Ruang Tunggu



Ini adalah bulan penghujung tahun. Bulan hujan, bulan laron, dan bulan pancaroba. Aku ingin mencoba menulis kisah, tentang seseoran yang begitu berharga. Dan ini adalah sebuah bentuk penghargaan. Kepadamu yang tak tergantikan.


Anaphlais.Minggu, 25 November 2019.Singaraja.





Malam itu, dia duduk termenung di teras rumah, ditemani secangkir kopi yang telah dingin, mungkin karena matanya, lebih terfokus pada objek yang dinanti. Juga ditemani semangkok kue bolu berwarna hijau. Beberapa kali tangannya menampar bagian tubuhnya. Nyamuk kala itu memang merajarela, darah tuanyapun tak suruh dari hisapan. Tapi dia tak gentar, dan terus menunggu hingga larut. Mata tuanya sendu, sesendu sang Chandra dikala itu. Mendung bergelantungan di langit gelap, menambah suasana sunyi. Jangkrik beradu bunyi, memperlihatkan kekuatan untuk si Betina. Lama dia menunggu, sampai-sampai terkantuk-kantuk di teras rumah itu.

Kapan yang ditunggunya datang? Dia juga tak tau, mungkin jika tak datang sampai fajar, dia akan tertidur disana. Meringkuk di bawah dinginnya malam. Sepi sunyi tanpa kata. Tapi mungkin malam ini akan berbeda dari malam-malam sebelumnya.

Dikegelapan, Nampak deru mesin menjadi raja di masa lilin batik. Semakin dekat semakin nyaring. Dia lalu bergegas berdiri, berjalan kearah gerbang dengan kaki tua ringkihnya itu. Dan meletup sang gusti yang ditunggunya dari balik kegelapan.  Sampai mesin itu berhenti berbunyi dan masuk ke pekarangan. Dia cepat-cepat menutup akses luar masuk rumahnya.

Dihampirinya seseorang itu dengan belas kasih.

“mandi dulu nggih, sudah di buatkan air hangat” kata dia. 

Seseorang itu menurut, menuntun dia kembali ke dalam gedong.

“di sini saja, di luar banyak nyamuk, nanti sakit” ucap seseorang itu, sebelum mengambil handuk, lalu bergegas menuangkan air panas di panci ke dalam ember.

Dia menunggu dengan sabar. Berkhayal-hayal masa jayanya dulu.  Bertubuh sehat, rambut hitam panjang. Parasnya ayu, cantik rupawan. Namun, tak pernah ia syukuri kemolekannya. Dirinya selalu menjadi bahan taruhan pada masa Kompeni dulu. Sungguh biadab. Tidak bermoral sama sekali.

Dirinya seperti hidangan siap santap, jika tidak mau, maka akan di gorok. Apalah day ajika dia mati, tidak ada lagi yang mengurus cerik-cerik  itu. Tak apa, jika memang harus berkorban, dia siap. Agar nanti asuhannya dapat tersenyum senang dengan aman, tanpa takut sore malam akan terjadi tragedi bunuh diri.

Bertahun-tahun dia lewati sebagai hidangan lezat bagi para Kompeni bejat. Sampai-sampai, datang pemuda membawa bamboo runcing, menebas ulu hati kompeni itu. Rasanya dia seperti bebas. Terlahir kembali, walau separoh jiwanya telah pergi entah kemana. Hidup aman adalah cita-citanya dulu. Dan kini telah tercapat. Lihatlah sanak saudaranya, rukun tanpa tusuk menusuk. Tak seperti anak tetangga yang bertengkar harta warisan. Tidak perlu punya emas berlian menurutnya. Melihat sanak-sanaknya tersenyum, sangat mulia di matanya.

“Saya sudah selesai mandi, ngidih pelih  tadi saya ada urusan mendadak, makanya pulang sedikit larut” jelas seseorang itu. Tampak lebih segar dengan bulir-bulir air dibadannya yang belum menjadi uap.

