Guratan Pena Penyusun Kisah



untold story by : Risma.karisma as Wy and Anaphalis



Sabtu, 13 oktober 2018. Smansa Singaraja_

           Detik demi detik berlalu, meninggalkan sejuta buah pikiran yang muncul setiap saat tanpa disadari. Terkadang membekas menjadi kenangan, dan terkadang terlupakan begitu saja. Kenangan yang terekam dengan jelas di ingatan, seperti putaran video yang mengabadikan momen terkecil dari sebuah kilasan peristiwa.

              Dan disinilah aku sekarang, memandang seantero keindahan murni. Mentari tersenyum hangat menyinari hatiku yang ikut mengukir bahagia dalam diam. Menikmati pemandangan yang kian menyejukkan mata.

              Dia, dengan kelihaian bakatnya memainkan lantunan melodi. Tenggelam dalam harmoni yang tercipta dari gerakan tangannya. Dia. Jika boleh ku berkata jujur, aku tak hanya kagum pada permainan jari jemarinya,tapi lebih dari sekedar itu.

              Ya,aku menyukainya, menyukai semua tingkah lakunya, menyukai gerak gerik pikirannya, menyukai seluruh guratan ekspresi di wajahnya, apapun tentangnya, aku menyukainya, segala tentangnya, tanpa tanda kutip pengecualian.

              Mataku terkunci pada satu objek yang selalu bisa menarik perhatianku. dia, yang tanganya sedah lincah menari-nari di atas reong, salah satu gamelan Bali, dengan raut wayah yang seakan mengatakan “jangan ganggu aku” terkesan dingin dan tak tersentuh. Seperti menyatu dalam suasana sakral Rahina Saraswati, dia memberi imbuhan-imbuhan nada yang melahirkan Keistimewaan suatu Simponi.

              Lirikan demi lirikan ku layangkan padanya, dan sedetik kemudian ku alihkan pandanganku, takut-takut jika dia tau aku melihatnya. Hanya itu yang bisa kulakukan, inginku berbicara banyak padanya, tapi mungkin tak ada itu dalam takdir. Setiap bertemu dengannya, aku akan memasang wajah datar, sedater-datarnya untuk menetralkan degup jantungku. Tak ada berbicara baik baik diantara aku dan dia. Hanya pertikaian, perdebatan, permusuhan, dan peperangan yang terjadi ketika aku bersamanya.

              Tapi aku menikmati setiap hujatan kata-kata yang saling terlontar dari bibirnya. Walau itu begitu menyesakkan hati, ku akan tetap tahan, sampai kapanpun. Perang mulut sudah menjadi hal biasa yang kulakukan bersamanya, umpatan, hinaan, dan cercaan keluar begitu saja.

“gue ga nyangka ada makhluk kayak lo hidup didunia ini”

“dih emang gue pingin gitu spesies kayak lo lahir ? ogah banget”

“lo ngerusak ekosistem bego”

“lo ngerusak biota”

“bacot !”

“Bomat, mulut mulut gue !”

“serah”

              Yah, kurang lebih akan seperti itu. Semua kata-kata yang mengibarkan bendera perang sudah menjadi makananku ketika bertemu dengannya.

              *Hingga saat itu tiba.

              Seperti biasa aku menulis semua hal menarik yang terjadi antara aku dan dia, sambil mendengarkan lagu yang berjudul Alec Benjamin - Let Me Down Slowly* ditemani dengan sahabat yang selalu ada di sampingku. Aku asik menulis hingga suara dari sahabatku mengintrupsi kegiatan menulisku

“lo ga cape apa kayak gitu? Ga niat bilang langsung ?” katanya

“gue ga akan capek, dan untuk saran yang niat bilang langsung, that is really impossible I do” jawabku

“there is no word Impossible”

“but I have it” sangkalku

“terserah lo deh” sergahnya.

              Bel berbunyi dengan nyaring, sebagai alarm untuk segera memasuki kelas karena istirahat telah berakhir, aku dan sahabatku berjalan ke kelas masing-masing, tapi sebelum dia masuk kekelasnya, dia mengatakan

“sekarang, besok, atau lusa, gue nunggu klimaks dari kisah lo”

Aku yang tak mengerti maksud dari kalimat tersebut, tidak terlalu menghiraukan perkataanya.

              Aku berjalan menuju lantai 2 dimana kelasku berada, sambil membaca ulasan kisah diaryku. Ku pijakkan kakiku di satu per satu anak tangga. Tapi, ketika kakiku sudah menginjak anak tanggal ke 5, langkahku dicegat oleh seseorang. Aku mendongak ke atas untuk melihat siapa yang menghentikan langkahku, dan saat itulah manik matanya bertemu dengan manik mataku, jantungku berdegup kencang, keringat dingin mulai terasa mengalir di punggung dan dahiku. Cepat-cepat ku ubah raut wajahku menjadi datar.

