Lypámai
Ini
jam delapan petang. Di perempatan jalan ilusi.
Aku
mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru arah, sambil sesekali menikmati riuh
ria kendaraan yang berlalu lalang. Malam kian beranjak remaja, menunjukan eksitensinya
bersama ribuan bintang dari miliyaran galaksi. Angin berlarian kecil, mengelus
lembut surai surai hitam rambutku yang tergerai. Dan lagu 3A.M dari finding
hope mengalun lembut diantara kawat lentur berwarna putih yang tersambung
langsung dengan indera pendengaranku. Seakan terhipnotis, lagu itu membuatkan
rileks, tersenyum melihat malam yang tak pernah mati.
Kuayunkan
langkahku pelan, menyusuri trotoar bergaris merah putih masih dengan pandangan
yang terlempar ke kiri dan ke kanan. Lagipula ini juga sudah malam, sebagai
seorang gadis beranjak dewasa dengan umur yang sudah cukup untuk menonton
beberapa video bertanda tambah, tentunya aku harus berhati-hati dengan tatapan
mata keranjang dari beberapa adam yang telah berbau tanah. Oh, benar sekali.
Aku masih tidak habis pikir dengan mereka yang biasa menggoda terang terangan
setiap gadis atau perempuan yang melewati atau sekedar berbelanja ke
supermarket. Sungguh tidak etis dan mengganggu.
Kini
lagu berganti pada Album finding hope yang berjudul You and Me. Aku
masih sama seperti detik yang berlalu baru saja, yap menyusuri momen demi momen
untuk menuju ke suatu tempat yang telah direncanakan. Hmm, setidaknya aku tidak sendirian, karena pejalan kaki yang sekedar melintas atau
bergandengan tangan mesra masih banyak. Ada pula kakek nenek dengan raut wajah
hangat mereka melangkah kecil dengan lantunan cerita masa muda.
Aku
jadi iri, sebab aku berjalan sendiri tanpa seorangpun di sisi. Aduh mirisnya,
hahaha.
Hah,
tapi baru saja membayangkan kemesraan di jalan yang memang romantis ini, benda pipih nan canggih milikku berbunyi,
menandakan ada panggilan masuk. Tanpa menunggu lama, aku tekan tombol kecil di
kabel berselaput putih untuk menyambungkan panggilan.
“Halo?”
Sapaku sekaligus bertanya
“Sudah
sampai dimana?” Suara itu terdengar pertama kali, dengan nada lembut dan sangat
familiar yang membuatku tidak pernah tidak tersenyum saat mendengarnya.
“Entahlah,
aku tidak tau pasti.” Ucapku seraya melihat plang beberapa kafe yang mungkin
bisa menjadi landmark bagi tempatku berpijak sekarang.
“Kirim
lokasimu.” Yap, singkat padat dan jelas.
Aku
menggeleng pelan yang bodohnya memang tidak bisa ia lihat, lalu berkata, “Tak
usah, fitur yang kau berikan itu sudah cukup mudah untuk menunjukan lokasinya.”
Jelasku padanya.
“Kirim
saja.” Katanya lagi seolah-olah tidak mendengar apa yang baru saja kukatakan.
“Aku
akan segera sampai.”
“Bagaimana
bisa kau berkata begitu, padahal kau sendiri tidak tau pasti dimana tempatnya.”
Cercanya dengan nada kesal yang ditahan.
Aku
tertawa kecil, aku tau dia khawatir, tapi cobalah mengerti kenyataan bahwa aku
bukan bocah ingusan yang akan menangis jika tersesat.
“Sudah
kubilang, disini tertera bahwa aku akan sampai sekitar tujuh menit lagi.”
“Keras
kepala.”
“Terima
kasih.” Ia berdeham, tidak tau apa yang harus dikatakan lagi.
