-Little Anaphalis-
Story by : Wyliand.
Malam ini terasa sepi kembali. Salju
turun membasahi semua jalanan. Sunyi, hanya suara api dari perapian yang ku
dengar. aku menghela nafas lelah berulang kali. Kuharap pagi kembali menjelang,
dan bunyi lonceng gereja kembali berdenting. Malam selalu mengutukku, bukankah
itu tidak adil? Mungkin itu menurutku saja. Ku pasang api lentera di depan
pintu masuk, lalu bergegas menutup mata. Satu ku pinta, agar malam ini berlalu
dengan cepat.
Di jendela ini kulihat semuanya, dunia
yang terhampar tanpa batas, bahkan tanpa halang. Aku tersenyum, aku telah lupa
kapan terakhir kali kakiku melangkah di jalanan itu, apakah tetap basah dan
lembab, atau telah kering ? tak akan kutemukan jawabnya. Seperti ini saja cukup
bagiku, malam kembali menyelimuti langit, salju turun kian menderas. Udara niur
dingin tak kurasa. Hanya ruang kosong yang tak bisa terisi kembali.
Pagi ini udara lebih hangat, dan salju
kemarin telah dibersihkan. Mungkin pak tua dari jalan seberang dengan hati baiknya
melakukan itu. Aku melangkahkan kakiku menjauh dari tempat tua yang kutinggali,
bisa disebut rumah, aku tidak tau. Pikiranku menuntun untuk kembali ke toko
bunga disamping perempatan jalan Artena, mengambil sepetik bunga Lily dan
Anyelir.
“Nona, tiap hari kau membeli bunga itu,
boleh ku tau untuk siapa ?” Wanita tua dengan senyum ramah itu menghampiriku
“Tentu madam, bunga ini untuk orang
yang selalu merawatku dengan tulus” jawabku singkat.
“Nona, sepenting itukah dia? “
“Saya tidak tau madame, tapi tiap ku
lihat senyumnya, tak ada yang lebih indah” Wanita tua itu kembali tersenyum
mendengar perkataanku.
“Nona, biarkan aku membantumu” Aku
terdiam, wanita tua itu mengambil sesuatu dari sudut ruang toko. Itu adalah
seikat bunga yang ku tak tau namanya, bahkan ini pertama kali ku melihatnya.
“Bawalah bunga ini bersamamu, gadis
kecil. Hanya ini yang bisa kubantu” Wanita itu menyerahkannya padaku.
“Tidak madam, kulihat bunga itu sangat
berharga, tak pernah sekali kulihat bunga harum yang telah lama mati” Aku
terheran-heran sendiri.
“Tak usah sungkan, memang bunga ini
untukmu. Kau berhak mendapatkannya” kata wanita tua itu dengan senyum hangat
yang merekah. Ku terima bunga itu
“Terima kasih madame, kau snagat baik
padaku. Apakah ada hal yang bisa kubantu?”
“Kau sangat tau bagaimana berterima
kasih aku punya satu hal”
“Apa itu madame??”
“Kemarilah tiap hari dengan mengambil
tiga buah bunga. Seperti biasa, Lily, Anyelir, dan ditambah lagi seikat bunga
ini” Wanita tua itu menghela nafas, kembali melanjutkan kata-katanya.
“Mungkin umurku tak sampai lama, ku
ingin sebelum ku berhenti mengejar waktu, kau mendapatkan kebahagiaanmu”
“Baik madame, akan kulakukan apa yang
kau katakan” Aku tersenyum, lalu berpamit.
Perbincangan tadi sedikit dapat membuatku
terlena, Bahagia ? sudah lama ku tak mendengar kata itu.
Aku berjalan kembali ke arah tujuanku
yang lain. Menuju Gedung putih yang besar dan tinggi. Orang-orang dengan
pakaian putih dan stetoskop yang melingkar mengalungi lehernya hilir mudik
diiringi oleh satu dua orang perawat.
Aku masuk kedalamnya, berjalan dan
berbelok ke selah selah koridor yang ramai, dan akhirnya ku temukan tempat yang
ku ingin kunjungi, yang selalu ku kunjungi. Tempat peristirahatannya. Hai
Leoradhra, aku menepati janjiku yang kesekian kalinya, datang menjengukmu.
