06.00



Imajinasi seorang Karisma. 




Hai, perkenalkan namaku Anaphalis, terdengar aneh bukan ?  teman -temanku sering memanggilku Ana, dan aku adalah salah satu siswa di pinggiran kota terpencil. Aku mempunyai sahabat bernama Tara, yang diambil dari kata Taraxacum. Berambut panjang, manis tanpa lesung pipi.

Seperti biasa, pagi hari aku berangkat kesekolah menggunakan sepeda, ya karena sekolahku melarang siswa dan gurunya membawa kendaraan bermesin. “sesuai visi nak, kurangi polusi” itulah wejangan yang keluar dari Kepala Sekolah kami ketika ditanya ‘kenapa’. Jam 06.00 aku telah siap dengan semuanya, yap hanya perlu mengayuh pedal hingga lurus ke jalan aspal yang masih dingin itu.

06.00. tak pernah lebih dan kurang, itulah keseharian baruku, jika ditanya kenapa subuh sekali, padahal bel sekolah berdering pukul 07.30, jawabannya simple, hanya perlu dua kata untuk menyebutnya. “karna dia” kataku. Di perempatan jalan, 200 meter menuju sekolah. Jalan Javanica namannya. Dia berdiri disana, seperti biasa dengan baju basah dan sepatu Adidas berwarna biru tua. Matanya hitam gelap. Tak banyak daging yang menonjol dari kulit coklatnya itu, tapi tetap mampu membuatnya terlihat gagah.

Sudah hampir satu setengah purnama rutunitas gila ini berjalan. Berawal dari keteledoranku melihat jam di nakas menunjuk pukul 07.00 aku langsung bergegas ke sekolah tanpa mandi. Tapi saat sampai di perempatan, aku melirik ke arah jam Gereja. Pukul 06.15, dan saat itu aku benar benar merutuki diriku sendiri, mimpiku terputus begitu saja karena otak sialan ini.

Tapi tak sampai ketika melihatnya duduk di lesehan taman samping perempatan. Aura sedihnya, mampu membuatku kembali dan kembali lagi di waktu yang sama dengan hari yang terus berbeda. Hanya untuk melihat raut wajahnya.

Aku turun dari sepeda, dan kuletakkan tas di keranjang depan. Kaki ku menginjak pelan sekali. Aku ingin melihatnya lebih lama. Dia terduduk dengan kaki telentang. Sebotol air kosong disampingnya. Mungkin telah ia habiskan. Terkadang aku berpikir, mengapa tubuhnya selalu lesu tanpa binar ? Tapi bagaimanapun juga, aku selalu dibuatnya tersenyum, padahal dia hanya menatapku sekilas tanpa ekspresi. Bibirku terkunci. Tanganku tak mampu bergerak, dan kaki ini seakan ingin lumpuh. Sorot matanya sendu, dan ku tinggalkan dia dengan senyuman.

Hanya hal sederhana itu yang mampu membuatkan termotivasi untuk ikut kelas psikologi. Padahal dulu aku selalu malas untuk belajar gerak gerik seseorang. Tapi kini, aku murid teladan yang selalu duduk paling depan. Dua kata lagi “Karna dia”. Sesederhana itu. Tanpa tau nama, umur, asal usulnnya lebih jelas.

Sore harinya, aku menginap di rumah Tara untuk menyelesaikan tugas Kesetimbangan Kimia yang akan kami kumpul 2 minggu lagi. Aku dan Tara terlalu malas untuk berurusan dengan tugas jika deadline telah mengejar. Maka kami putuskan untuk membuatnya hari itu juga.

Perjalanan menuju rumahnya,  kami berdua saling berbagi cerita sambil tetap mendorong sepeda kami.

 “Tadi juga sama Na ?” Tanya Tara.  Yap, Tara tau tentang”nya”, karena dialah yang pertama menyadari kebiasaaanku ini.

Kujawab “Yah kayak biasa, cuman lewat cuss ea, hahaha”.

