Hello [PROLOG]
Jumat, 22 Januari 2021
Anaphalis_javanica
Suara bunyi bel sekolah berdering
nyaring, menggema di seantero sekolah. Seakan sebagai peringatan istirahat
untuk tiga jam mata pelajaran yang sangat melelahkan. Para siswa berhamburan
keluar dari kelas, setelah guru mengakhiri pelajarannya. Hujan yang tidak
berkesudahan di luar sekolah, membuat gerak gerik para siswa-siswi menjadi
terbatas. Namun, yang namanya siswa SMA, akan ada percikan kenakalan di setiap
waktunya. Seperti contohnya, gerombolan siswa laki-laki yang hujan-hujanan bermain
bola basket di lapangan.
Aku melihat semua waktu yang
bergulir dengan tenang dan nyaman. Duduk di pojokan yang langsung bisa melihat
aktifitas di bawah dengan mudah lewat jendela besar. Hujan membawa bau tanah
yang menguar hingga memenuhi indra penciumanku, walaupun, tempat kelasku berada
di lantai dua, namun tetap saja, angin membawanya menuju tempat yang lebih
tinggi.
Pandanganku terfokus pada gerombolan
laki-laki berbaju basket di lapangan itu. rasa lepas mereka, entah kenapa
seperti aku merasakan juga. Mereka memukau, dengan santai menentang peraturan
sekolah, walau mereka tau akan dihukum nantinya. Dan dalam diam, aku tersenyum.
“Kamu liatin siapa?”
Suara serak basah yang bass
membuyarkan lamunanku. Tanpa menolehpun, aku tau siapa yang kini telah
mendudukkan bokongnya di bangku kosong di sebelahku.
“Liatin hujan.” Kataku ringan,
menjawab pertanyaanya.
Laki-laki itu tidak bertanya
lagi. kepalanya menunduk, dan tangannya mulai menggeser dan bermain-main di
benda pipih yang tidak bisa lepas dari genggamannya.
Laki-laki itu bernama lengkap Veo
Wandera, atau sering kupanggil Veo. Laki-laki berwajah kuning langsat bersih, dengan
tinggi badan yang mungkin tiga puluh sentimeter lebih panjang dari tinggi
badanku. Dua matanya terbingkai kacamata baca yang selalu ia gunakan, dan akan
ia lepaskan hanya jika ia berada di dalam air, atau saat aku menyuruhnya untuk
membuka.
Entah mengapa, laki-laki seperti Veo,
yang tergolong laki-laki idaman di sekolahku, memilihku sebagai pasangannya. Aku,
yang tidak pernah melirik laki-laki sama sekali, dan selalu fokus pada sketsa gambar
yang entah berapa jumlahnya sekarang.
Sambil mataku tetap mengamati
hujan yang kian menderas, aku bernostalgia.
Kami berpacaran dua tahun lamanya,
dan jalan tiga tahun di masa terakhir SMA ini. Veo adalah laki-laki yang dingin
dan tidak banyak bicara. Ia akan berbicara jika memang ia butuh bicara, dan
jika dikiranya tidak, ia akan tetap diam membisu.
Veo mengenalku saat kami berdua
tidak sengaja satu tempat duduk di perpustakaan. Aku tidak tau apakah itu benar
atau salah, karena saat itu, aku tidak terlalu peduli siapa yang duduk di
hadapanku, aku terus menggoreskan pensil di buku sketsaku, dengan earphone yang
menyumpal telingaku sepenuhnya.
Dan setelah itu, Veo sering tanpa
sengaja atau memang sudah direncanakannya, selalu ada di sekitarku, sedikit
berbincang hingga ia membuatku nyaman. Mengejutkannya, tidak lama setelah itu,
Veo berterus terang bahwa ia menyukaiku. Hingga kami terlibat hubungan asmara
sampai saat ini.
“Re,…” panggil Veo. Ia meletakkan
ponselnya di atas meja, mungkin bosan dengan permainan mencocokkan gambar yang menjadi
kesibukkan di waktu luangnya.