Dia tersenyum, lalu mengelus kepala seseorang itu dengan sayang.

nggih ,” hanya itu yang keluar dari mulutnya. Wajahnya yang telah termakan usia masih Nampak ayu disinari lentera.

“besok-besok tidak usah nunggu saya pulang, nanti sakit. Tunggu di dalam saja, supaya kalau ngantuk, bisa tinggal tidur. Nanti saya yang tutup gerbangnya” orang itu berucap, sambil mengambil minyak kelapa di atas meja.

ten kenapi supaya dapat lihat wajahmu dulu, baru bisa tidur. Kalau tidak begitu, tidak tenang rasanya” mereka saling bercengkrama, menghadirkan suasana nyaman, sambil dibalur minyak kelapa, dia dipijat oleh orang itu, juga membagi cerita tentang setiap hal yang mereka lalui.

Sedetik kemudian, ada hal yang membuatnya tidak nyaman. Tapi tetap dia meneruskan pembicaraan itu. Sampai semmua tubuh si dia telah hangat. Barulah mereka tidur, memberi keamanan satu sama lain.

Esok, lusa pun sama seperti itu. Tapi semakin hari, semakin besar kejanggalan di hati orang itu. Maka ia putuskan nanti tidak akan pulang terlalu larut. Cepat-cepat ia selesaikan pekerjaannya supaya tidak menginap lagi disini.

Dan menuju surya terganti bulan, ia pulang kerumah, melihat sesuatu yang mengejutnya. Wanita itu, terbatuk-batuk keras di teras tempat biasa menunggu. Bercak-bercak darah ada dimana-mana. Tak kuasa ia melihat, langsung ia gendong wanita itu, sambil terus menahan tangis.

“tidak apa-apa, sekarang akan sembuh, bertahan sedikit” kata orang itu dengan suara gemetar.

“tumben pulang cepet, sudah selesai kerjanya ?” dia masih bisa tersenyum, senyum seorang ibu yang mampu memberi perlindungan batin terhadap sang anak.

“iya, sudah selesai, besok saya cuti, saya temani sampai kapanpun” orang itu sudah tak kuasa menahan tangis ketika sampai di bangunan nuansa putih.

Orang-orang tidak sehat hilir mudik, bau obat-obatan dan juga rempah menusuk indra penciuman. Tapi orang itu tidak menghiraukan. Dipikirannya, bagaimana dia bisa selamat, supaya dapat dilihatnya lebih lama.

Orang itu berteriak keras memanggil dokter. Melakukan pembayaran, agar cepat di proses. Sedangkan dia terbaring lemah. Selang oksigen dan beberapa alat medis telah dipasangkan di seluruh bagian tubuhnya.

Orang itu tertunduk. Bersujud doa pada engkau. Semoga diberi keajaiban. Tak henti-henti orang itu lantunkan mantra pemuja agar engkau menerima doanya. Dan memang, kau maha pengasih. Kau kabulkan doa umatmu.

Kini dia tetap lemah, tapi tak kau cabut urip dari dalam tubuh kasarnya. Beberapa hari di Gedung putih berlalu. Tetap dia menunggu orang itu sebelum larut dalam alam mimpi, baik itu di teras, maupun di Gedung putih sekalipun.

Matanya akan berbinar ria, jika orang itu telah kembali bersama dengannya. Tak peduli berapa hitungan lagi dia akan menghadap kepadamu, tetap dia syukuri kehidupan yang telah kau berikan.

Dia seorang pejuang hebat. Dari matanya, lahir kasih sayang. Dari tangannya, lahir rasa aman, dari pelukannya, lahir rasa peduli. Tak perlu hal yang dapat membuatnya menjadi dikenal. Cukup orang itu datang sebelum dia kembali ke pelukanmu.






Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana?

S(t)ick with U

UNTUK SIA