MEMORIES I
Masa SMA.
Bagaimana ya menyebutnya? Apakah masa SMA itu ada list yang mengaturnya? Apa
saja kegiatan yang bisa dikatakan sebagai menjalani masa SMA, atau apa saja
tingkah yang bisa masuk dalam kriteria menikmati masa SMA? Apakah, seperti berpacaran?
Pulang malam dari tempat nongkrong? Atau bolos ke kantin saat pelajaran
matematika atau fisika? Bagaimana jika telat ke sekolah dan memanjat gerbang,
dan tidak pernah mengembalikan buku di perpustakaan? Berpacaran beda agama,
padahal sudah tau bagaimana ending-nya, apakah termasuk dalam kriteria
juga? Menjadi murid teladan, yang mengikuti lomba dan ikut dalam semua
pelajaran di sekolah tanpa bolong, apakah tidak bisa dikatakan masa SMA?
Semua hal
itu, adalah Masa SMA, jika kita masih menggunakan setelah putih abu. Ya, tidak
ada batasan untuk mendefinisikan masa tersebut dengan pasti dalam bentu
ekspresi. Semua indah, dan semua menarik. Pasti ada hal pertama yang memberikan
sensasi baru dari keadaan tersebut. Dan, kita akan menolak lupa. Tentu saja.
itu kenangan yang indah.
Tanggal
yang tepatnya sudah saya lupa, bulan pertengahan, Tahun 2018. Saya resmi
menjadi murid SMA Negeri 1 Singaraja, yang kata orang merupakan sekolah favorit
dan memiliki akreditas A. Sekolah yang menjadi mimpi bagi banyak orang,
fasilitas yang memadai, peraturan yang jelas, dan semangat belajar yang dapat
memotifasi, serta lingkungan yang baik dari luar maupun dalam.
Awalnya, adalah
hal yang mustahil bisa menjadi murid di sana. Hal yang mendebarkan adalah saat
hari demi hari melihat nama saya dari papan pengumuman terkadang di angka yang
rendah dan di angka yang tinggi. Melihat orang-orang pintar saat pendaftaran,
tentu membuat hati gundah. Semua pasti merasakan hal itu. tidak semua, namun
kebanyakan orang akan mengalami hal seperti itu.
Kali ini,
saya ingin membagi pengalaman berorganisasi saya. Agar lebih spesifik, dan bisa
menjadi kenangan untuk saya baca di kemudian hari.
Sebenarnya
saat SMP, saya sedikit sudah mendengar tentang OSIS di SMA Negeri 1 Singaraja
(SMANSA), yang terkenal aktif dan menjadi pemeran utama bahkan di organisasi
luar sekolah.
Awalnya,
saya bisa dibilang kurang menyukai ikut organisasi, dan saat SMP dulu, saya
sangat tidak menyukai OSIS, karena saat itu, anggota OSIS di SMP kebanyakan
bertindak semaunya, dan hanya menjadi ajang pamer. Walau tidak semua begitu,
tapi dengan kepribadian saya, saya bertekad untuk menjadi anggota OSIS di SMA.
Karena saya ingin mengetahui bagaimana sebenarnya berlatih berorganisasi, dan
bagaimana kondisi di dalam organisasi tersebut.
Di
SMANSA, saya mendaftar menjadi Satgas (Satuan Petugas). Satgas adalah
organisasi yang secara langsung berhubungan dengan OSIS. Tugas Satgas adalah
belajar dan membantu anggota OSIS untuk mengerjakan tugas organisasi. Dan
biasanya, yang menjadi Satgas, akan lebih mudah lanjut menjadi OSIS, karena
telah tau seluk beluk organisasi, dan tugas dari masing-masing sub.
Awal saya
mendaftarkan diri menjadi satgas adalah pada saat upacara bendera hari senin.