“Yang bener dikit kek nyukain orang, emang manusia deh anda” Cibirnya. Aku hanya tersenyum memandang jalanan aspal yang telah teduh sore itu.

“Gimana lagi coba yang harus dilakukuin ?” Aku menghela nafas Lelah. Mungkin aku memang aneh, siapa orang di dunia ini bisa menyukai orang semudah itu ? tentu jawabanya adalah aku.

“Caranya tuh, ya jangan berangkat jam segitu lagi, jam segitu kamu masih bisa buat sarapan, masih bisa buat bekal supaya hemat belanjanya. Kamu juga masih bisa belajar terus cek PR supaya ga bilang lupa lagi sama tugas dan…..” Celotehnya. Aku tak mendengar keseluruhan, karena pikiranku melayang ke arah lain. Apa aku bisa tepat waktu sampai di perempatan itu jika hari ini aku menginap? Apa aku bisa melihat dia lagi?

“…. Na, woy NA, ANAPHALIS !!!” teriakan Tara membuatku tersentak dan berhenti melamun.

“Lo denger ga sih apa yang gue bilang ??? Denger ga ?” Raut wajahnya kesal.

 “Iya hehehe, gimana lagi, itu namanya candu Tar, CANDU. Emang cuman Narkoba yang bisa buat candu, ini juga bisa. Hehehe” Jawabku, sambil membuka gerbang rumahnya. Kami telah sampai di rumah Tara, tapi agaknya perbincangan ini tak akan cepat habisnya. Baiklah, aku hanya mengikuti alur.

“Candu candu, terserah deh, tapi gausah mewek kalo nanti bukan happy ending” Tara meneguk air masih dengan raut kesal.

“ Gabisa ending Tar, kan CONTINUE hahahaha” Aku bergegas mengganti baju sebelum Tara kembali berceloteh. Setelah makan dan mandi, kami segera membuat tugas Kimia dari Guru Atom tersayang, yang selalu mempunyai kata-kata ampuh untuk membuat muridnya tertarik ke inti dari zat kecil tersebut.

Udah tau atom terluar dapat melepaskan diri secara mudah, tetep aja siap LDR, kalian kira gampang LDR ?? kalian bisa bilang jodoh ga kemana-mana, tapi mikir juga, Saingan yang dimana mana” itulah salah satu kata motivasi yang kukutip. Tapi memang ada benarnya. Jarak menentukan sebuah komitmen.

Membuat tugas kelompok memang lebih bagus dibuat berdua, menurutku, lebih efisien waktu dan memperkecil terjadi pergesekan. Pukul 09.00 malam kami selesai membuat tugas, dilanjutkan dengan menonton Film keluaran terbaru di kamar Tara. Ibu Tara, Arita ikut bergabung bersama kami, dia berkata bahwa dia belum dapat menonton film ini.

Awalnya Tara menolak, karena jika Ibunya ikut menonton, maka adegan romantis akan dia skip skip, dan Tara tidak mau menonton jika film tersebut tidak original dimatanya, itu kata Tara. Tapi ya mau bagaimana lagi, kekuatan seorang ibu memang mampu melumpuhkan presepsi, dan sudah bisa ditebak, Tara mengalah.

Film ini menceritakan tentang persahabatan Pria dan wanita yang sangat erat. Namun  dalam suatu kejadian, Mereka diberi tugas untuk saling membunuh satu sama lain. Ketika film telah selesai, aku melihat Tara yang menangis sesenggukan, dengan Ibu Tara yang mengatakan bahwa anaknya itu lebay.

“halah, nonton segitu aja nangis, cemen kamu dek.” Komentar Ibu Tara, walau tidak dapat dipungkiri, tersisa bekas air di mata sebelah kirinya.

 “Udah deh, mama pergi tidur aja, udah tua kok ikut huuu” Ucap Tara sambil terisak. Aku yang melihat itu bersusah payah menahan tawa, dan setelah Ibu Tara berpamitan pergi tidur, tawaku tak bisa dibendung lagi.

 “Tar,bangun jam 05.00 ya, besok mau lewat Javanica aja, sekalian beli roti” Ucapku disela tawa. Tara bingung akan maksudku.

