Cloudy [PART 1]

 


Matahari kembali bersinar dari ufuk timur, mulai menerangi redupnya cahaya rembulan. Masih segar, dengan dedaunan basah karena embun, daun pohon turun menapaki aspal yang sendiri, belum terinjak, bahkan ternoda. Sebenarnya, suasana pagi ini cukup membuat orang yang malas sekalipun bangun dan tersenyum menatap pemandangan dari arah jendela kamar. Melangkahkan kaki keluar untuk sekedar menghirup aroma tanah yang masih menguar saat hujan tadi malam.

Alvin, remaja yang kini sedang meningkat dewasa terlihat diam di dalam mobil yang terparkir berseberangan dengan sekolah yang nanti akan ia masuki. Sesekali ia berdecak pelan sambil melihat history chat dengan teman-teman belangsak yang ia punyai. Jam memang belum menunjukan tanda-tanda terlambat, sedangkan Alvin sudah berdiri dengan seragam putih abu-abunya.

Alvin memang sudah seharusnya tidak mendengarkan janji Reno. Karena jika ia tetap menunggu teman-temannya datang ke rumahnya hanya sekedar menjadi biang keladi, Alvin rasa ia masih bisa mengurus diri sendiri dengan benar. Tidak perlu tuyul-tuyul pembuat ulah itu.

“Ck! Lama amat.” Gerutu Alvin menaruh ponsel itu di telinganya. Sedari tadi, ia berusaha menguhubungi teman-temannya, tapi tidak ada satupun dari mereka yang menjawab. Alvin menoleh ke arah pintu gerbang yang lumayan tinggi dengan akses kuno klasik. Menarik nafas pelan, akhirnya Alvin melajukan mobilnya memasuki pekarangan sekolah tersebut.

“Misi, pak.” Kata Alvin, turun dari mobil untuk bertanya pada satpam yang dilihatnya. “Saya murid baru. Kalau boleh tau, dimana ya parkiran sekolah untuk siswa?”

“Ooh, lurus aja dek, plang biru untuk parkiran siswa, belok kanan.” Jelas satpam itu dengan ramah. Alvin mengangguk mengerti, mengucapkan terima kasih lalu melajukan mobilnya ke tempat yang telah diberi tahu. Parkiran tersebut masih lenggang. Hanya ada beberapa mobil dan sedikit motor di sana yang berjejer rapi.

Turun dari mobil, halaman sekolah itu masih tampak lenggang. Apakah ia terlalu pagi untuk berangkat sekolah? Alvin juga tidak tau. Mengambil tasnya, Alvin melangkahkan kakinya ragu. Menengok kanan dan ke kiri, tidak mengerti tentang struktur bangunan yang sudah terlentang megah di depannya.

Di tengah kebingungannya tersebut, terlihat dua orang gadis yang ia pikir baru saja datang. Tampak ragu sejenak untuk menghampiri, dan rasa gengsi yang aneh jika bertanya dengan seorang gadis, namun akhirnya akhirnya Alvin mencoba memberanikan diri berjalan dua gadis tersebut.

“Hai.” Sapa Alvin. Kedua gadis itu menoleh bersamaan, menunjukkan raut bingung bersamaan dengan Alvin yang tersentak pelan, saat mengetahui bahwa satu diantara mereka adalah gadis yang ditemuinya kemarin malam.

“Kok matanya ga bengkak? Bukannya dia kemarin nangis?.” Batin Alvin berbicara saat matanya beradu pandang dengan mata hitam legam milik gadis itu.

“Ya?” Sapa teman yang di samping gadis itu. Air wajahnya ramah, terkesan ayu seperti gadis dari pulau dewata. “Lo murid baru ya?” Katanya. “Muka lo masih asing soalnya.”

“Iya.” Alvin mendekat, dengan gerakan tambahan menggaruk belakang kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. “Gue baru sekolah hari ini. btw ruang guru dimana ya?”

“Ooh, jauh sih dari sini, ngelewatin beberapa gedung.” Masih dengan gadis yang sama. Gadis yang mempunya name tag Asha Aksita. “Kalo belum tau denah, susah juga.”

“Mau kita anterin?” Alvin menengok, gadis yang ditemuinya kemarin langsung menyela pembicaraan, mengatakan to the point.

“Boleh.” Tersenyum, Alvin membiarkan dua gadis itu memimpin kedepan. Pandangan matanya masih tidak bisa teralihkan dari gadis yang menurutnya menarik. Matanya tajam, raut wajahnya terukir sempurna. Memang diperuntukan untuk wajah jutek, namun tidak menghilangkan kesan cantiknya.

“Lo udah pembagian kelas?” Kata Asha Aksita, atau lebih sering di panggil Asha.