Saya maju ke depan dengan sukarela tanpa paksaan. Itu adalah langkah awal. Dan
pada saat itu, di dalam hati saya, hanya ada rasa tidak suka, tidak suka karena
mengingat kenangan bagaimana anggota OSIS SMP dulu bertindak. Ketidaksenangan
yang tanpa sengaja memotivasi saya. Rasa seperti ingin balas dendam untuk
beberapa orang di OSIS SMP yang pernah merendahkan saya. Saya ingin mengatakan
jika sempat, saya bisa lebih tinggi dari posisi kalian. Dan saya bisa berjuang
untuk hal yang memang saya ingin perjuangkan.
Jika
biasanya, orang yang ingin mengikuti organisasi mempunyai motivasi seperti
supaya bisa mengatur waktu, mencari relasi, dan mengabdi pada sekolah, jujur
saja, saat itu tidak ada hal seperti itu yang tertanam di hati saya. Itu
seperti kata-kata dongeng yang entah kapan akan terealisasi. Saya tidak pernah
mempunyai motivasi tersebut saat seleksi masuk Satgas.
Saat
seleksi, saya tidak terlalu diberatkan dengan tugas-tugas yang bisa mencampai
berlembar-lembar dalam waktu kurang dari setengah hari. Karena, saat MPLS saya
sudah pernah merasakannya. Tidak tidur malam hari adalah hal yang biasa, walau
tidak bisa dianggap menjadi kebiasaan. Tugas-tugasnya, lebih melatih kemampuan
untuk menjabarkan secara detail, dan secara tidak langsung agar bisa mengetahui
lebih jauh seluk beluk dunia perosisan.
Saat itu,
saya memang berjuang. Pulang jam empat sore dari sekolah, mengganti baju
seragam menjadi baju olahraga bawahan training dengan warna kaos harus sama
dengan teman-teman Calon Satgas lainnya. Kami dihitung, dan jika lebih dari
perhitungan, akan diberikan konsekwensi berupa set atau yang lainnya. Tidak
hanya otak saja dilatih, melainkan fisik dan juga mental. Teriakan dari senior
seperti sudah makanan setiap hari pada saat itu. pada akhir pertemuan, tepat
atau lebih jam enam sore, tugas akan dibacakan dengan cepat, dan telinga kami
harus dipasang baik-baik untuk mendengarkannya. Kira-kira, saya akan sampai
rumah jam setengah tujuh, berbekal tugas enam halaman double folio bahkan
lebih. dan berbekal tugas sekolah yang tidak kalah banyaknya.
Ada hal yang
baru saya rasakan saat seleksi berlangsung. Hal yang sering saya abaikan dulu,
dan saya tidak menyangka, kali ini hal tersebut sangat membantu saya. Itu
adalah kekompakan, dan Kerjasama. Walau kami bersaing, namun semua Calon Satgas
juga saling membantu melengkapi informasi yang masih kurang dalam pengerjaan
tugas. Seperti biasa, pasti ada saja teman yang menyalin sedikit tugas teman
yang lain, tapi kami tidak ada niatan untuk memberi tahu para senior akan hal
itu. Kami berjuang bersama, dan kami tau persis rasanya. Jadi, dari sana saya
mengenal loyalitas, dan royalitas. Loyal pada teman, royal untuk tetap berusaha
mendapatkan yang terbaik.
Selanjutnya
ada tes fisik dan tes wawancara. Saya tidak terlalu terbebani dengan tes fisik,
karena sebelum itu, saya sudah terbiasa dengan latihan kekuatan, seperti lari,
push up, sit up dan lain sebagainya. Untuk tes wawancara, saya agak kaget.
Pemikiran saya saat itu adalah duduk diam, dan ditanyai beberapa hal dengan
baik.
Namun,
tidak disangka. Saat kami membuka pintu koridor, teriakan dari senior-senior
telah mengalun seperti burung. Bersiul kesana-kemari tanpa henti. Bahkan, jika
diingat-ingat sekarang, itu masih menyisakan sedikit trauma.
Kami
disuruh jalan jongkok dan ada juga yang merayap. Lantainya sangat licin.
Telinga saya seperti menyerap suara yang berfrekuensi tinggi. Kata-kata yang
merendahkan mental sering terlontar.