“Males kekantin” jelasku.

 “Halah, mampir untuk roti apa untuk cowok itu” Skakmat. Oke akan kuperjelas. 79% benar untuk dia, sisanya memang begitu adanya.

“Sebagai sahabat yang jahat, anda harus mengantarkan saya ke tempat tujuan” Titahku.

“Ye mbak” jawab Tara.

 “Btw, lagi 7 hari Natal lho, beli bando yuk Na, sekalian beli gantungan kunci Pohon Cemara” ucap Tara.

Natal ya, natal sangat identik dengan hujan bagiku, aroma tanah di Kafe Del’kina waktu itu masih sarat akan natal. Aroma tanah dan,

 “NATAL ? GABISA DONG BAWA SEPEDA” Aku teriak spontan. Masalahnya, jika hujan, aku tidak akan bisa membawa sepeda, itu artinya, aku harus jalan kaki dan mengambil rute yang berbeda dari rute bersepeda biasanya. Dan mustahil untuk bisa kembali ke perempatan itu, oke ini tidak logis, bagaimanapun juga, aku harus bisa ke perempatan itu. Tepat pukul 06.00

 “Ya elah Na, gapapa kali, kan ga setiap hari juga hujan Na.” Tara menenangkan

“Lho gabisa gitu, nanti dia ganti alur gimana ?”

“Emang dia mau lari hujan hujanan ?”

“Eh iya juga ya” aku berpikir sejenak. Oke tidak mungkin dia akan lari jika hujan. Oke tenang, tenang, dan tenang.

“Udah gih, sikat gigi sana, Tara mau bobok dulu” Tara menarik selimut dan pergi ke alam mimpinya, sedangkan aku pergi ke kamar mandi untuk melakukan ritual sebelum tidur. Yap Sikat.Gigi. Setelahnya aku ikut berenang ke dunia Cotton Candy ku sendiri. Semoga ini panjang.

Pagi hari tiba, Pukul 06.00, Tara dan aku baru bangun. dan saat itu, tetesan Hujan terlihat di balik jendela.

Tara sangat senang, dia bergegas mengambil jas hujan biru bergambar payung terbalik miliknya dan jas hujan berwarna tosca dengan gambaran daun gugur milikku. Sepeda kami dibiarkan di garasi rumah Tara. Setelah makan, kami segera berangkat ke sekolah, tak lupa berpamitan dengan Ibu Tara.

Di sepanjang perjalanan ke sekolah, Tara menghiburku. Kami tidak jadi membeli roti di perempatan, karena hujan sangat lebat, dan juga pukul 06.00 sudah terlewatkan. Jadi untuk alasan apa aku pergi kesana ?

Di perjalanan, aroma alami dari hujan menguar, dan dipadu dengan ornamen merah, putih, dan hijau tidak luput dari pandanganku, ya, sebentar lagi Natal. Dan aku tidak bisa lagi bertemu dengannya.

Kami mampir ke toko makanan cina untuk membeli Roti isi, dan melanjutkan perjalanan dengan memakan roti hangat itu. Setidaknya roti berbumbu ayam bakar bisa membuat moodku lebih baik.

Keesokan harinya dan tiga hari kemudianpun sama, tetap hujan lebat. Tapi moodku telah membaik, sudahlah lupakan. Laki-laki itu hanya kebetulan bertemu denganku. Ku pakai jas hujanku, dan berjalan menuju sekolah. Di perjalanan ke sekolah, aku sama sekali tak memikirkan lelaki iitu,dan jangan tanya kenapa. Aku tidak tau

Saat itu pukul 07.00, dan aku melihat sebuah penampakan. Terkejut ? tentu saja, siapa yang tidak terkejut jika setelah 4 hari, aku kembali melihat laki-laki yang sama di jarak 4 meter dari gerbang sekolah ? Bukankah hari ini hujan ? lalu mengapa dia ada disini ? bukan di perempatan Javanica ?