“Pembagian kelas?” Beo Alvin. Pikirannya masih tidak nyambung, ia terlalu fokus mengamati wajah gadis kemarin malam yang belum sempat ia ketahui namanya.

“Iya. Disini tuh ada dua jenis kelas. Ada yang Royal Class and Loyal Class. Agak alay sih emang, tapi ya… udah peraturannya.” Asha mengedikkan bahu.

“Lo pada jenis kelasnya apaan?” 

Royal Class.” Asha melanjutkan. “Kalo waktu gue pertama sekolah, kita dikasih soal ujian penentuan jenis kelas gitu. Kayak soal itu bakal nentuin dimana kita di taroh. Susah bener dah itu soal. Tapi gataunya gue sama ini bocah sekelas bareng deh. Lo belum dapet ujian ya?” Menjawab pertanyaan Asha, Alvin menggeleng. Kembali fokus ke perempuan bersurai hitam panjang di samping Asha.

“Belum, gue baru kemarin dateng dari Belgia.”

“Belgiaa? Demi apa lo dari Belgiaa?” Asha melongo, membalikkan badannya kebelakang, melihat Alvin sepenuhnya. “Seriusan lo pindahan dari Belgia?”

Alvin terkekeh pelan, mengangguk mengiyakan. “Hu um. Kenapa?”

“Gue pingin banget ke Palais de Bruxelles! sekalian beli postcard yang unik.” Asha menerangkan dengan mata menggebu-gebu.

“Ooh, kalo kesana gratis, udah tau?”

“Masa asih? Anjir! Keren banget! Ya ga Vir?” Melempar pertanyaan ke teman di sampingnya, Asha masih mempertahankan mimik penasaran sekaligus ceria.

“Hmm.”

“Ga asik lo mah!”

“Iyain.”

“Jawab apa kek gitu.”

“Apa kek.” Alvin tertawa pelan, melihat respon minim dari gadis yang Alvin ketahui pernah menangis kemarin. “Btw, Ini udah sampe.”

Sekilas Alvin melihat name tag gadis itu yang sudah bisa di baca dengan jelas, karena rambut panjangnya kini tersampir ke belakang sepenuhnya.

“Vira Liandy.” Alvin mengulum senyum, membaca nama itu dalam hati. Nama yang menurut Alvin manis. Ya, Alvin juga tidak tau kenapa otaknya membuat dendrit seperti itu. Alvin akui ia sedang tertarik dengan gadis berbulu mata lentik itu. Tidak tau nantinya.

“Lo masuk aja ke dalem, bilang murid pindahan.” Kata Vira menjelaskan.  Alvin mengangguk paham.

Thanks.”

“Okee! Kalo lo masih belum hapal penuh denahnya. Lo bisa minta peta mini di sini, nanti dikasih pasti.” Asha menunjuk ruangan di samping ruang guru. Itu adalah ruang Arsip dan Kepemimpinan. “Lo juga belum punya temen disini?”

“Udah udah.”

“Siapa?”

“Namanya Reno, Lian, Rian, Firhan.” Alvin menyebutkan teman-temannya sembari memendam rasa kesal. “Lo tau mereka?”

“Waah!! Jadi lo temennya mereka? Ya taulah! Gue satu ekstra sama Reno.”

“Ekstra apa?”

“Musik.” Jawab Asha.

“Lo gabakal cepet kalo ngoceh sama orang ini.” Vira menyahut, menatap Alvin serius. “Mending langsung ke dalem aja. Lagipula, jam sekolah udah mulai.”

Alvin mengangguk, tersenyum sebagai ucapan terima kasihnya.

Sepeninggalan Asha dan Vira. Alvin kembali berpikir. Kenapa rasanya berbeda saat berinteraksi dengan gadis yang bernama Vira itu? padahal, ia hanya baru saja bertemu kemarin malam. tapi kenapa ada rasa ingin kembali bertemu dan berbicara banyak dengannya?

Hah… Alvin menggeleng kecil. Rasanya, kenapa seperti remaja pubertas?

Alvin menatap satu persatu wajah-wajah dengan tampang tak berdosa itu berulang kali. Tatapan kilat juga Alvin layangkan sebagai ajang memulai pertarungan. Ia menggebrak meja sedikit keras, mendesis lalu bersuara. “Lo pada dimana tadi pagi?”

Reno terkekeh, menyeruput jus alpukat yang sudah tersedia di depan meja. “Si Lian anjir! Kita udah jalan ke rumah lo, terus ini bocah bilang kucingnya belum makan. Balik lagi jadinya.”

Alvin beralih menatap Lian. “Bajingan lo.” Kata Alvin, kembali duduk di kursinya.