“Sudahlah,
tidak usah khawatir.” Sambungku lagi, dan tak ada jawaban darinya. Hanya bunyi
tuuutt…tuuutt.. dari kotak pipih canggih itu yang menandakan sambungan diputuskan
secara sepihak.
Tentu
aku menganga, tidak menyangka akan kebiasaaanya yang benar benar sulit berubah.
Aku tidak menghiraukannya, dan Kembali menyusuri tapak demi tapak jalan yang
ditunjukan oleh fitur tour guide canggih itu.
‘turn
left’ Himbauan itu kembali terdengar, dan kuikuti saja dengan berjalan ke
arah yang ditujukan.
Beberapa
menit berlalu memang masih terlihat normal, tapi tidak untuk menit berikutnya. Sensor
tubuhkan memberikan status waspada, karena baru kusadari bahwa di celah ujung
jalan sana, ada beberapa preman bewajah garang dan bertubuh kekar. Tanpa
berpikir panjang, aku membalikkan langkah menuju jalan tadi.
Aku
sadari bahwa sekarang jalanan perlahan sepi dan lenggang. Mungkin pikirku ini
sudah waktu untuk bermimpi indah di kasur empuk juga lembut. Yah, seperti yang
ingin kulakukan sekarang.
“Hei
nona. Kau sangat cantik.” Ucap suara dibelakangku.
“Mari
bermain dengan kami, pasti sangat mengasikkan.” Tubuhkan mengejang kaku. Melihat
beberapa laki-laki abnormal mulai mendekat.
Otakku
berkerja cepat. Hanya dua opsi, lawan atau lari. Yap hanya itu. Tapi ya memang
dasarnya aku sangat malas membuat keributan dan mengundang banyak pasang mata
mengangkat kamera dan menekan rekam, aku hanya bisa memilih opsi terakhir,
yaitu pergi dari sana secepat mungkin.
Kuambil
langkah seribu untuk menghindarinya, mencari jalanan yang masih ramai dan
banyak pencahayaan. Hoho, Itulah yang ia ajarkan padaku, hingga sampai saat ini
ternyata guyonan itu mampu membuat tubuhkan melahirkan reflek cepat dan
tanggap. Terima kasih untuk kalimat sarkas dan penuh penekanan darinya di pagi
hari setelah kami latihan itu.
Aku
terus berlari tak tentu arah, sambil sesekali menengok kebelakang. Hingga
laki-laki pervert itu hilang dari penghilatanku, barulah aku berhenti
berlari dan menopang tubuh lelahku di lutut. Huh, aku ingin sekali menangis.
Aku sangat lelah, Perjalanan dari Kota Anaphalis menuju kemari sangat menguras
tenaga. Aku memang bodoh, seharusnya aku turuti saja kemauannya, jadi aku bisa
mendapatkan bodyguard pribadi yang merangkap menjadi tour guide.
Yasudahlah,
ini sudah terjadi, mau bagaimana lagi? Air
mataku turun perlahan tanpa ku minta.
Haish,
aku tidak mau cengeng di saat seperti ini, sangat sangat tidak mau cengeng. Aku
hanya membayangkan wajahnya yang akan mengejekku habis-habisan jika melihat aku
menangis. Itu sangat menjengkelkan dan hal terakhir yang ingin kulihat. Aku
diam beberapa menit untuk menetralkan ngos-ngosan, mwehehehe. Sampai sebuah bunyi
bas menyela beberapa lamunanku di waktu-waktu diam.
“Sudah kukatakan, tidak ada salahnya menurut. Jangan keras kepala.”
Setelah
kalimat itu, aku merasakan pucuk kepalaku dielus lembut, dan tubuhku di rengkuh
menuju jaket hitam tebal yang menurutku beraroma coklat. Aku mendongak, dan
melihatnya masih dengan seragam lengkap.
“Kok
bisa tau?” Tanyaku, perlahan memeluk tubuhnya untuk mengusek usek air mataku
beserta ingusku, hehehe. Tapi dia diam saja kok, seperti sikapku telah menjadi
hal biasa untuknya.
