-Hanya Sehari-
Story by : Wy
Anaphalis..Sabtu
24 November 2019
Kurasakan
jantungku berdetak lemah. Selang oksigen berjuntai-juntai dengan segala
mesin-mesin lainnya. Sayup-sayup kudengar mama menangis, menyuruhku untuk
membuka mata. Tapi rasanya, mataku seperti direkatkan dengan kuat, tanganku
dikekang dengan besi. Aku hanya bisa mendengar, kepanikan yang terjadi.
Awalnya
ini adalah hari-hari yang menarik, berpura-pura tersenyum, tertawa bersama
teman-teman, dan bercerita dengan guru. Setidaknya, ini lebih membuatku
merasakan utuh. Daripada aku harus dia seperti burung di sangkar emas.
Jika
nanti diusirpun aku tidak peduli, aku masih bisa hidup dengan uang yang kupunya
sendiri. Masih bisa bergaul dengan teman, masih bisa bernafas, dan tentu masih
bisa menikmati hidup. Hingga aku ingin lupa, kesedihan yang menungguku dirumah.
“kamu
belajar yang bener dong, kalau ngomong itu denger, jangan budeg” Plak. Satu
tamparan mendarat di pipiku.
“jangan
ngelawan mulu, sudah besar, malu mama”
“kamu
itu perempuan atau tidak sih ? kemana malam malam?”
“disana
aja diem, gausah balik kerumah, sekalian jadi pelacur juga gapapa”
Sakit
rasanya ketika selalu teringat akan itu. Beberapa cara telah aku lakukan untuk
meluapkan rasa sakit, ikut kelas bela diri, belajar tinju, mengikuti klub
renang, atau lari tanpa henti agar tubuh ini bisa mengeluarkan rasa sakit.
Bukan hanya itu, aku pernah nekat untuk membuat buku buku jariku berdarah. And
I’m done.
Tapi
aku masih cukup sadar untuk tidak terjerumus ke hal-hal yang merugikanku. Lebih
baik aku tarikan jari-jari ini di atas keyboard computer sampai larut malam,
dan selalu gunakan penutup telinga untuk meminimalisir terjadi kebocoran suara
yang mampu membuat hatiku remut.
Perkenalkan,
namaku Magnolia. Kamu yang suka dengan hafalan latin pasti tau apa arti dari
namaku. Sayangnya, itu tidak terjadi di kehidupanku sekarang ini. tapi aku
tetap bersyukur. Tuhan memberiku kehidupan ini. Aku lebih sering dipanggil Lia
oleh teman-temanku, yah seperti sekarang ini.
“Liaaaaaa,
buatin gue kata-kata yang bagus untuk caption ig, ayok cepet yuk” Kata
Dianthus, atau sering di sapa Dian.
“Lha,
buat sendiri aja, gue gabisa” aku beranjak pergi, tapi Dian lebih sigap menarik
tanganku untuk kembali duduk.
“Lo
kan cantik, baik pinter, ini pacar gue baru pertama kali mau diajak foto. Harus
dong diabadikan hehehe” Dian mengamit tanganku dengan mata dibuat seperti
boneka. Huft
“Catet.”
Dian duduk diam menyimak apa yang kana ku utarakan.
“
Tirai-tirai tertutup rapat, air tuhan turun begitu derasnya, pertiwi
terlobangi, hingga mereka diam sunyi”
“Malam
tiba, dan masih terus hujan mengalir. Aroma tanah menguar di indra penciuman.
Merasuk tubuh yang dingin, terselimut sepi terbayang kini.”
“Hujan
pertama, lebih sekedar hujan anugrah. Kau yang dipertua” aku menutup sesi
berkicau dengan tatapan mata bosan.
“Udah
gausah dipelototin tuh HP lagi, gue udah lesai” kataku
“Udah,
?? udah ?? huahahahaha, Bahagia deh, biasanya harus gue kejar ampe ngumpet ke
gentong” kata Dian. “makasih sayangku cintaku permata hatiku”
“Iyeeee”
aku meninggalkannya, dan terkekeh sendiri melihat Dian tersenyum senyum.
Tiba-tiba
dering Ponselku berbunyi, notif dari redaksi.
-karya
anda telah berhasil dipublikasikan. Dana telah di transfer ke ATM anda, silahkan
cek dan konfirmasi penerimaan-
Aku
bergegas pemberitahuan, dan yap, setidaknya uang itu mampu membuatku hidup
selama 2 bulan lamanya. Aku berjalan menuju taman belakang sekolah. Tempat itu
jarang disinggahi oleh siswa karena letaknya jauh dari ruang kelas dan kantin.
Tapi itu adalah tempat favoritku. Berbekal beberapa lempir kertas dan pena, aku
mulai mencari tempat yang nyaman untuk duduk. Tidak sebelum aku mendengar
gesekan biola dari seorang laki-laki. Yah berpakaian lengkap, Jas Almamater,
dasi, celana rapi dan baju bersih. Aku tidak menghiraukanya dan langsung duduk
memulai imajinasi.
Beberapa
saat aku tenggelam dalam imajinasi, tersenyum sendiri dan mulai menulis, lalu
terdengar langkah kaki mendekat, semakin mendekat, reflek aku berdiri dan melakukan
Gerakan dasar mempertahankan diri yang telah aku pelajari dalam klub Bela Diri,
tangannya kubawa kebelakang dengan cepat, kakiku menginjak punggungnya agar dia
membungkuk.
