Batu Loncatan
Story by : Wyliand.
Anaphalis..Singaraja 23
November 2019
-Lelaki itu berkomat kamit merapalkan mantra
agar nanti, kertas yang dibagikan membuatnya bias merasa senang. Saya hanya
terdiam bengong di sampingnya-
Perempuan
tua memakai kebaya datang dengan membawa sekumpul kertas. Dan saya rasakan
lelaki di samping saya merapalkan mantranya lebih dalam lagi. Agaknya, ini
seperti sebuah ambang hidup dan mati bagi lelaki itu. Jika tinta merah telah
terpena di lembaran, saya yakin lelaki itu tidak akan berani pulang kerumah.
Jika hitam, saya, maka saya jamin, lelaki itulah yang akan memandu perjalanan
pulang ke rumah kami masing-masing.
Satu
per satu nama disebutkan, berbagai macam raut terekspresi setelah lembaran
kertas beralih tangan. Dan kini lelaki itu gilirannya. Maju tertatih-tatih,
tanpa alas kaki. Bajunya lusuh, mungkin karna sudah 6 hari tak dicuci. Matanya
berbinar ketika melihat garis meyambung berwarna hitam disana. Dia melihat
saya, lesung pipinya terlihat jelas, tanda ia tak perlu khawatir menginjakkan
kaki pulang ke halamannya. Bergegas dia kembali ke tempat duduk dan tersenyum
lebar.
“Lihat
ini Tang, saya dapat bintang empat.” Ucapnya.
Ibu
guru di depan kelas melihat tingkahnya yang lugu tersenyum maklum. Saya bahagia
melihatnya. Saya genggam tangan kasarnya dengan tegas, sambil memberi isyarat
mata bahwa dia selalu hebat. Sesederhana air mengalir, tapi begitu mulia di
mata lelaki itu.
Burne
namanya, tingginya tak sampai patok gerbang depan rumah, tapi yang terdapat
dalam kepalanya melebihi besar sekolah yang hampir rata tanah ini. Bapaknya
pekerja keras, dini hari pergi ke ladang untuk menyabit padi, siangnya bekerja
di bengkel yang tak jauh dari rumah, sorenya membuat kurungan ayam dengan
rajutan bambu, dan malamnya menjadi pelopor semangat untuk anak satu-satunya.
Burne. Ibunya telah lama tiada karena sakit. Sakit malaria, terlambat diobati
karena tak cukup biaya.
Tidak
ada yang melebihi sayang Burne dengan pelipur laranya. Bukan takut untuk
dipukul menggunakan sebilah rotan di halaman belakang, Bapaknya Burne, Kore,
mustahil melakukan itu pada anaknya, sebab harta satu-satunya adalah senyum
Burne. Pak Kore akan memaklumi jika saja Burne tak dapat nilai yang bagus bagus
amat. Karena memang beginilah kondisi saat ini.
“Tidak
apa, kau telah berusaha sebisamu, jujur saja. Nanti tuhan akan jawab doamu Ne”
kata Pak Kore yang selalu membuat Burne luntang-lantung.
Kulitnya
seperti Dipan Jati yang telah diasah lalu diukir, Coklat tua, bersih.
Sejujurnya, saya ingin seperti dia karena bisa dihitung pakai jari berapa kali
air matanya menetes.
“Tang,
nanti kau main kerumahku saja ya.” Kata Burne sambil memasukkan kertas itu ke
dalam Kresek Merah. Dia tak punya tas, sama seperti saya.
“Nanti,
setelah aku bantu mamak untuk menjemur padi.” Jawab saya.
“Kalau
begitu, aku ikut saja padamu Tang,sekalian bantu kau, makin cepat kan makin
bagus.”
“Baik,
nanti aku juga bantu kau bersihkan rumah.”
Setelah
itu kami kembali larut dalam pelajaran. Pelajaran Bela Negara diajarkan oleh Pak
Anton. Guru yang memang bisa disebut pahlawan tanpa tanda jasa. Kata-katanya
seperti mata air di tengah sahara, karena itulah teman-teman saya tidak pernah
ngantuk jikalau diajar oleh beliau satu ini.
“Sekarang
memang kalian seperti tidak berguna, Nanti tekad yang akan membawa kalian ke
dunia impian. Jangan patoki otakmu pakek nilai. Saya tidak pernah menghargai
dia yang mematok dengan nilai, selembar kertas tidak lebih berharga dari
kejujuran. Ikhlas melakukan sesuatu untuk membuat orang bersyukur. Nanti pahala
akn berlari sendiri memelukmu.” Begitu isi curahan beliau saat daerah ini
dilanda kekeringan, dan sampai kini geloranya masih membekas di dalam diri
saya. Seperti angin segar yang datang dari timur, kami semua selalu terhipnotis
oleh kata-kata beliau.
