Cloudy [Prolog]
Malam dengan tirai air yang tak
surut untuk berhenti, aroma tanah alami menenggelamkan pikiran dari hiruk pikuk
duniawi yang tak pernah untuk diam sebentar saja. Memangdang sejenak kota yang
tak pernah mati, terdapat pula insan terlarut dalam bunga tidur, berlatar
guratan kisah memorable.
Namun, Alvin adalah salah satu orang
yang masuk ke kriteria 'penikmati malam'. Bukan, bukan penikmat yang memang
benar-benar mencintai malam, tapi ini terpaksa ia lakukan. Terbenam bersama
tumpukan kertas formulir yang berserakan memenuhi meja, Café itulah yang
menjadi temannya. Café dengan lambang dua puluh empat jam, sudah dihuni Alvin
semenjak senja menjelang. Ingin sekali Alvin meluncur ke tempat tidur,
lalu terlelap berbalut selimut tebal.
Tapi, sialnya data-data itu harus
terkumpul besok sebagai dokumen pindah sekolahnya. Dan jika tidak, siap-siap
untuk menjadi siswa putus sekolah.
Alvin menghela nafas, masih menulis
di kolom kotak yang tersedia. Nama, tanggal lahir, umur dan hal lain yang
lumrah diketahui. Goresan-goresan pulpen yang terus ia tera disana,
mengabaikan tangannya yang sudah kelu dan kesemutan.
Selang beberapa saat, terdengar nada
dering dari ponselnya.
Reno is Calling. Begitu pesan pemberitahuan yang tertera. Menekan tombol
hijau bersimbol accept, Alvin memindahkan benda pipih itu ke
dekat telinganya.
"Yosh!
Kenapa?." Sapa Alvin.
"Lama-lama lo jadi makhluk
nokturnal juga." Sindiran Reno, teman Alvin
dari seberang sana. Reno adalah teman Alvin sejak sekolah dasar dan salah
satu sahabat baik Alvin sampai sekarang.
"Ga nyadar diri." Sambut
Alvin.
"Gue nokturnal karna hal
PENTING, ga kayak lo." kata
Reno dengan menekankan kata penting. Ia berdecak sejenak, sebelum kembali
berbicara. “Lo nyari kerjaan banget. Balik ke sini, padahal tinggal setahun
juga lo udah jadi anak kuliahan. Buat apaan. Demen bener lo ngabisin uang.”
Bola mata Alvin berputar seketika
mendengar celoteh Reno. “Kata siapa gue ngabisin uang? Nih denger, gue dapet
beasiswa full dari pemerintah, otak gue itu aset berharga negara, dan
paras gue itu peninggalan yang bener-bener langka.”
“Terserah lo dah. Btw, gue sama
Lian udah ngirim data diri lo ke bidang administrasi sekolah. Jadi lo besok
bisa langsung sekolah. Baju juga udah dikirim Firhan ke apartemen lo tadi sore.
Tugas lo besok tinggal nyerahin dokumen yang sekarang lo buat, sama persiapan
tes penempatan kelas.” Jelas Reno.
Dahi Alvin mengernyit tanpa ia
sadari, ia sedikit aneh dengan tes penempatan yang dikatakan Reno, walau
sebenarnya ia sudah mengetahui sedikit tentang tes tersebut.
“Ngapain pakek tes penempatan?”
“Supaya sekolah tau, beasiswa lo
itu backway atau emang bener.”
“Sialan lo!” diseberang sana, Reno
tertawa karena berhasil mengolok-ngolok temannya. Dan ketika Alvin ingin
membalas lelucon Reno, sambungan itu sudah terputus lebih dulu. Meninggalkan
Alvin dengan perasaan dongkolnya. Entah
bagaimana cara Reno dilahirkan, Alvin pikir, Reno tidak bisa disebut manusia
normal. Sangat tidak bisa.
Alvin meletakkan ponselnya di meja,
kembali larut dalam kesibukkannya.
Satu jam berjalan dan kini telah
menunjukkan pukul 00.45 dini hari, dan saat itulah, berkas yang tadinya
berserakan di meja sudah tak ada lagi. Tentu karena Alvin sudah merapikan dan
memasukkannya ke dalam tas.
Alvin mengedipkan matanya pelan,
otaknya sudah sangat Lelah, begitupun tubuhnya. Penerbangan selama belasan
jam, pengisian formulir, Alvin bahkan belum sempat berpikir apa mata pelajaran
yang akan dihadapi besok.
Pandangannya kini teralih menuju
luar tempat itu, melihat masih ada buliran-buliran tipis yang menggenangi
jalanan lenggang. Sejenak Alvin menikmati kesunyian Cafe yang ia tempati
sekarang. Menyusuri pandangan, masih ada beberapa pengunjung yang tersisa
sedikit, entah itu yang sekedar menanti fajar, atau menyelesaikan skripsi tulisan
untuk kelulusan.