Bingkai foto putih dengan wajah Wanita
tertawa Bahagia. Ku panjatkan doa padamu bunda maria, jagalah dia di sisimu,
karna tak bisa kembali terpikirkan olehku bagaimana cara menjaganya tetap
disisiku. Kuletakkan Lily dan Anyelir di tempat bunga, dan kunyalakan Serbuk
bunga Lavender. Saat ku ingin meletakkan bunga yang diberikan oleh wanita tua
itu tadi, kuurungkan niat. Mungkin lebih baik seperti biasanya saja.
Ugh, kepalaku terasa sakit. Sudah
berapa lama aku tertidur ? Kulihat salju telah berhenti turun dari jendela.
Sudah pagi ya, tapi tetap saja ku berbaring disini tanpa bisa melakukan apapun.
Aku menghela nafas berat, dadaku sesak dengan segala kesedihan ini, bisakah aku
selalu panjatkan syukur ? Tak lama kemudian, perawat datang memeriksaku seperti
biasanya. Mengecek dengan segala alat-alat yang tak pernah ku mengerti.
Aku terdiam sunyi, tapi terdengar suara
langkah kaki yang mengalihkan perhatianku. Semakin dekat, dan semakin ku
penasaran. Aku tak pernah seperti ini sebelumnya, Lalu, waktu seakan berhenti
sejenak.
Kulihat gadis dengan gaun merah muda,
berjalan sangat lambat. Rambut pirang yang menjuntai, dan beberapa jenis bunga
di tangannya. Wajah itu, sangat familiar. Sama sepertiku, sepi dan sunyi.
“Apa yang kau lihat tuan muda ?” Tanya
salah satu perawat
“Uhm, apakah kau mengenal gadis yang
baru saja lewat, yang membawa beberapa bunga” Ku tanyakan langsung
“Ohhh, dia. Gadis itu tamu tetap di
rumah rawat ini, banyak yang iba melihatnya. Dia selalu kemari membawa dua
jenis bunga, Lily dan Anyelir. Datang ke tempat peristirahatan, lalu kembali
lagi tanpa sepatah katapun.” Jarum suntik menancap ditubuhku seiring perkataan
perawat itu.
“Benarkah ? Siapa yang dikunjunginya di
peristirahatan ?”
“Banyak orang berkata bahwa dia
kehilangan saudarinya, malang sekali nasibnya, saudarinya meninggalkannya
karena komplikasi penyakit berat dari lahir”
“Ohhh” aku terdiam.
“Kenapa tuan muda tiba-tiba berkata
seperti itu ?”
“Tidak, aku hanya merasa gadis itu
menarik perhatianku” jawabku seadanya.
“Akan ku panggilkan dia jika tuan muda
mengijinkan, mungkin itu bisa mempercepat terapi anda” Perawat tersebut
tersenyum lembut. Aku menganggukkan kepala. Tak berselang lama, Perawat itu
menyuruh bawahannya mencari gadis bunga itu.
Saat ku panjatkan doa dengan khusyuk,
seorang perawat menghampiriku, berdiri di menghadap dinding. Mungkin ia ingin
berdoa pula, jadi kucepatkan menyelesaikan doaku. Esok aku kan kembali lagi,
pikirku.
“Nona” Ku dengar perawat itu memanggil,
ku lihat sekeliling. Hanya ada aku di ruangan ini.
“Kau memanggilku suster?” Ku jawab
pelan.
“Tentu sayang” Perawat itu
menghampiriku, membantuku membereskan barang-barangku.
“Setelah ini, bisakah kau tidak pulang
dulu ?” Kata perawat itu. Aku bertanya-tanya, ada apa tentunya.
“Ada seorang pasien yang memerlukan
bantuanmu. Dia telah lama disini, mungkin hampir lebih dari lima puluh hari
malam” Seperti mengetahui pikiranku, perawat itu menjelaskan.
“Kami melakukan yang terbaik demi
kesembuhannya, tabib dan dokter telah membantu banyak, tapi tetap saja tak ada
kemajuan” perawat itu menuntunku.
