai
Johan. Dihyan tersenyum sambil menjabat tangan Johan dan memperkenalkan diri.
Suara pramugari
terdengar kembali, menginformasikan semua penumpang untuk menggunakan sabuk
pengaman karena sebentar lagi pesawat akan take
off.
“Nice to meet you, Dihyan. Apa kau akan
ke Belanda?” tanya Johan sembari memasang sabuk pengaman di tubuhnya.
Dihyan
hanya mengangguk. Menurutnya, pertanyaan Johan sangatlah retorik. Pesawat ini
tidak akan transit kemanapun dan tujuan utama juga satu-satunya hanya ke negeri
kincir angin yang dingin.
Setelah
pesawat take off, Dihyan mulai
mengatur posisi yang nyaman untuk tidur. Rencanya yang tadi ingin membaca buku
yang baru ia beli di bandara buyar, karena rasa kantuk yang tiba-tiba datang.
Wajar
saja, sebenarnya langit di luar masih gelap. Dihyan sengaja mengambil
keberangkatan paling pagi, ia benar-benar tidak mau lagi mengotori hari dan
pikirannya di belengu masa lalu.
“Kau
sudah mau tidur?” Hampir saja Dihyan lupa, kalau ada laki-laki blasteran di
sampingnya.
Dihyan
hanya mengangguk tanpa mau repot-repot membuka matanya yang sudah ia tutup
rapat.
“Benar-benar
akan tidur?” tanya Johan lagi. Dihyan berusaha sabar dengan menarik dan
membuang nafasnya perlahan, tanpa sepengetahuan sesosok makhluk yang tidak mau
diam di sampingnya.
Walaupun
Dihyan tidak menjawab sepatah katapun, Johan kembali melanjutkan ucapannya
sembari berbisik. “Sebentar lagi matahari akan terbit. Kau tidak mau
melihatnya?” tanya Johan sedikit mendekat ke arah Dihyan. “Kau tidak tertarik
melihat sunrise? Melihat matahari
terbit dengan ketinggian beribu kaki di atas tanah akan sangat menyenangkan,
Dihyan.” Johan benar-benar mengatakan itu di telingan Dihyan! Tepat ditelinga
gadis itu hingga Dihyan bisa merasakan geli dari suara hembusan nafas Johan.
Akhirnya Dihyan
terpaksa membuka matanya, menoleh ke samping menampilkan Johan yang sudah
terlihat prima dengan senyum manis tipisnya. Dihyan bahkan tidak mengerti
kenapa Johan mau repot-repot memberitahu seseorang yang bahkan baru ia kenal
sepuluh menit yang lalu. Dihyan tidak mengerti, kenapa Johan tidak tidur dan
menunggu pesawat turun, lalu mereka berpisah ke tujuan masing-masing.
Tanpa
sadar mereka saling memandangi wajah satu sama lain. Dihyan yang memandang
Johan dengan raut bingung, dan Johan yang melihat Dihyan dengan wajah antusias.
Mata
bulat berwarna biru gelap itu jika dilihat lebih teliti memang sangat jernih.
Alis tebal dan hidung mancung, belum lagi lesung pipi di kiri yang selalu
muncul tiap kali laki-laki itu tersenyum.
“Lihat!.”
Bisik Johan tiba-tiba sembari menunjuk ke jendela di belakang Dihyan. Reflek
dengan salah tingkah Dihyan berbalik dan melihat matahari kecil membias di
tengah-tengah awan kelabu. Dari yang awalnya berpusat di titik ekliptika, mulai
membentang, memenuhi garis lintang. Dan bintang di bawah sana mulai padam satu
per satu karena bintang yang lebih besar telah kembali dari tidur.
Sejenak
Dihyan diam, memandangi betapa majikal yang ia lihat. Pemukiman bawah awan di
bagian ufuk timur mulai mendapatkan sinar. Perasaan sendu, Dihyan rasakan
ketika mengingat kenangan apa saja yang sudah ia tinggalkan sedikit demi
sedikit.
Tidak mau
kembali larut, Dihyan membuang pandangannya ke depan, lalu menutup matanya
kembali. Johan yang tadi ikut menyaksikan proses matahari terbit dibuat bingung
dengan sikap Dihyan. “Bagaimana? Apa kau tidak suka?” Tanya Johan.
“Biasa
saja.” Ujar dihyan ketus. “Tolong biarkan aku tidur dan jangan bersikap seperti
kita mengenal satu sama lain.” Sebisa mungkin, gadis manis berwajah oriental
itu tidak mau terikat emosi dengan siapapun. Baginya perasaan manusia sulit
dimengerti, dan ia juga merasa dirinya bagian dari problematika itu.
Johan menyadari
bahwa kata ‘biasa saja’ yang Dihyan ucapkan merupakan suatu kebohongan. Namun
melihat wajah Dihyan yang memang sarat dengan kelelahan, Johan berusaha
mengerti.
“Baiklah.
Aku tidak akan mengganggu lagi, tapi jujur saja Dihyan, aku senang bisa
berkenalan denganmu.”
Itu
kata-kata terakhir Johan yang Dihyan dengar, karena setelah itu Johan memang
tidak mengganggunya lagi. Bahkan Dihyan tidak mendengar satu patah katapun dari
Johan hingga pesawat itu mendarat di Amsterdam Belanda.
Awalnya
Dihyan menimang-nimang apakah perkatannya tadi kepada Johan keterlaluan?
Bagaimanapun laki-laki itu baru Dihyan kenal dan Dihyan memang sedikit tertarik
dengan sikap Johan. Satu lagi, matahari terbit terakhir yang Dihyan lihat di
Bali, Dihyan akui memang secantik yang dikatakan Johan.
Dihyan
terus memikirkan sikapnya tadi sambil menunggu dengan heran kenapa kopernya
tidak muncul-muncul. Padahal ia sudah lama berdiri di sana.
Hingga
hal yang Dihyan takuti terjadi. Semua koper sudah diambil oleh pemiliknya dan
mesin itu telah kosong.
Dihyan
kehilangan kopernya. Semua sketsa dan barang-barangnya ada disana dan kini
seperti tidak ada yang lebih buruk dari mendengarkan Johan mengoceh setiap
hari, Dihyan harus dengan lapang dada mengatakan bahwa ia memang kehilangan
kopernya.
Ia bergegas
ke petugas imigrasi, mengatakan semua masalahnya secara runtut. Petugas itu
terlihat kebingungan ketika mendengar Dihyan yang menggunakan bahasa inggris.
Dengan raut wajah bersalah, petugas itu mengucapkan sesuatu dengan bahasa
inggris yang tidak fasih bahkan harus menggunakan bahasa isyarat tangan.
Sial! Gadis
itu kesal setengah mati, merutuk dalam hati, kenapa di dunia yang modern ini
masih saja ada orang yang tidak mengerti Bahasa inggris, dan parahnya itu adalah
petugas imigrasi.
Dihyan
menghela nafas, lalu tersenyum tipis pada petugas itu, hendak pergi dan mungkin
menangis sebentar untuk meratapi nasib malangnya.
Namun
seperti telenovela di pertunjukan orkestra ternama. Seorang laki-laki menepuk
punggung Dihyan yang sudah ingin jatuh ke inti bumi.
Dihyan
menoleh malas, dan menemukan manusia cerewet itu lagi.
Johan
tersenyum menampilkan gigi-gigi rapinya. “Bagaimana? Sekarang apa kau sudah mau
berbicara denganku? Dihyan?”
Baiklah,
satu lagi manusia yang akan menyangkut di pohon kehidupan Dihyan Dahayu.
Sangat bagus
ReplyDelete