Oke Ana, bersikaplah seperti biasa, lalui ia seperti tidak mengenal, senyumi dia dengan senyuman sopan. Dan kembali langkahkan kaki menuju gerbang itu. Kamu bisa Ana. Oke lakukan.

Aku berjalan pelan, dengan jarak 2 meter di hadapan dia berdiri, bajunya basah kuyup, masih dengan sepatu Adidas birunya, tanpa jas hujan dan bersender di bawah pohon cemara. Aku berjalan pelan, ketika jarak kami hanya 5 langkah kaki, dia menghadang jalan, ingat ini baik-baik. Menghadang.jalan.ku.

Tiba-tiba segala adegan romantis  muncul dan menari-nari di kepalaku.  Tapi aku tetap berjalan.

“kak, permisi” ucapku, dia tidak bergeming. Kepalaku menunduk, dan kenapa aku merasa hujan semakin menipis ?

“kak ?” aku dongakan kepalaku, dan aku terkejut melihat dia tersenyum sinis padaku.

Oke, apa ini seperti di novel novel ? lelaki yang berkata terima kasih dan malah menjadi bagian cerita panjang dari alur hidup siswa remaja ?

Aku berusaha berjalan ke samping kanan, tapi dia mengikuti langkahku, begitupun seterusnya. Katakan jika ini telah mirip di film-film. Lelaki yang bertingkah manis.

“Namamu Anaphalis ?” whattt ? dia bisa bersuara ? suaranya serak, berat.

“Anaphalis kan?” tanyanya sekali lagi.

“Iya kak” aku berusaha untuk terus menatap matanya. Tapi semakin aku tatap, semakin lebar senyuman sinis itu.

“Kenapa ya kak?” dia tetap tak menjawab, sedangkan beberapa menit lagi gerbang luar akan tertutup. Walau suasana ini membuatku seperti bintang novel, aku tidak mau hanya karena ini aku terdaftar di deretan siswa dengan judul TANPA DISIPLIN. Itu sungguh-sunguh memalukan. Jadi kuberanikan diri untuk berbicara.

“Kak, saya mau jalan, saya udah  mau telat nih, gabisa dong kakak gangasih saya lewat, kan ini jalan umum kak, saya bisa kok min-“ detik itu juga sesuatu yang lembut mendarat di pipi, dan juga keningku. DIA MENCIUMKU?? Aku kaget bukan main, bukannya senang, tapi aku ingin menangis

“Maksud kakak apa hah ?” Teriakku, aku tak tau kenapa aku berbicara seperti itu, hanya saja.. itu spontan kulakukan

“Gadis 06.00, kamu cantik, mau main ?” Tanyanya dengan nada merendah

Aku terkejut bukan main, dan langsung mengambil ancang-ancang untuk berlari, tapi dia lebih dulu menangkap pinggangku. Aku meronta-ronta, dan meminta tolong. Dia membekap mulutku. Sesuatu yang hangat merebak di hidungku, dan membuatku merasa mengantuk. Sebelum kesadaranku hilang, aku berteriak sekuat kuatnya meminta tolong. Dan detik terakhir. Kurasakan beberapa orang berhamburan ke tempatku. Dan setelah itu, gelap.

Dalam kondisi itu, aku termenung. Pukul 06.00. Tertampar dari segala arah. Begitu cepat seperti kilat cahaya, tapi jika diulas kembali, sangat panjang seperti jarak tempuhnya. Tubuhku lemas di genggamannya, hangat, tapi juga menyakitkan. Tuhan, aku hanya ingin seperti mereka pada umumnya. Bercerita tentang cinta bersama tawa. Dia penghuni pertama, seseorang pembuka kunci. Tapi mengapa seperti ini jadinya? Keinginanku tak lebih. Bisakan aku melihatnya lagi ? aku tau mata itu bersedih, aku tau ada yang salah. Berikan aku kesempatan, bisakah aku melihatnya. Agar aku bisa katakan.,

“Jadi, semua ini salah siapa ?”, karena ketika pukul itu datang, kenangan akan kembali merambat.










Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana?

S(t)ick with U

UNTUK SIA