“Hmm?”
“Nanti kamu ada kursus renang.” Kata
Veo sambil tersenyum kecil.
“Bukannya hari sabtu?”
“Coach Alan gabisa hari sabtu,
ada acara di keluarganya.” Veo menjelaskan, ia mengambil buku sketsa milikku,
melihat-lihat sketsa usang yang masih kusimpan. Banyak gambaran, tapi semua itu
lebih banyak tumbuhan, aktifitas sekolah, atau Gedung yang ada di dalam
imajinasiku.
“Kamu ikut?” tanyaku pada Veo.
“Aku cuman bisa nganter kamu, ada
rapat akhir organisasi. Mungkin sampe malem.” Terang Veo. Wajahnya tidak
terlalu banyak mengeluarkan ekspresi. Namun, aku sangat menyadari, bahwa di
balik kacamata yang membingkai, ada tatapan sayu yang menjelaskan bahwa ia
lelah dengan aktivitas yang terkadang terlalu banyak ia lakukan. Veo adalah ketua OSIS, dan saat ini ia sedang
sibuk dengan pergantian kepengurusan. Bukan hanya ketua OSIS, laki-laki yang
kini telah menyandarkan kepalanya di meja, adalah ketua Pengurus Paskibraka,
dan banyak hal yang menurutku terlalu berat untuk ia lakukan setiap saatnya.
Tanganku spontan mengelus surai lembut
rambut hitam legamnnya.
“Mulai jam berapa?” tanyaku.
“Jam tiga sore.” Ucapnya.
“Kamu udah makan?”
Ia menggeleng sebagai jawaban.
“Inget makan, jangan sampe maag
kamu kambuh lagi.” kataku mengingatkan.
Ia hanya diam, tidak mengiyakan,
tidak juga menolak. Kami tidak banyak berbicara, dan memang seperti itu setiap
harinya.
Suara pengumuman terdengar di
setiap sounds di masing-masing kelas. Pengumuman yang menyatakan bahwa seluruh
guru akan mengadakan rapat dadakan, terkait dengan sistem administrasi dan launching
aplikasi terbaru untuk memberi tahu berita update sekolah.
Sorak sorai terdengar keras.
Bahkan di lapangan sana, mereka bermain semakin semangat, dan hujan entah
kenapa, seperti merestui masa-masa akhir SMA kami yang akan banyak kenangan
nantinya.
“Aku tidur, kamu jangan
kemana-mana.” Ujar Veo lirih, tangannya mengambil tangan kananku, dan
meletakkannya di kepalanya.
“Diem di sini, Re.” lanjutnya,
sebelum matanya tertutup dengan damai.
Aku berdeham, mengiyakan
pernyataannya. Ia laki-laki yang sulit di tebak. Pergerakannya terkadang
membuatku terkejut, dan merasa kesal, namun aku tidak pernah menolak. Mungkin akan
seperti itu setiap saatnya.
Tidak sedikit siswa-siswi atau
bahkan adik kelas yang bertanya-tanya tentang hubungan kami. Veo jarang sekali
terlihat tertawa, atau bercanda bersamaku. Di depan banyak orang, ia lebih
banyak diam, atau sekedar bertanya hal yang penting.
Setiap melihat matanya, aku tau
bahwa ia tidak seperti mereka bicarakan di luar. Veo bukanlah laki-laki kutub
dengan kata-kata pedas di setiap kalimatnya. Untuk saat ini, aku bisa
memastikannya.
Mengambil pensil, aku membuka
lembaran kosong di buku sketsa. Menggores tipis bentuk objek yang ingin
kugambar.
Rambutku yang panjang dan
bergelombang, kuikat setengah. Angin sejuk menerpa wajahku. Seperti membawa
nyanyian dalam bentuk lain.
Dan tanpa kusadari, di bawah
sana, di lapangan basket yang telah basah karena hujan, seseorang mengamatiku,
dengan satu tangan menggenggam bola basketnya dengan tersenyum manis menghadap
jendela.
Comments
Post a Comment