“Tapi baru pertama kali ku lihat, ada
secercah harapan dimatanya saat melihatmu lewat begitu saja. Temui saja dia,
kumohon sekali ini saja. Jika memang nanti dia membuatmu tidak nyaman, aku tak
akan memaksamu” Kata perawat itu dengan senyum.
“Baiklah suster” ku jawab
pertanyaannya. Mungkin aku perlu melakukan ini.
“Ku tau kau gadis baik, mari ikuti aku”
Dia membawaku ke koridor yang tadi ku lewati, tiba di pintu. Aku melihat
seorang pria yang berbaring lemah, mungkin tiga atau empat tahun lebih tua
dariku. Sangat lemah tanpa niatan kembali membuka mata. Perawat itu menepuk
bahuku dan tersenyum, lalu meninggalkanku hanya berdua dengan laki-laki yang
tak ku ketahui sebelumnya.
Kurasakan seseorang masuk, ku buka
mataku perlahan. Pandanganku langsung terkunci dengan gadis bunga itu, dia
tersenyum padaku. Senyum yang akan membuat duniaku berubah sedikit demi
sedikit. Ku harap inilah awal dari akhirku.
“Haai” Sapanya.
“Amedeo Neva” Sambutku memperkenalkan
nama.
“Ketenangan sebuah salju ?” Aku
menjawab nama laki-laki itu dengan heran.
“Darimana bisa kau tau arti namaku ?”
Ucapnya. Aku kembali tersenyum, perawat itu benar, mungkin aku akan nyaman
disini. Ku Tarik kursi lalu duduk menghadap laki-laki itu.
“Solerra ku pernah mengajarkan bahasa
Prancis sedikit” Kataku, kulihat bahwa bunga yang wanita tua itu berikan masih
ada di tanganku.
“Ini hadiahku untuk mu, akan kuletakkan
di vas bunga. Tak usah menyuruh perawat mengganti bunga ini setiap hari, karna
ini telah mati, tapi aromanya tetap harum.” Aku melangkah ke vas bunga di
samping jendela.
“Bisakah kau terus membawakan bunga itu
untukku?” Laki-laki yang kini kutahu bernama Amedeo bertanya dengan hati-hati
padaku.
“Tentu, akan ku bawa lagi esok satu
tangkai. Itu artinya kau bisa menghitung berapa kali ku datang mengunjungimu
jika kau menghitung tangkai pertangkai” Aku tersenyum kembali berjalan ke arah
tempat tidurnya. Laki-laki itu tertawa.
“Baiklah, itu artinya kau harus
mengunjungiku selalu bukan begitu ?” Hatiku menghangat mendengar tawanya.
Terselip di dalam hati, bahwa ada rasa candu untuk mendengar tawanya kembali.
“Jika itu maumu, tak masalah tuan Amedeo
yang terhormat” Aku tertawa ringan, sambil mengupas Apel yang terdapat di
nakas, lalu memberinya potong demi potongan. Aku tak tau mengapa ku lakukan
ini, hanya saja seperti aku harus melakukannya.
“terima kasih” ucapnya.
“Untuk apa ?”
“Telah menerima ajakan suster itu untuk
kemari mungkin ?” Matanya memancarkan sinar, Bahagiakah dia sekarang ?
“Ohh, itu hanya kebetulan”
“Benarkah ? Tapi kau tak menolaknya
nona”
“Mungkin telah diatur?” Aku bertanya
untuk diriku sendiri. Dia mengangkat bahunya, menandakan ia tak tau menahu akan
hal ini.
“Oh ya, namamu sangat susah untuk ku
lafalkan, bagaimana jika aku memanggilmu Aem saja ?” Aku memikirkan kembali
nama panggilan yang tepat untuknya.
“Apapun nama itu, aku akan dengan
senang hati menerimanya. Dan kau ?” Aku terdiam sejenak.
“Aku tak tau” Aku tersenyum melihatnya,
Aem menatapku bingung. Sebelum dia bertanya kembali, ku jelaskan cepat.