Ditemani alunan Musik berjudul Little
Do You Know yang dipopulerkan oleh Alex & Sierra, Alvin berusaha
menyanyikan lagu yang familiar baginya. "Little do you know I, need a
little more time" bait demi bait Alvin nyanyikan seraya bergegas
pergi dari Cafe itu, Ia menyampirkan tas di bahu kanan, mulai melangkah
meninggalkan meja yang tadi di tempati.
Namun, baru saja ingin melangkah. Gerakannya telah terhenti
ketika lonceng pintu Cafe berdering yang menandakan ada pelanggan datang. Alvin
menoleh heran, diluar hujan, dan ini sudah terlalu larut untuk keluar. Menoleh
ke siapa yang membuka pintu, bersamaan dengan itu, Alvin terpaku sejenak pada
dia. Gadis bersuarai hitam dengan piyama Putih bermotif boneka berwarna
pink. Gadis dengan pandangan rapuh, seakan hari esok tak akan ia lihat
kembali.
Sejenak, ada rasa
penasaran dalam benaknya. Memutuskan untuk duduk diam, Alvin mengamati gadis
yang membelakanginya. Surai rambut itu menjuntai sampai punggung, hitam legam
dan tampak terawat. Terus -terusan menatap jalanan lenggang yang terbasahi
hujan dengan pandangan mata sayu dan rapuh.
Beberapa menit
berlalu, seorang pelayan Café perempuan menghampirinya, bertanya pesanan,
kemudian pergi lagi. Gadis itu hanya menunjuk salah satu menu yang tertera,
tanpa bersuara, hanya tersenyum sopan. Hal itu membuat rasa ingin tahu Alvin
lebih dalam. Melupakan keinginannya untuk berpelukan mesra dengan Kasur
tersayang.
Berjalan teratur, pelayan café itu
memberikan segelas minuman pada gadis yang berperawakan ideal. Ya, itu adalah
minuman yang sering dinamakan orang dengan ‘float’. Berwarna biru gelap
dengan gradasi coklat dan eskrim vanilla di atasnya.
“Ga dingin apa, minum begituan
malem-malem?” cerca
Alvin tak bersuara.
Setelah segelas float itu
berdiri cantik di atas meja, pantauan lirih kembali dilayangkan ke pemandangan
samping yang hanya terbatas oleh kaca café berpernik lampu tumbler berwarna
kuning putih.
Lamat, Alvin terus terdiam, memandang
punggung kecil di hadapannya. Entah tahu dari mana, namun Alvin yakin gadis itu
tidak dalam mode ‘baik-baik saja’. Ada masalah yang menghinggapinya. dan
Alvin sangat percaya akan hal itu.
Beberapa detik, akhirnya gadis itu
menundukan kepala, menangkup wajah dengan kedua tangan. Lalu terdengar isakan
pelan.
“Gini-gini sih gue merinding juga
denger cewek nangis” Batin
Alvin bergidik.
Mengernyit pelan, Alvin terus menatap
punggung gadis yang berguncang pelan itu. Diarahkannya pandangan pada jam yang
melingkari tangannya. Pukul 01.20 Dini Hari dan Alvin harus segera pulang. Tapi
ada rasa tak tega meninggalkan gadis yang tengah menangis itu.
Sejak kapan Ia peduli pada orang
asing? Alvin merasa ada yang aneh pada dirinya sendiri. Laki-laki cuek nan
arogan itu peduli pada gadis yang menangis ? Alvin menggelengkan kepalanya,
menghela nafas lalu bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu Kafe.
Pada saat langkah keempat memijak,
tubuh laki-laki itu berhenti di meja orang yang dari tadi diamatinya. Aneh
rasanya jika Alvin menyadarkan diri bahwa kini, tangannya mengulurkan sapu
tangan pemberian neneknya yang sangat berharga pada perempuan yang sama sekali
tidak dikenalnya.
“Boleh nangis.” Alvin berdeham pelan.
“Tapi gasaeharusnya lo larut larut terus, balik ke rumah, mendingan tidur aja.”
Ujar Alvin, menaruh sapu tangan rajutan dihadapan gadis itu. “Nih, gue kasih.
Siapa tau kita ketemu lagi.”
Sejenak, gadis itu berhenti menangis,
merapikan rambutnya, tapi masih belum berani untuk sekedar menengok.
"Gue gasuka cewek cengeng, jadi
berhenti nangis.” Mengakhiri ucapan, Alvin bergegas pergi. Meninggalkan gadis
yang mematung karena perkataan Alvin tadi.
Menoleh pelan, gadis itu melihat sapu tangan rajutan berwarna creamy
pastel.
Terukir senyum tipis, namun manis.
"Thanks" kata kata itu terjun bebas dari mulutnya, yang
sayangnya pemilik barang itu tidak tau. Ia sudah meluncur dengan mobilnya
menerobos hujan menuju kerumah.
Gadis dengan wajah blasteran Jepang
mengangguk pelan, melihat ukiran nama yang terjahit di pojok atas.
~Alvino Keynand Bramasta.
“Nice to meet you,
Al.”
Comments
Post a Comment