Tirai


untold story by : risma.karisma as Wy and Anaphalis



-Aku ? aku tidak percaya dengan jodoh, Tuhan memberikan, dan umatnyalah yang memustuskan selanjutnya. Ini bukanlah era kuno yang mengatakan hal penting tanpa sebuah alasan yang jelas.- 


-Tapi kenangan yang terjadi membantah pemikiran dan konsep-konsep modern yang coba anda terangkan. Bisakah jangan memandang dunia dengan satu sisi mekanika saja ? lihat pula bahwa disetiap detik yang anda lewati, terdapat hal yang tidak bisa dirumuskan dengan Hukum Newton dan sejenisnya. Itu adalah seni, dan hati.-


Hujan baru memasuki Kota Singaraja pada awal bulan Desember. Padahal aku telah merindukan hujan sejak bulan Oktober. Tidak ada yang tahu rencana tuhan bukan ? Bahkan ketika hujan telah memberanikan diri muncul di Semesta, hatiku masih kalbu abu-abu.

Keluar dari sangkar, membawa tas Pundak kecil berwarna biru muda ditemani dengan payung transparan bermotif butiran hujan, kini aku siap menjalani hari yang semoga lebih bahagia. Langkah kakiku menciptakan suara percikan di sana sini. Hujan sudah tidak selebat saat fajar baru menyingsing, tapi tetap saja membuat orang lain malas bangun dari tidur nyenyak. Aroma tanah yang menguar dan pohon rindang di jalanan kecil membuat suasana mendukung dalam membolak balikan kenangan akan seluruh hal. Itu juga berlaku bagiku. Aku mulai mengingat momen seru di desa kecil yang unik, nama desa itu seperti nama Hari Raya Besar masyarakat Bali setiap enam bulannya.

Minggu 16 Desember 2018, kami melakukan penjelajahan seperti anak pencinta gunung lakukan, naik turun bukit, mencari jejak-jejak yang tersangkut di pohon, hilir mudik melewati pos-pos penjagaan sambil menebak-nebak siapa ketua suku dari pos tersebut. Dan jika mengikuti alur perut, lidah hanya bisa mengatakan enak dan sangat enak, karena hanya itu kata yang tersisa untuk saat ini.

Sampai akhirnya malam dan hujan kembali datang, memborbardir seluruh tenda yang telah berjejer rapi. Malam itu ada yang membuat hangat relung benakku, walau setelahnya, aku bergegas dilarikan ke salah satu rumah warga karena terkena hipotermia, ini sungguh memalukan. Malam itulah dimana pintu terbuka dan kalbuku dalam keadaan already sold. 

Saat itu, pengarahan terakhir dari kakak mentor, yah sedikit terdapat teriakan disana sini untuk memperindah suasana malam. Warga yang ingin menyaksikan, terdiam cermat melihat yang terjadi disana, dilapangan luas yang basah karena hujan. Anak-anak desa hilir mudik berlarian dengan ria menerjang genangan air hujan tanpa takut ada kuman dan virus menempel di sela-sela kulit mereka. Mungkin mereka ingin mengalihkan perhatianku dan teman-teman yang masih fokus dibarisan rapi dengan lontaran bahasa yang sulit dimengerti oleh telinga. Yang kudengar hanya cercaan yang silih berganti dari beberapa orang didepan. Itu kakak tingkat kami.

“Disiplin boleh ! tapi inget yang dibelakang juga ! gapunya hati kalian !!”

“0taknya cuman 5 cm kawan”

“lemah, cuman gitu aja sakit. Aku dulu lebih parah tau !!!”

“kita udah memanusiakan manusia dek !!”

Itu sedikit dari banyak kalimat yang kudengar dengan jelas. Mungkin karena sistem saraf diotakku telah melahirkan dendrit baru khusus untuk menyimpan kata-kata itu di memori jangka panjang. Yep, aku tidak tau pasti.