Lonceng
berdering, cepat-cepat Burne dan saya membereskan buku, lalu berebutan bersalim
pada pelita yang ada di depan papan.
“Hati-hati
di jalan nak, dan langsung pulang. Bantu mamak dan bapakmu agar kau selalu
Sentosa” Kata terakhir sebelum kami pulang ke halaman.
Jarak
rumah saya dan Burne sangat dekat, hanya perlu sekitar 45 langkah kaki kecil
untuk sampai ke rumah Burne.
“Tang,
aku ditawari ikut lomba di kota sama sekolah.” Katanya saat perjalanan menuju
gubuk. Burne menengadah melihat langit.
“Lomba
apa ?” Tanya saya penasaran
“Lomba
menghitung Tang, nanti kata Pak Anton kalau menang, hadiahnya lumayan buat
bantu bapak. Aku juga usah beli buku, nanti sekolah sediakan untuk aku
langsung. Bagaimana menurutmu ?” Dia menoleh ke hadapanku.
“Kalo
aku jadi kau, aku bilang dulu sama bapak. Restu Ne, itu jalan pertama.” Tidak ada yang bisa lagi saya ucapkan.
“Nanti
kau bantu aku bilang ya, habis menjemur padi-padi itu.”
“Iya, nanti aku temankan.” Saya mengakhiri
percakapan. Mamak telah menunggu di depan rumah, bersama dengan 5 karung besar
yang berisi padi.
“Mak, aku pulang” Saya bersalaman dengan mamak,
begitupun Burne.
“Taroh tasmu nak, sama Burne juga, bantu mamak
bereskan ini ya.” Titah mamak sambil mengusap kepalaku.
“Iya mak.” Saya dan Burne bergegas cepat menaruh
tas, dan terjun berjemur langsung di terik surya. Kami menyusun padi-padi itu
setipis mungkin, dan memastikan tidak ada yang keluar dari daerah penjemuran.
“Tang, apa aku bisa menang ya ?” Tanya Burne
sambil membersihkan padi-padi itu
“Kau pintar, pasti bisa, jika tidak, pasti ada
jalan lain.” Saya berkata tanpa melihatnya. Di pikiran saya sekarang, hanya
bagaimana kerjaan ini cepat selesai dan saya bisa membantu membersihkan rumah
Burne.
“Nanti jika aku kalah, bapak bisa kecewa.” Raut wajah
Burne sendu.
“Bapakmu selalu dukung kau, aku juga dukung sama
mamak sebesar 100 ton karung padi Ne !” Saya
berujar keras meneriaki dia. Saya harap semangatnya kembali membara dan
bibirnya tertarik ke atas, memperlihatkan lesung pipinya itu. Tapi tidak ada
jawaban.
“Pindahkan sedikit kesini, lalu cuci tanganmu nak.”
Kata mamak menghampiri saya dan Burne.
“Baik mak, aku ke rumah Burne habis ini, bantu dia
bereskan rumah. Kalau pula aku tak pulang, aku nginap di rumahnya ya mak.”
Ucapku
“Nah bagus, sekalian kau antarkan sedikit singkong
untuk bapaknya ya, mamak sudah bungkuskan, ada di samping meja dapur.” Mamak
kembali menata padi, sedangkan Saya dan Burne membasuh tangan lalu ke dapur.
Saya ambil bungkusan itu, dan bergegas pergi ke
rumah Burne.
Di perjalanan bahkan sampai kami selesai menyapu
seluruh pelataran rumah, Burne terus bertanya apa dia bisa menang, bagaimana
jika kalah, dan yang lain. Saya menjawab dengan sabar.
Ada kegundahan di dadanya. Sayapun merasakannya,
tapi lebih dari itu, ini adalah batu loncatan untuk Burne, jika dia menang,
maka dia akan kembali mewakili sekolah di lomba berikutnya. Tidak hanya itu,
hadiahnya juga dapat dia berikan pada bapaknya. Masa depannya akan sedikit demi
sedikit terjamin.
