-Seutas Takdir-


*Story by : Wyliand.


Dibawah temaran, di kaki khatulistiwa. Aku memijakkan hati pada salah satu umatnya. Sulit rasanya untuk tetap percaya ketika harapan telah menjadi debu. Sulit pula rasanya ketika Nurani berpihak lain dengan logika. Mereka menentang, tapi aku kini tetap tuli, mereka mencaci maki, tapi aku tetap bisu. Bisakah aku hentikan kegilaan ini ? bisakah aku kembali padamu ? lebih dari sekedar doa. Ini dosa, tapi sangat kunikmati.

Aku hanya manusia, yang tak terlepas dari duniawi. Aku hanya ingin berjalan Normal. Apa aku salah jika aku rasakan berbeda terhadap dirinya ? tidak bisakah perbedaan ini disatukan ? aku hanya ingin tetap bersamanya. Itu saja.

***

Hari sabtu adalah hari yang sangat sangat menyenangkan bagiku, sulit untuk diekspresikan, tapi ketahuilah, aku sangat menikmati hari ini. banyak orang yang selalu mengatakan padaku, bahwa aku gila bekerja di hari dimana kau bisa tidur nyenyak tanpa gangguan dari alarm. Tapi inilah aku. Jam setengah delapan aku telah sampai di Kantor, saling menyapa sesama karyawan, berbicara ringan ketika berada di lift dan duduk rapi di meja kerjaku. Rasanya sangat menyenangkan.

Hari ini aku ditugaskan untuk membuat refrensi dari 26 Novel keluaran terbaru. Itu artinya aku harus membaca novel tersebut dan menuangkan karakteristik novel tersebut ke resensiku. Hal apa yang lebih menyenangkan dari membaca secara gratis dan mendapatkan uang? Terlebih lagi, diantara 26 Novel ini, 17 novel merupakan novel keluaran terbaru dari penulis favoritku.

Oke kita mulai kerjakan sekarang, Aku mulai menulis bagian pembukaan agar terasa segar.

“Dunia tak seluas itu, Surga juga tak sesempit dikatakan banyak orang, jika anda bisa menjadi pupuk setelah jatuh ke pertiwi, disana anda bisa merasakan apa itu arti bersyukur”

Yap, mungkin itu cukup. Tapi ketika aku mulai mengeluarkan pelangi, tiba-tiba telp berdering di tasku, kuangkat tanpa melihat terlebih dahulu siapa itu.

“Halo ? selamat pagi” sapaku riang. Di seberang sana, suara tertawa pelan terdengar,

“Halo, apa kabar ?” deg, dia ?

“Aku ada di tempat kerjamu, tapi diruang atasanmu. Sedang mengurus ijin agar kau bisa ikut aku ke tempat itu, dan aku harap kita bisa menjadi partner” Singkat, dan langsung dia matikan. Antara senang dan sedih, bercampur aduk di dalam perutku. Ke tempatnya ? itu berarti aku akan kembali ke daerah Khatulistiwa itu? Partner ? terdengar amat manis di telingaku.

Aku kembali menyibukkan diri dengan tulisan-tulisanku dan setelah 4 resensi selesai kutulis, atasanku memanggil agar aku segera ke ruangan beliau. Aku bergegas kesana tanpa membawa apa-apa. Yang ada di pikiranku hanyalah, bagaimana aku bersikap biasa pada lelaki itu nanti. Aku akan banyak mengeluarkan energi untuk menghadapinya nanti.

Di depan ruangan atasan, aku terus menarik turunkan nafas,

“You can do it” bisikku pada diriku sendiri. Aku mengetuk pintu dengan pelan dan sopan.

Tok.tok.tok

“Permisi bu” atasanku adalah Bu Ameli, beliau orang yang sangat periang dan hangat, jadi tidak heran jika semua bawahan hormat dan patuh padanya.

“Sini Ka, duduk dulu” ucap Bu Ameli dengan wajah tersenyum. Aku tidak berani melihat kesamping, karena kutau dia sedang melirikku.

“Baik bu” jawabku.

“ini perkenalkan, namanya Pak Ricky. Dia adalah mitra kerja kita. Pak Ricky jauh-jauh terbang kesini karena ingin melakukan pertukaran pegawai. Dan saya merekomendasikan 5 orang termasuk kamu. Kamu yang terpilih dalam 5 orang tersebut Ka. Apa kamu setuju dengan ini ? jika tidak, mungkin saya akan mencarikan yang lain untuk Bapak Ricky” Penjelasan Bu Ameli membuatku bergidik. Didalam hati

ya iyalah, emang gitu niatnya kesini bu, saya mau diculik’

Tapi aku tidak mungkin mengucapkan itu, oke sekarang saatnya pencitraan.

“Tapi bu, urusan saya disini masih menumpuk, saya tidak enak hati jika melimpahkan ke pegawai lainnya” yep

“pegawai saya akan bekerja disini jika anda mau ikut saya, dan semua tugas anda akan menjadi kewenangan pegawai saya nantinya” Begitu lugasnya di bicara, dan jujur, aku rindu pada suara beratnya.

“Untuk rumah saya, bagaimana ? saya nanti tinggal bersama siapa disana ?” ucapku lagi

“akan ada rumah khusus pegawai disana, jadi anda tidak perlu khawatir.” Singkat.

“bagaimana Ladika ?” tanya  Bu Ameli, wajahnya sarat akan pengharapan, dan aku tidak tega dengannya.