 Selama 30 menit, aku diam membisu mendengar semuanya dengan teman-temanku, juga kakak-kakak yang akan nanti meneruskan. Dan akhirnya waktu itu datang juga. Setelah mengambil senam malam yang dapat menguruskan badan, kami diperintahkan melingkar mendekati api unggun dengan kelompok penjelajahan masing-masing. Satu per satu dari kelompok menampilkan pentas seni yang sederhana tetapi dapat membuat bulan hujan ini menjadi sedikit lebih bermakna. Tidak ketinggalan dengan kami. Bernyanyi riang, dan sambil mengingat-ingat gerakan setelahnya. Agni meronta-ronta keras, membuat seluruh pesereta terpana dan berusaha mendekat, sayangnya kami segera diperintahkan untuk menjauh sekian sentimeter. Takut terjadi tragedi yang tidak diinginkan.

Aku tidak tau pasti berapa lama kenangan ini membuatku tertawa lepas. Oh ya, kalian juga harus tahu, sebelumnya aku memang sempat mengenal dan melihatnya menyanyikan lagu sebagai password bersama teman-temanya, tapi bodohnya, aku belum sadar sepenuhnya dan menganggap biasa. Sampai saat tirai alam sedikit demi sedikit merapatkan jarak satu sama lain, hingga membuat tenda-tenda yang telah ditempel pada pertiwi banyak yang beralih fungsi menjadi bendungan. Aku dan teman-teman bekerja sama membangun itu seperti semula. Kami memakai baju kelelawar dengan cepat, panik, menahan tawa, sedih, kecewa, semua terlihat saat air tuhan turun.

“tahan ni e, pakek simpul yang kayak gini, terus iket tali yang kesisa tuh ke atas”

“minta patoknyaaa!!”

“cangkulnya pinjem e”

“ih anterin pipis je, takut nok”

“bak minum ujannya, asin apa manis ? isi pasir ya ?”

“Aih! ngantuk kali”

Jika kalian berada disana setelah semua menjadi memori yang siap di simpan apik, kalian akan merasa rindu dan takut secara bersamaan. Dan jangan tanya aku, ‘kenapa.’ Karena aku hanya anggota yang membiarkan itu mengalir dengan sendirinya.

Hingga sampai saat  giliran tenda tempat tidurku dan teman-teman diperbaiki. Dia datang bersama sekitar 2 sampai 3 laki laki lainnya. Raut wajahnya tenang seperti semuanya akan baik-baik saja, tidak seperti kawannya yang mencetak ekspresi panik. Dia melakukannya dengan hening dan berkonsentrasi, sampai itu selesai dengan ikatan yang lebih kokoh dari ikatan tenda sebelumnya. Jangan hujat aku, karena jika boleh jujur, wajahnya berseri, seperti ingin tersenyum tapi dia menahannya, wajahnya seperti seseorang yang bersyukur telah berhasil melakukan sesuatu yang besar. tepat berdiri di depan raganya, ada rasa ingin menatap sepasang kornea itu. Tidak ada alasan sama sekali, aku hanya ingin tau.

Kemudian, ada hal yang membuat kupu-kupu diperutku ingin berterbangan. Apa aku salah lihat karena tirai-tirai itu terlalu rapat, ataukah memang dewi fortuna sedang berkehendak demikian. Malam yang khali, tatapanku dengannya beradu sekitar tiga detik, hingga guratan kiri kanan bibirnya tertarik sempurna menciptakan senyum simpul yang manis dan langka. Sesederhana itu pula yang kuabadikan sampai sekarang. Sudah kubilang sedari awal bukan ? ini sederhana bagiku, yang mungkin tidak akan pernah diingat olehnya. Oh ya, saat itu juga, aku lupa bahwa ada kakak tingkat yang berteriak namaku. Memalukan sekali.

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana?

S(t)ick with U

UNTUK SIA