Dalam hati saya terus berdoa, berikan yang terbaik
pada kawan saya ini. Karna dia sangat pemurah, tegar tanpa ada seseorang yang
mengusap kepalanya jika dia bingung. Tak pernah sekalipun dia bohong pada saya
ataupun dengan orang lain, bahkan dengan bapaknyapun sekalian. Apapun itu, jujur
adalah pedomannya. Lebih baik dia kena marah, daripada harus menummpuk dosa di
hati.
Saat itu Cahaya Agung telah mengantuk. Burne
mengajak untuk duduk di teras rumah, katanya mau memperlihatkan sesuatu.
Dibukanya tas kresek merah yang tadi pagi dibawanya kesekolah. Keluarlah buku
baru, masih terbungkus plastik. Buku itu tebal, dan bersih, seperti yang
dimiliki anak-anak kota.
“Ini buku yang tadi sekolah berikan, kalau belajar
ini pasti pintar Tang.” Binarnya mencerah, sambil sesekali dia mengusap buku
itu dengan sayang.
“Yasudah, kau pelajari saja giat, pasti nanti
dapat hasil.” Ucap saya sambil menepuk bahunya.
“Tang,
menginap disini saja ya, bapak pulang malam.” Katanya sambil membuka
lembaran-lembaran itu.
“Boleh juga, tapi aku pinjam dulu bajumu ya Ne.
Mau mandi.”
“Ambil saja ditempat biasa kau ambil.” Burne
sedikit mengeraskan nada suaranya karena saya sudah beranjak dari teras. Saya
ambil baju di atas kasur kapuknya, lalu segera pergi mandi.
Setelah mandi, saya melihat dia di kamar berkutit
dengan soal-soal di buku itu. Hari telah gelap. Saya segera mengerjakan tugas
yang tadi diberikan oleh Bu Guru di teras rumahnya. Panaas kalau di dalam.
Kami larut
dalam persoalan masing-masing. Burne dengan seluruh tekadnya. Dan saya bersama
soal menulis yang akan dikumpul lusa.
Barang sampai satu setengah jam kami tidak
bersuara. Burne agaknya masih tekun pada ribuan deret rumus perhitungan.
Pikirannya terfokus pada satu objek. Dikuncinya dan dibuangnya gembok itu.
“Lintang tidur disini ?” Suara itu mengangetkan
saya, Pak Kore datang dengan baju lusuhnya, wajahnya tersenyum, walau saya tau
beliau pasti sangat lelah.
“Iya pak, saya ijin tidur dengan Burne, oh ya,
tadi Mamak ngasih Singkong rebus untuk bapak, ada di dapur.” Ucapku sambil
mengambilkan minum untuk Pak Kore.
“Terima kasih ucapkan pada mamakmu ya Tang.” ujar
Pak Kore.
“Iya pak.” Saya ke kamar Burne untuk memberi tau
dia sambil sebelumnya sudah hatur pamit dulu pada Pak Kore.
“Ne, bapakmu udah dateng.” Ucap saya. Burne buru-buru menoleh ke arah saya dan langsung
bergegas membuka kresek merah itu, lembaran tinta hitam tadi pagi masih disana,
diserahkanya pada Pak Kore.
“Pak, aku hanya bisa dapat segini pak.” Ucap Burne
menunduk.
Pak Kore membaca lembaran itu, tersenyum haru pada
anaknya.
“Sangat bagus buat bapak nak.” Ucapnya. Pak Kore
menepuk bahu Burne dengan bangga. Seketika raut wajah Burne gemilang.
“Ada yang mau aku bicarakan pak, Bapak mau mandi
dulu?” tanya Borne, saya hanya diam berdiri. Inilah saatnya Burne membuka mulut
dan benaknya.
Pak Kore mengernyit bingung lalu berkata “Bapak
nanti saja mandinya”. Itu berarti kawanku harus bicara sekarang.
“Bapak guru suruh aku ikut lomba menghitung di
kota. Aku sudah diberi buku, gratis pak dari sekolah. Di buku itu ada cara-caranya,
jadi gampang pak belajarnya.” Tutur Burne
Pak Kore diam, Burne kembali membuka mulut.
“Lombanya masih lama, tapi aku harus belajar dari
sekarang supaya bisa menang pak. Bapak ijinkan saya ikut ?”Akhirnya tuntas
sudah, aku menghela lega. Sekarang tinggal mendengar jawaban yang akan keluar
dari bibir seorang bapak.
Terlihat bahwa Pak Kore berpikir keras, dahinya
merengut, menunjukkan kulit keriput di masanya yang sekarang.
“Kau bisa nak?” Tanya Pak Kore setelah lama
terdiam.