“beri waktu saya 3 jam saja bu, saya akan menghadap ibu setelah itu” kataku, di hadiahi lirikan sinis dari lelaki itu.

“baik,, saya akan memberi waktu 3 jam bebas untukmu berpikir, dan untuk Pak Ricky mohon menghargai keputusan Bu Ladika”

Setelah itu aku dipersilahkan untuk meninggalkan ruangan,  begitu pula lelaki itu. Baru saja dia menutup pintu, tangannya langsung mencekal tanganku, dia menarikku ke lift terdekat

“Apa maksud Bapak ya ? bisa tolong lepaskan ?” ujarkan sambi berusaha melepaskan cengkramannya, tapi itu sia-sia. Tenaganya beribu lipat kuatnya dari tenagaku.  Setelah di lift, dia menekan tombol yang menuju ke parkiran bawah.

“Tidak perlu sok professional, kamu tau sendiri kedatanganku kesini” ucapnya

“Aku tau, tapi ini masih di kantor Ky, jangan mengada-ada” aku meliriknya sinis.

“masih sama seperti dulu, sedikit saja, tolong ubah sikapmu” kurasakan tangannya mengerak, di pergelangan tanganku.

“kupastikan, setelah ini tanganku akan memerah, kamu mau membunuhku Ky?” mataku memerah, tidak terima diperlakukan seperti ini.

Tidak ada lagi percakapan diantara kami, bahkan sama lift telah berada di parkiran. Ricky terus menggenggam tanganku, lalu menyuruhku masuk ke mobil. Pintu mobil dikunci langsung olehnya, dan Ricky mengendarai mobil keluar dari parkiran dengan wajah marah.

Aku mencoba bersikap lembut padanya, karena aku tau, jika semakin tinggi intonasi lawan bicara, maka kemarahannya akan semakin tinggi.

“maaf Ky, aku akan ikut kemana kamu ingin pergi kali ini” Kini, aku berusaha mengalah.

Dia diam, tapi aku tau dia sedang memendam amarah. Lama Ricky diam, dan perjalanan ini mungkin memakan waktu yang lama. Jadi aku putuskan untuk tidur saja, toh aku percaya, dia akan melindungiku kapanpun dan dalam situasi apapun.

“La, bangun” kurasakan Ricky menepuk pipiku dengan lembut. Tidurku lumayan lama, jadi, mungkin ini sudah tidak di kota tempat ku tinggal.

“hhmm,” aku berdehem, enggan untuk membuka mata. Dengan telaten Ricky menggendongku, dan aku dibaringkan di, sebentar, pasir ?? Whoa, ini pantai. Tapi pantai ini sedikit ada orang yang mengunjungi. Kantukku langsung hilang ketika Ricky tidur dipahaku.

“elus rambutku” titahnya. Tumben. Biasanya dia tidak akan pernah membiarkan orang menyentuh rambutnya.

“aku tidak akan marah jika itu kamu, lagipula ini sudah tidak dalam pengawasan kantor. Jadi aku bisa  bersiap tidak professional denganmu” cercanya. Aku mengelus kepalanya tanpa jawaban. Rambutnya lembut, wangi coklat.

“kenapa kamu datang kesini Ky ?” aku memulai percakapan.

“tidak perlu kujawab”

“kenapa kamu nekat ?”

“kamu tidak tau seberapa rumitnya tanpa kamu, apalagi setelah aku tau kamu bergaul dengan lelaki disini. Rasanya aku ingin mencekik mereka semua” Amarahnya mulai kembali, Jariku mulai menelusuri dahi dan matanya, agar emosinya dapat mereda.

“kamu tau sejak awal, kita berbeda, kamu tau juga, aku ingin dengamu, tapi apa kamu punya solusi ? tidak bukan ?” jawabku

“mereka mau menerima perbedaanmu, tapi apakah pihakmu mau La ?” skakmat. Tidak ada lagi yang bisa kuucapkan.

“Kembalilah La, aku tau kamu juga sama sepertiku” Ricky mendominasi pembicaraan, sedangkan aku tetap mengelus rambutnya dengan tangan gemetar menahan tangis. Disaat seperti ini, dia bisa menjadi lembut. Tapi kadang aku heran, mengapa di depan banyak orang, dia sangat antisosial ?

“ikut aku ke sana, kujamin hidupmu akan Bahagia. Itu yang kamu inginkan bukan ?” Ricky memegang tanganku yang satunya.

“aku tidak bisa” aku menangis tertahan. Ricky diam sejenak.

“kenapa ?”

“kita mempunyai mereka Ky, mereka mengharapkan sesuatu yang normal terjadi” ujarku “sangat tidak adil bagi mereka yang telah membesarkan kita, dan kita mengecewakan mereka” tangisku tak dapat dibendung lagi. Ricky mengubah posisi menjadi duduk. Dan memelukku erat. Berkali-kali dia juga terus mencium kepalaku.

“jadi jawabanmu kini sama La ?” suarannya bergetar. “baik, itu maumu. Tapi bisakah kamu diam di tempatku untuk sementara waktu ? sampai aku belajar mengerti kepergianmu?” Dia mengeratkan pelukannya.

Aku menggeleng pelan. Dan dia tidak bertanya lagi. Kurasakan dia menangis, kembali mengeratkan pelukan, dia mencium dahiku, dalam, seperti itulah tanda perpisahan kami yang tidak bisa diganggu gugat.  Kami larut dalam kekecewaan.

Bilamana memang tuhan hanya satu, mengapa kami dilahirkan berbeda ?


Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana?

S(t)ick with U

UNTUK SIA