“Sakit
woy, lepasin” ujarnya. Aku gelagapan, itu laki-laki yang tadi memainkan Biola
“Maaf
maaf, ga sengaja. Reflex tadi, hehehehe” aku menggaruk kepalaku. Laki-laki itu
tersenyum melihatku, dan entah kenapa aku ikut dibuatnya tersenyum. Tapi hanya
beberapa saat sampai aku kembali duduk dan membaca kalimat yang telah aku tulis
tadi.
“Kenalin,
nama gue Neka” ucap laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya.
“Oh
iya, hai Neka” aku menjabat tangannya dan oke kembali lagi mencari inspirasi.
Aku
berharap dia segera pergi, cepat secepatnya. Tapi tidak kurasakan langkah
kakinya menjauh. Ingat baik-baik.
Dia.masih.berdiri.dihadapanku.
“Errr,
lo ga pergi?” tanyaku
“Engga”
“Serius?”
“Iya”
“Enggak
bosen?”
“No”
jawabannya membuat aku bingung. Deal ! jika dia tidak mau pergi, biar aku yang
menyingkir.
“Oke,
kalau gitu gue yang pergi, makasih Neka” aku berdiri dan membereskan
kertas-kertasku, sampai dia mengintrupsi.
“Duduk
dulu napa, nama lo Magnolia kan? Lo rasanya pernah nangis sekitar 5 hari yang
lalu disini, jam 5 sore bener ga ?” what ???? kenapa dia bisa tau ? aku
mengingat kembali. 5 hari yang lalu, hmmm. Saat itu aku dan mereka juga kembali
bertengkar, lalu aku pergi kesini, lalu menangis. Tapi sebelum itu rasanya aku
telah memastikan bahwa tidak ada siapapun disini kecuali aku.
“bingung
ya ?” kerlingan laki-laki itu membuatku, entah kenapa seperti. Berbeda ?
“iya”
“gue
juga satu klub renang sama lo” dan itu
aku tidak menyadarinya sama sekali. Sebelum aku sempat bertanya, dia lebih dulu
menggesekan Biolanya. Lagu itu sendu, seperti akan datang mendung, aku bisa
merasakan aroma tanah. Matanya terpejam, menikmati aliran gesekan Biola itu.
Aku seperti ditarik kembali dari peradaban. Siapa lelaki ini ? Air mata
menggenang dipelupukku. Tidak bisa begini. Kenapa aku menangis.
“Lo
boleh kok nangis, nangis ga bayar” ucapnya di sela-sela permainan. Tapi aku
tidak menghiraukannya, aku langsung berlari begitu saja, dan menetralkan
suasana hatiku dan kembali tersenyum. Lelaki itu tidak mengejar, dan aku akan
menganggapnya tidak pernah mampir.
Agenda
soreku adalah berkunjung ke panti jompo. Aku telah menyiapkan semua, seperti
pakaian, film kuno yang akan diputar disana, dan menyiapkan cerita untuk para
lansia. Aku senang ketika melihat mereka tersenyum. Pukul 04.00 aku berangkat
kesana, sesampainya aku disambut dengan hangat. Ya ini keluargaku.
Tapi
tunggu sebentar ,ada yang berbeda disini. Neka ? lelaki itu mengapa bisa tau
aku ada disini ? bersama Biolanya kembali. Oke Lia, anggap saja kamu tidak
melihatnya.
Aku
mulai tersenyum senang dengan para Lansia. Kami melakukan agenda bersama-sama,
ditambah dengan Neka. Aku tertawa lepas disana. Ini hidupku bukan ?
“Lo
kayaknya Bahagia banget” ujar Neka
“Gue
kan emang Bahagia selalu hahaha”
“Yaudah,
gue seneng” Neka tersenyum, dan entah kenapa aku kembali tersenyum.
Deringan
HP bergetar di saku celanaku. Dan saat aku membuka
“Ha-“
“Dimana
kamu ? mama sudah di depan, keluar kamu sekarang. Jadi anak nurut dikit, stress
mama ngurusin kamu”
Aku
bergegas kedepan, dan disana aku melihat ibu berdiri bersama para Bodyguard.
Hatiku riuh, cemas, apa yang aku terjadi kali ini.
“ya
?”
"Bisa
ga sih, nurut ? kamu harus ikut bareng mama, kayak kamu bisa aja hidup sendiri,
paling ga sehari kamu langsung mati. Sekarang ayok pulang” titahnya
“Ga,
Lia belum selesai urusannya disini, nanti Lia pulang kok”
“Gaboleh,
sekarang pulang” ibu semakin keras dan membentak. Dan emosiku tersulut, segala
emosi yang ku pendam tertumpah ruah disana. Percaya padaku, rasanya kau
menopang beban yang tempat penopangannya telah penuh, kini membanjiri yang ada
disekitarnya.
“Mama
pernah ga sih nanya, apa mau Lia ? pernah ga mikirin bahwa sekarang itu ga
kayak dulu. Pernah mama nginget apa yang udah Lia perbuat untuk bisa bikin mama bahagia ? kenapa mama selalu ga hargain usaha Lia ? Lia berusaha untuk mengerti
maksud mama, tapi Lia gabisa, jangan samain Lia dengan mama, karna Lia beda.
Lia bisa hidup sendiri tanpa mama.”
Plak. Satu tamparan keras mendarat di
pipiku.
Aku
tak pernah berharap hari ini datang. Kurasakan Neka memanggil namaku keras.
Sedangkan tangan mama yang mendorongku. Dan setelah itu semua gelap.
Semua
gelap, tapi aku saat ini masih bisa mendengar suara Biolanya. Akankan aku bisa
membuka mata kembali ? apa sekarang mama menangis ? kenapa ?
Comments
Post a Comment