“Aku bisa jika bapak mendoakanku.” Kata Burne
mantap.
“Bapak mau mandi dulu” Pak Kore meninggalkan kami
dengan wajah lelahnya. Saya melirik Burne. Saya tau dia tidak baik-baik saja.
“Bapak disini sama kau saja nak, nanti kalau ada
apa apa di kota, bagaimana? Bapak tidak banyak punya duit untuk ke kota. Bapak
juga tidak mau kalau kau tidak kembali kesini” Pak Kore berbalik menghampiri
Burne.
“Dengan bantuan restu bapak, saya yakin selamat
pak.” Senyuman Burne sangat tulus dan penuh harapan. Tapi sepertinya itulah
percakapan akhir kami. Pak Kore tidak berbicara apa-apa lagi setelah itu. Saya
dan Burne kembali ke kamar Burne. Burne masih tekun mengerjakan soal-soal itu.
Sedangkan saya terantuk-antuk dan tanpa saya sadari, saya sudah terbang ke
dunia mimpi.
Esoknya seperti biasa, Pak Anton memimpin doa
sebelum mulai belajar. Burne tidak menyinggung tentang lomba itu pada Pak
Anton. Burne diam dan saya melihatnya selalu gundah jika Pak Anton melayangkan
lirikan kecil padanya.
Sekitar seminggu sudah Burne tetap diam. Sampai tiba
saatnya, Burne menggenggam tangan saya. Kembali.
“Aku mau ketemu Pak Anton, temani aku Tang.” Ucapnya.
Aku tersenyum, penuh sendu.
Kami mencari Pak Anton dari ruang guru sampai
semua kelas sudah kami masuki, tapi semua jawaban sama, Pak Anton tidak ada.
Bilik mencari ilmu ini tidak luas-luas sekali. Jika memang Pak Anton tidak
mengajar, pasti masih tetap di bangunan ini. Saya percaya beliau tidak akan
meninggalkan kewajibannya sebelum bel berbunyi nyaring.
Benar
bukan, kini saya melihat Pak Anton sedang duduk di halaman sekolah sedang
membaca. Buku tua renta yang menjadi teman sejati di hidupnya.
“Pak Anton” teriak saya. Saya berlari ke arah Pak
Anton begitu juga Burne. Pak Anton menoleh pada kami dan menunggu salah satu
diantaranya membuka mulut.
“Pak, Saya tidak di ijinkan ikut pak, Bapak saya
tidak ada jawaban” Burne merasa malu, dia menundukkan kepala. Saya merangkul
bahunya dan memberi semangat.
Pak Anton mengernyit, bingung terhadap apa yang
dikatakan Burne. Sampai hal yang tidak terduga dinyatakan oleh Pak Anton.
“Saya malah sudah daftarkan kamu 4 hari
sebelumnya, Bapakmu datang kesini langsung memberi tau para guru bahwa bapakmu
siap mendukungmu Ne” Pak Anton terkekeh
geli.
Burne terkejut bukan main. Jika saya menjadi dia,
akan banyak kupu-kupu yang bertebangan di perut. Sungguh Bahagia rasanya.
“Benar bapak saya kesini?” Tanya Burne.
“Iya, bapakmu datang saat kamu masih belajar di
kelas. Beliau bilang mau dengar penjelasan tentang lomba di kota nanti. Dan di
akhir bapakmu bilang siap untuk menyerahkan kamu bertanding.” Senyum Pak Anton
terbit. Melihat ada air yang menggenang di pelupuk mata kawanku.
Burne lalu memeluk saya dengan erat. Saya rasakan
punggung saya basah. Burne menangis. Menangis haru dan Bahagia. Pak Anton
mengusah kepada Burne dengan sayang.
“Jadilah anak yang membanggakan bagi daerah ini
Ne, kelak kau akan kembali dengan perubahan yang dapat membuat Sentosa. Bapak
mendoakan kepergianmu. Ingatlah Ne, bawa kejujuran bersamamu, dan bawa rasa
syukur pula.” Wejangan Pak Anton kala itu meneduhkan hati. Burne mengangguk di
pelukanku. Mungkin malu untuk memperlihatkan
Sayapun juga tersenyum. Tuhan, jadikan ini batu
Loncatan untuk kawan saya. Saya sangat menyayanginya. Dia saudara sebatin saya.
Jika tuhan berkehendak, semoga dilancarkan.
“kau pasti bisa Ne.”
Comments
Post a Comment