“Sejak kecil aku diasuh dengan Sorella,
aku tak pernah tau orangtuaku dimana. Sorella memanggilku dengan sebutan gadis
kecil tiap harinya.”
“Saatku ingin menanyakan namaku pada
Sorella, dia hanya mengatakan bahwa namaku adalah Roma dari tanaman yang selalu
tumbuh di puncak gunung dan memiliki keabadian.”
“Lalu, dimanakah Sorellamu kini ?” Aem
terlihat penasaran, aku ingin tertawa melihat ekspresinya. Lucu.
“Yaaaah, kau tau, dia telah bersama
bunda marianya disana, Leoradhra namanya. Dia wanita yang sangat penyayang, dan lembut. Aku selalu
bersyukur mempunyai saudari sepertinya.” Jelasku.
“Maafkan aku, aku tak bermaksud
membuatmu sedih” Kataku pada gadis di sebelahku. Aku merasa sangat bersalah,
tapi lebih pedih lagi bahwa inilah kebenaran yang seharusnya ku ketahui.
“Tak apa, sudahlah. Kita terlalu banyak
berbicara Aem, lihatlah langit itu, Lembayungnya telah berganti warna. Mungkin
sebentar lagi akan turun salju” Kata gadis itu. Dia menggeser tempat duduknya,
lalu bangkit. Gadis itu mengambil selimut dan membentangkannya di tubuhku. Diusapnya
pelan rambutku dengan penuh kelembutan.
“Aku akan kembali mengunjungimu lagi
besok, dengan membawa bunga yang kau sukai itu. Hah, wanita tua itu membuatku
berpikir. Bunga apa yang telah diberikannya, harum walau telah lama mati. Telah
berpisah dengan tanah tapi tak membusuk” Gadis itu mengoceh, sambil terus
mengusap kepalaku dengan lembut. Aku menutup mataku, merasakan kenyamanan yang
telah lama tak kurasakan kembali.
Tak berselang lama, tak kurasakan lagi
usapan tangannya.
“Apakah kau akan kembali sekarang ?” Ku
tanyakan hal yang seharusnya telah ku ketahui. Betapa bodohnya aku. Tapi gadis
itu tersenyum.
“Tentu Aem, tapi kau bisa memegang
janjiku, bahwa esok pagi kan kukunjungi lagi kau.” Katanya, sambil menutup
pintu ruangan ini.
“Selamat beristirahat Aem” Ucap gadis
itu untuk terakhir kalinya, lalu menghilang di balik pintu. Aku melihat kearah
pintu sedikit lebih lama. Lalu helaan
nafasku terasa berat. Semakin lama, aku terisak. Bodohnya aku Leoradhra,
mengapa kau tak memberi tauku hal sebesar ini ? Dimanakah gadis itu tinggal
sekarang dan sedang apa dia.
Aku terisak semakin dalam. Sebegitukah
kau membenciku ? Sampai kau menghadap pada bunda mariamu ? Tak bisakah kau
memaafkanku Leoradhra ? Kau merawatnya dengan semua kelemahanmu itu ? memang,
Bunda, jika memang Leoradhra tak bisa memaafkanku di dunia ini, bisakah aku
ikut denganmu untuk bertemu dengannya ?
Gadis itu, Anaphalis bukan ? Tanaman
yang tumbuh di puncak dengan segala keabadiannya. Lihatlah, dia melihatku
pertama kalinya dengan sakit ini. Anaphalis, bahkan sampai saat ini aku masih
belum bisa memanggilmu dengan nama itu.
Salju turun menderas. Kurasakan dadaku
di tikam, sakit rasanya, tapi tak apa. Ku bisa memakluminya.
Anaphalis, Solerra kecilku. Jika
seandainya kau tau, Bunga yang kau berikan untukku adalah perwujudan dirimu
sendiri, jika seandainya kau tau bahwa akulah Fratellomu, akan bagaimana
reaksimu ?
Sayangnya waktuku telah habis untuk
saat ini. Bunda maria, terimakasih atas kerendahan hatimu,mengijinkanku bertemu
dengan malaikat kecilku. Aku pergi, jika saja waktu itu aku menghentikannya…
Comments
Post a Comment