“Gue sayang hewan, Vin!” Lian yang memang kelewat santai, juga menampilkan ekspresi sama seperti yang Reno lakukan. Lian memang pencinta binatang, berbeda dengan kembarannya Rian. Suatu kebun binatang pribadi sudah menjadi nama kedua dari rumah Lian dan Rian. Kalian bisa menemukan berbagai macam hewan di sana. Dari kadal, iguana, kucing, anjing, bahkan cicak sekalipun. Info lanjutan, Lian memang sangat mengidolakan Rebecca.

Ya, Rebecca. Kucing betinanya.

“Namanya Siti. Supaya kalo ada yang nanya ‘Lian lo nge date sama siapa?’ gue bisa jawab, sama Rebecca.” Begitulah jika ditanya.

Jomblo akut yang sudah berada di stadium akhir. Bahkan kadang Rianpun amit-amit mengatakan bahwa Lian itu pernah berbagi perut dengannya.

“Lo udah pemilihan kelas?” Rian memandang Alvin dengan kacamata bacanya.

“Udah. Langsung di tes tadi.” Kata Alvin. Ia juga terkejut saat salah satu guru menuntunnya untuk duduk di salah satu set komputer dengan durasi pengerjaan soal yang lumayan sedikit.

“Gimana?”

“Apanya?”

“Soalnya.”

“Ada beberapa yang gue ga bisa.” Alvin mengedikkan bahunya. Ia tidak terlalu mengambil serius soal-soal tersebut. Toh juga hanya satu tahun lagi ia akan mengenyam bangku putih abu-abu.

“Kelas apa dapetnya?” Firhan yang dari tadi hanya menyimak, ikut-ikutan bertanya juga.

“Seharusnya Royal Class.” Keempat temannya membelalak tidak percaya. Bahkan Reno sudah tersedak duluan. “Tapi gue ke Loyal Class aja.”

“Demi apa lo bambank?”

“Demi hidup lo yang udah bau tanah.”

“Serius gue dugong!” Reno berdecak kesal. “Kenapa lo pindahin ke LC (Loyal Class)?”

Alvin menghela nafas. “Gue kan pindah kesini buat santai dulu. Males lah monyet! Harus mikir banyak di RC (Royal Class)” Kata Alvin memberi penjelasan. “Btw…” Alvin mencomot kue coklat yang sedari tadi menganggur. Ya mereka sedang berada di cafĂ© dekat sekolah. Memang jam pelajaran sudah usai dua jam yang lalu, dan sekolahpun kini tidak seramai pada saat jam wajib.

“Vira Liandy.” Alvin mendongak. “Lo pada kenal dia?”

“HAH?!”

Nampak tiga gadis sedang berbaring ria di kasur empuk dengan motif toska helaian daun. Itu adalah Asha, Leya, dan Vira. Jika belum kenal, say hello to Vira, Leya, dan Asha yaa!

Gadis yang bernama lengkap Vira Akiko Liandy sedang menikmati alunan musik dari  earphone menyumpal telinga, pula mata yang terfokus pada buku bacaan berwarna pastel abu dengan tulisan Yummy Grey. Rautnya serius, tidak ingin diganggung, terkadang keningnya berkerut kesusahan untuk mencerna kata-kata yang terbaca.

Sedangkan teman disebelahnya, Asha memejamkan mata meresapi aroma dan suhu sejuk yang menerpa wajahnya. Yap! Terlihat, masker jenis clay menempel sempurna dengan timun segar menutupi area matanya. Tidak lupa, salah satu earphone Vira menyangkut di telinga bagian kirinya.

“Haaah~” Desah Asha menikmati sore hari nan damai ini. Sangat jarang siswa penghuni SMA Impian atau kerap kali disapa Dreams memperbolehkan siswanya untuk berlibur atau sekedar membolos. Sekolah dengan kedisiplinan tingkat tinggi, hanya menyisipkan hari Sabtu dan Minggu untuk benar-benar tidur nyenyak dirumah. Maka dari itu, Asha seperti mendapatkan angin segar ketika melihat warna merah pada angka kalender. Berkat itu, Asha tidak perlu repot-repot mempelajari materi presentasi tentang anatomi tubuh manusia.

Berbeda dari mereka berdua, Leya mendengus kesal menatap ponsel pintarnya. lalu berjerit menggigit bantal, membuat dua orang yang tengah menikmati aktivitas itu terdiam, lalu menoleh heran.

“Lhoe khenhepa?” Tanya Asha yang bersuara sedikit aneh dikarenakan masker yang mulai mengering.

“Aneh.” Vira mengikuti. Leya memcebikkan bibirnya, lalu memeluk Vira.

“Si Firhan, Ra.” Adunya dengan mata berkaca-kaca.

“Kenapa?”

