JUST THIS



[cerita ini ku tulis hari ini. Senin, 26 Mei 2020] 
[ Setelah ulangan matematika, dan menunggu ulangan sejarah]


"JUST THIS"
big story made by my heart. 



Pada masanya, kau tercipta untukku, tapi pernah juga masanya kau tercipta untuknya.

Sahabatku.



Aku menyesal? Tentu tidak.

Taukah kalian? Sulit mungkin untuk dipercaya tapi memang beginilah adanya. Kami punya ikatan batin. Sst, terlalu lebbay sih, tapi ya bagaimana lagi.



Saat itu matahari terik menyinari sekolahku. Hari itu tepat dimana sekolahku terlepas dari jam mengajar belajar. Oh tentu aku senang sekali, siapa sih murid sekolah unggulan yang tidak senang dengan adanya free class? Mungkin hanya murid ambisius yang membenci  itu, I don’t know.

Aku ingat, kami, aku dan temanku mengitari sekolah untuk membunuh rasa bosan. Itu adalah hari pertama kami merayakan ulang tahun sekolah. Yap, itu ulang tahun sekolah. Banyak sekali pernak Pernik dan hiliran music yang tak surut berhenti. Lapangan basket menjadi ajang tarung bebas. Maksudku bukan saling bertengkar, tapi disana tempat adu futsal atau basket. Mungkin jika ini adalah salah satu part novel, akan ada kalimat yang mengatakan bahwa banyak siswa laki laki most wanted sedang bermain basket, dan teriakan membahana dari kaum hawa. Contohnya seperti ini :

“Beeuh, ganteng banget sih, jadi pacar gue doong.”

“Itu kakak yang gue taksir, tajir kan? Apalagi waktu dia senyum, mantep gan, meleleh kayak keju mozarela gue.”

Tapi di ceritaku ini, tidak ada hal yang seperti itu, sangat

Allay

Lebbay

Dan banyak pencintraan. Terus pakek acara labrak labrakan lagi. Heh, situ deso banget sih:v

Oke kita kembali lagi ke alur sebelum cerita ini melenceng lebih jauh.

Jalanan sekolah terasa ramai, tawa dan sorak gembira, panitia yang hilir mudik menahan senyum, menahan tawa, ataupun sebaliknya. Kakak kelas dengan pakaian bawah yang sangat minim, ketat, dan tidak perlu dijelaskan lagi. Aku kadang berpikir, bagaimana bisa mereka menggunakan rok yang lebih mirip dengan rok pelayan bartender di kafe gelap?

Entahlah, mungkin hanya masalah selera.

“Bolos yuk.” Ucapku di sela-sela pembicaraan kami.

Tara mebelalak sambil tangannya reflek memukul kepalaku. Aku tentu mengaduh kesakitan.

“Lo sesat.”

“Lha, baru tau.”

“Ya jangan disini juga sesatnya nyet.”

“Kok?”

“Gue masih mau hidup damai, males disuruh hormat tiang.” Tara memutar bola matanya, menyurup jus alpukat di genggamannya.

“Abisnya juga kita gangapa-ngapain disini Ra.” Sungguh aku bosan sekali.

“Belanja.” Ujarnya memberi saran.

“No. Terlalu mahal dan ga ada rasa. Emak gue bisa buat gitu dirumah.”

“Perpus.”

“Banyak yang ngadem.”

“Kelas.”

“Kotor.”

“Terus mau lo apa bambank!”

“Ruptop kuy.” Ucapku sedikit berbisik.

“Gila aja lo! Ada Ruang OSIS.” Tara makin geram denganku. “Btw lo sama Panda gimana?” lanjutnya.

“Ya ga gimana-gimana. Kalo lo?”

“Gue berantem sih kemarin.” Ucap Tara seakan tidak ada beban.

“Hah? Serius lo?” tanyaku memastikan.

“Iya gitu.” Tara mengedikkan bahu. “Kayaknya dia lagi suka sama orang lain deh.”

“Gobloknya ga ke tolong. Masih pacar ngomong gitu.”

“Lha terus gue harus gimana? Harus sayang sayangan gitu? Ngebucin lagi? Ogah banget deh.”

Kami terus berbincang sambil kaki terus melingkari area sekolah. Mulai dari lapangan utama, ke Gedung belakang, perpustakaan, kantin, dan koridor.

“Gue lagi bingung juga sih.” Ungkapku. “Kita kan beda gitu. Aneh aja.” Aku menghela nafas, mengingat kembali. “Kayaknya gue deh yang bakal ngalah.”

“Sa ae lo.”

“Ih serius.”

“Gausah.”

“Lo emang mau putus?”

“Ya kagak juga.”

“Yaudah nurut.”

“Hmm.”

Kami kembali terdiam, larut dalam kebosanan dan arrrrgggh! Sampai sekarangpun aku malas untuk mengingatnya.

Aku duduk di lapangan hijau, sambil menutup mata. Sedangkan Tara? Oh dia sedang berjoget ria mendengarkan lagu blekping itu. Beberapa pesan masuk terdengar dari HP-ku.

Aku tau siapa yang mengirimnya, hanya saja aku malas menjawab. Toh juga jam aktifnya lima jam lagi. Yasudahlah aku balas lima jam lagi. Jam akitf? Ho oh, laki-laki khatulistiwa itu yang menghubungiku. Mungkin hanya satu dua pesan untuk membalas pesanku kemarin yang belum ia balas karena masih bersama pacarnya.

Pacar?

Tentu. Aku hanya selingkuhannya.

Kaget?

Tentu tidak.

Aku memejamkan mataku, tidur diantara debu dan kuman yang menempel di rerumputan. Jika memang tidak bisa membolos, setidaknya aku bisa tidur tenang sebentar, sebelum jam keluar berdering.

Drrrrt…. Drrrrtt….. Drrrrtt….

Ck mengganggu.

“Ha-“

“Baca.” Dan sambungan terputus cepat setelah lontaran tiga huruf.

Aku membuka notif pesan, melihat ada dua ratus lima puluh delapan pesan darinya.

Aku melongo tidak percaya. Bagaimana bisa!

Biasa, akulah yang mengirim pesan spam padanya Ketika aku gabut kebangetan



He Equator :

Lo kenapa?

Bales woy!

Gue beli novel baru!

Lo harus liat!





Aku tersenyum. Ini cerita yang paling absurd yang pernah ku tulis. Karena apa?

Karena ketika aku menulis cerita ini, aku malah mengingat dia yang berada di cerita “Tirai.” Ku,

Bukan dia yang kini ku tulis pesannya.

Sungguh ironis.

Mungkin jika laki-laki khatulistiwa itu lebih dekat bersamaku, aku akan menjatuhkan seluruh hati padanya. Tanpa tersisa sepersenpun untuk laki-laki di ceritaku yang berjudul “Tirai.”

Sayangnya ya seperti itu.





Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana?

S(t)ick with U

UNTUK SIA