“lo telat masuk kelas, bel udah dari tadi bunyi” dia membuka percakapan dengan lirikan matanya yang tajam

“trus ? apa masalahnya ? lo siapa gue?” ketusku, di dalam hati ku meronta tak ingin mengeluarkan kata-kata itu

“coba sehari aja kita ga berantem, gue bosen harus adu mulut sama cewe”

“coba sehari aja lo ga ikut campur masalah gue, gue bosen harus ngeluarin banyak tenaga buat bicara” sarkas ku. Hatiku sudah tak bisa lagi menahan degupan jantung ketika berdekatan dengannya, ku trobos dia dan segera melesat menaiki anak tangga, tapi untaian tanggannya lebih cepat dari gerakkanku. Dia mencengkram pergelangan tanganku, dan menarikku untuk menuruni anak tangga lagi

“ikut. Gue” titahnya dengan penuh penekanan

“apaansih, lepasin ! tangan gue sakit bego ! ini udah jam belajar !” aku meronta, tapi dia terus menarikku ke taman belakang perpustakaan tanpa bicara satu katapun. Setelah sampai di taman belakang perpustakaan, dia melepas cekalannya, jarak kami terpaut cukup dekat, aku bisa merasakan nafasnya yang tidak teratur, tapi aku tak peduli lagi. Mataku memanas ketika mendapat perlakuan kasar darinya.

              Aku menundukan kepala seraya mengusap air mataku yang jatuh tanpa aku sadari.

“mau lo apa sih ? kenapa lo benci banget sama gue ? lo selalu buat hidup gue ga nyaman! Apa lo aja yang bosen kalo setiap papasan kita adu mulut ? enggak ! bukan cuman lo yang bosen ! gue juga bosen! Jujur aja, gue mau kita kayak temen yang lainnya, ngomong baik-baik, curhatan, sambil ketawa. Bukan kayak gini !” aku mengeluarkan uneg-uneg yang sekian lama bersarang di hatiku. Mataku menatap lurus lirikan matanya yang tajam.

“mau gue apa ?” dia berhenti sejenak, menatap balik netra hitamku. “mau gue itu sederhana. Gue kasih lo 2 pertanyaan, dan gue harap lo jawab jujur” dia menghela nafas sejenak.

“lo suka gue ?” tanyanya to the point. Seketika seluruh tubuhku seperti tersengat listrik, aku tak tau harus menjawab apa. Ku tundukan kepalaku, tak berani melihatnya.

“lo tinggal bilang, lo suka gue apa engga? Dan gue butuh jawaban jujur dari lo” ucapnya. Tapi aku tetap diam

“gue hitung sampai dua setengah, dan kalua lo masih gamau jawab, lo tanggung sendiri akibatnya” seperti biasa, dia menggunakan ancaman untuk membuat orang membuka mulut

“satu” dia mulai menghitung, tanganku bergerak gelisah memilin seragamku

“dua”

“dua se-“

“ya ! gue suka sama lo !! uda puas mojokin gue ? sekarang lo uda punya kan alasan untuk benci gue ? silahkan benci gue, gue tanggung semua kata-kata pedes lo” cercaku. Dia tetap diam melihatku menangis. Oh tidak, aku benci terlihat lemah di mata seseorang.

              Dia tersenyum, senyuman manis yang jarang dilihat orang.

“kenapa ga bilang?” terdapat nada geli di perkataanya,

“gue tau udah lama tau lo suka gue. Waktu sahabat lo ngeluarin kata-kata sarkasnya di depan gue. Dia bilang gue itu ga pekaan kek, bad, entah, gue uda lupa. Dan ujung-ujungnya dia bilang, kalo lo suka sama gue dari lama” dia terkekeh menatap langit ketika menceritakan kembali ulasan peristiwa itu.

“dan saat itu gue benci sama lo, sebenci-bencinya. Dan sekarang, benci gue makin beralasan kan? Karena lo udah jujur ?” senyum smirk nya terpampang jelas. Aku hanya bisa pasrah dengan kejadian selanjutnya.

“gue. Benci. Lo.” Ucapnya lagi. Dan yang kulakukan hanya menundukan kepala, dan air mataku mulai mengalir. Inginku rasanya beranjak dari tempat ini, berlari darinya. Tapi, belum sempat ku melakukan semua itu, tubuhku direngkuh masuk ke dalam pelukannya.

              Aku tersentak kaget ketika dia mengusap lembut kepalaku, aku semakin bingung ketika dia tertawa kecil di balik punggungku.

“gue benci lo ga jujur sama gue” katanya

“lo ga akan tau, berapa lama gue nunggu hari ini, dan lo ga akan pernah tau” dia mengeratkan pelukannya padaku.

“gue takut” dua kata yang menjadi alasanku

“gue makan nasi kok, ga makan manusia, jadi ngapain takut hm ?”

“pertanyaan yang kedua” dia melepaskan pelukannya

“gue yang nembak? Atau lo?” kerlingan jahil nya terbit begitu saja. Aku tersenyum mengusap air mataku yang sudah berhenti mengalir. Tak ada jawaban dariku, dan balasannya adalah pelukan erat singkat. Aku berlari dari hadapannya, ketika sudah jauh aku menoleh dan melihatnya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Aku berlari menuju kelas dengan secarik senyuman yang tak akan luntur.

              Aku tau, mulai dari hari ini dan detik ini, hidupku tak akan lagi sama. Beribu kata terima kasih akan kulayangkan pada sahabatku, sahabat terbaik yang pernah ada.

The end.

                                                

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana?

S(t)ick with U

UNTUK SIA