“Si Firhan ga nge-chat gue dari tadi.”

“Najis!” Asha mengumpat, sedangkan Vira spontan menabok kepala Leya dengan buku.

“Gausah lebbay!” Sambar Vira. “Bukan pacar jugaan.” Bola matanya digerakan keatas, memberikan ekspresi jengah.

“Baru gebetan. Terus lo mau apa? Mau apa kalo Firhan ga nge-chat lo?” Ujar Asha, memojokkan posisi Leya yang masih setia memeluk tubuh Vira.

Leya hening sesaat. Benar juga, tapi kan tetap saja sedih. Dear para jomblo. Apa kalian tidak galau jika your beauty gebetan ga nge-chat seharian? Pasti ada rasa ‘Ah dianya udah bosen’ ‘kan?

“Ga mau apa-apa juga sih. Tapi…” Leya menghela nafas. “Sesibuk apa sih dia ya? Kayaknya sekarang ga aja jadwalnya latihan basket.”

“Latihan bela diri?” Tanya Asha.

Leya menggelengkan kepalanya. Berpikir sejenak. “Apa mungkin karna temen pindahannya ya?”

“Pindahan? maksud lo?” Asha mengernyit tidak mengerti.

“Itu lho! Yang di gosipin tadi sama anak-anak bangku belakang. Katanya dia pindahan dari Belgia.” Leya menerangkan dengan raut menggebu-gebu. “Ganteng lagi, katanya.”

“Katanya.” Beo Asha dengan kalimat sindiran.  

“Yeee… lo masih ragu sama kemampuan intelejen para ciwi-ciwi narsis Dreams?” Kata Leya sangsi.

Dreams adalah nama keren dari SMA Harapan. Dreams memang popular dengan kecerdasan dan kebeningan siswa-siswi di sana. Termasuk juga Vira, Asha, dan Leya, yang tanpa mereka ketahui menjadi salah satu cewek incaran para laki-laki sekolah lain.

Vira terdiam, berusaha mengingat-ingat. Siswa pindahan dari Belgia. Apa yang dimaksud Leya adalah…

“Yang kita bantu tadi ga?” katanya tertuju pada Asha.

“Yang mana?”

“Yang di parkiran.” Ucapan Vira sontak membuat Asha kembali mengingat kejadian di parkiran itu. Pupil matanya seketika melebar setelah menyadari hal tersebut.

“Ooh! Iyaa! Cowok itu! Ganteng banget kok, Ley,” Asha menjeda. “Kalo itu emang uwis! Gabisa diapa-apain wajah blasterannya.” Asha membuka maskernya, membuang ke tong sampah, dan beranjak mengambil beberapa set perawatan wajah.

Leya mengernyit bingung. “Kok gue gatau? Parkiran apa?”

“Waktu itu lo kesiangan bangun, jadinya gue sama Vira duluan ke sekolah.” Asha menepuk nepuk air mawar untuk melembabkan wajahnya.

“Lo tau namanya?”

“Enggak.” Kini giliran Vira yang menyahut. “Dia belum punya name tag lepas.”

Di sekolahnya, Dreams mengharuskan siswa-siswi untuk mempunyai pengenal nama lepas. Itu lebih memudahkan siswa-siswi yang tidak perlu repot untuk menjahit nama di baju jika baju tidak layak pakai lagi, atau alasan sebagainya. Name tag murid Dreams sangat mudah dikenali karena berwarna hitam dengan tulisan putih.

Leya mengangguk, iya juga sih, laki-laki itu kan orang baru, mungkin belum mendapatkan atribut lengkap.

 Bangun dari tidur, Leya mencerca. “Tapi tetep aja si Firhan salah! Katanya PDKT kok malah dianggurin sih.”

“Banyak bacot lo! Emang dia doang apa cowok di Dreams? Cowok Dreams itu rata-rata ganteng semua. Tinggal pilih kalo wajah mumpuni.” Kata Asha.

“Tapi dia cowok yang gue suka.”

“Yaudah, kalo lo suka, ya sabar.” Asha mulai sesi ceramahnya. “Kalo lo mau dingertiin, ya ngertiin balik. Jangan cuman mau di chat, tapi chat balik dong. Maunya dideketin, tapi masih jual mahal.”

“Ih! Lo jahat, Sha.” Kata Leya. “Kan cewek itu kodratnya di kejar, bukan ngejar. Di biologi kan udah ada penjelasannya. Sperma yang nyari indung telur, bukan indung telur yang nyari sperma! Lagipula kalo dia jodoh gue, ga bakal kemana-mana lah.”

“Jodoh emang ga kemana. Tapi tikungan dimana-mana.”

“Sial!”

 

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana?

S(t)ick with U

UNTUK SIA