“GPS.”
Jawabnya singkat.
“Hah?”
Aku berusaha menengok ke atas, melihat tubuh tingginya dan wajah Asian Eropa
miliknya.
“Hpnya
ada GPS.” Jelasnya tetap dengan kata-kata yang singkat.
Aku
hanya mangut-mangut mengerti. “Pulang.” Katanya yang lebih mirip dengan kalimat perintah.
Ia
menarik tanganku, menggenggam erat seakan tidak ingin kehilanganku. Oh tentu, karena
ia sudah pernah hampir kehilanganku dua kali.
Satu
saat kami berada di wilayah darurat penjagaan.
Dua
saat aku kehilangan radar pada markas utama. Yang kedua itu sangat mengerikan.
Aku malas untuk membayangkannya kembali.
“Hei.”
Sapanya tanpa menoleh, pandangannya tetap lurus pada jalanan senggang nan sepi
yang ada di depan mata.
“Ya?”
jawabku.
“Tidak
jadi.” Aku memutar bola mata kesal akan jawabannya.
“Baru
pulang?” tanyaku untuk meredakan kekesalan.
“Hm.
Baru saja, sampai kau membuat masalah lagi.”
“Tidak.
Aku hanya malas.”
“Sama
saja.”
“Terser-“
“Aku
akan pergi lagi.” Ucapnya mematahkan kata terakhir yang ingin aku ucapkan.
“Mungkin
akan lama, karena itu cukup besar.” sambungnya lagi.
Dan
tanpa dijelaskanpun aku mengerti arti dari kalimatnya. Sungguh sangat mengerti,
sampai ia tidak perlu lagi menjelaskan dan aku tidak perlu lagi bertanya lebih
jauh.
Yang
aku perlukan hanyalah sabar, tenang, dan tersenyum. Kurasakan tangannya lebih erat
menggenggam tanganku, seperti mencoba mengatakan kalimat ‘cobalah mengerti
aku’. Pasti, aku selalu mengerti dirinya.
“Hati-hati.”
Kataku singkat. Memendam seluruh buncahan perasaan kecewa dan sedih bersamaan. Dua
hari lalu aku mengatakan padanya bahwa aku akan kemari untuk sebuah urusan.
Tapi sebenarnya, aku hanya kemari untuk menemuinya, dengan segala upaya kerja
kerasku agar aku diberi beberapa hari cuti dari tangan yang selalu memegang
laras panjang.
Yah,
mungkin takdir belum berpihak padaku, karena saat aku kemari menemuinya, ia pergi
menjemput urusan lain. Selalu begitu, dan berseling ria tanpa henti.
Kulihat
ia mengangkat telpon, melepaskan tanganku untuk sesaat.
“Siap
komandan. Laksanakan.” Ucapnya setelah beberapa detik digunakan untuk mendengar
perintah. Tidak lupa pula dengan rentetan kode angka acak dan beberapa huruf
rahasia sebagai tanda itu adalah masalah besar.
Sampai
sekarang ia masih menganggap bahwa kau tak tau, Tapi aku jelas-jelas tau apa
yang dimaksud kode itu. Sangat tau, karena aku telah lama mempelajarinya.
“Ayo
pulang.” Ia berkata sambil menggandeng tanganku lagi. Ia tersenyum, mendekatkan
diri padaku sampai tak ada jarak diantara kami.
Diciumnya
dahiku pelan sebelum ciuman itu beralih pada bagian wajahku yang lainnya. Tetap dengan gayanya yang tegas, lembut dan cukup
lama, sembari mengucapkan sepatah kata yang membuat tangis bisuku meluruh kala
itu juga.
“Lypámai”
Katanya pelan di jam malam.
Hingga kini, aku baru menyadari bahwa itulah kalimat
terakhir yang bisa kudengar. Ya, kalimat terakhirnya.
Comments
Post a Comment