Saya juga
bukan siswa yang sepenuhnya akan optimis. Terkadang, mental saya melemah ketika
mendengar perkataan Sarkar dari kakak kelas. Dan terkadang, ada rasa marah saat
saya terus dimarah padahal saya tidak mempunyai salah apapun. Rasanya kesal,
ketika mereka teriak di samping saya. Saya saat itu merasa, mereka terlalu
banyak bicara, dan juga belum tentu mereka tau apa kesalahan kami. Tapi, ya
bagaimana lagi, saya bertekad untuk menjadi OSIS, jadi jika saya tidak lolos
kali ini, percuma saja. Dengan berpegang hal awal, saya berusaha membuat
barrier agar tidak terlalu mempengaruhi mental saya, dan bersikap cuek saja
terhadap apa yang dikatakan para senior.
Hingga,
masa itu datang. Akhirnya, kami selesai menjalankan seleksi. Dan saya ingat
sekali, saat siang menjelang sore, kami di suruh membuat barisan di lapangan
hijau, mengacuhkan sinar matahari yang benderang seperti kepala salah satu guru
biologi.
Para
senior membawa map biru, tempat tugas-tugas kami disisipkan. Mereka diam tanpa
kata. Disaat itu pula ada Satgas angkatan sebelumnya yang akan lanjut menjadi calon
DOK.
“Kami
telah menyisipkan lambang Satgas bagi kalian yang lolos.” Kata ketua OSIS
pada saat itu.
Mereka mulai
menghitung, dan kami mulai mencari. Jika diingat, kenangan itu sangatlah
berharga. Pertama kali melihat satgas periode sebelumnya. Melihat senior yang
entah kenapa terlihat lebih ganteng dengan setelah jaket DOK.
Dan yah,
seperti yang telah diketahui.
Pada saat
itu, mungkin masa SMA yang akan saya jalani akan penuh perjuangan, tantangan,
dan kesenangan.
Bersama teman
yang baru, dan berusaha lepas dari kukungan masa lalu.
Pertama kali, saya melihatnya tidak jauh dari hadapan. Hanya satu langkah saja harus saya perjuangkan untuk menyentuhnya. Namun, tidakkah itu terlalu mudah? dan, kembalilah tantangan itu bangkit.
Dia manis dengan tutur katanya yang tegas. Diamnya bukan berarti bisu merenggut pemikirannya. Tenang seperti air, dan menyala seperti bara api di obor awal permulaan siswa baru.
Jika saja, saat itu waktu merestui. Ingin sekali saya bertegur sapa untuknya. Berbicara layaknya para siswa kebanyakan. Menyatakah bahwa ia adalah idola yang saya nanti nantikan kehadirannya.
Bahkan, sampai ia tidak lagi dalam satu tempat, saya masih tetap kelu untuk mengatakan satu patah kata saja. Kecewa? tentu saja.
Ia bersinar, banyak orang yang mengenalnya. Seperti primadona sekolah di masanya. Seperti pangeran yang menunggu putrinya untuk datang, atau mungkin sedang mencari keberadaan putri sebenarnya.
Dan saya hanya pemeran figuran. Yang selalu hadir walau ia tidak pernah menyangka barang kali.
Tapi tidak apa-apa.
Saya sudah senang. Karena, sebelum ia benar-benar pergi, ada hal yang membuat saya sudah cukup dengan perasaan tidak puas.
Saat itu, saya sedang membawa berkas, dengan hati dongkol karena seseorang. Hari itu senja, menjelang malam di sekolah. Sudah sepi, namun seperti pengabdi sekolah kebanyakan, itulah waktu kami untuk beraktivitas.
Di kursi lipat di luar ruangan saya duduk termenung, menahan emosi saya yang bercampur aduk.
Hingga, entah kapan pastinya.
Ia telah berdiri di hadapan saya, menarik dua sudut untuk menampilkan senyum terbaik.
Mengetahui bahwa ia tahu siapa saya, dan siapa nama saya, sudah menjadi kesenangan tersendiri.
Dan kalimat selanjutnya, yang tentu akan selalu saya ingat. Sampai kapanpun dan dengan siapapun ia nantinya.
"Kenapa di sini? Ayo masuk"
Comments
Post a Comment