Your Harmony
Rabu, 3 Maret 2021 [01.21 wita] hujan, Singaraja. @akarism
Suara
rintik hujan jatuh di atap seng, masih terdengar jelas dan nyaring. Langit
kelabu dari segala penjuru. Pohon-pohon sesekali bergoyang karena tertiup
angin. Aroma tanah menguar di sela-sela himpitan bangunan. Masih senja, namun
terlihat seperti malam sudah tidak sabar menyelimuti kota.
Di sebuah
sekolah, tepatnya di balkon ruang ekstra, terlihat seorang gadis berambut hitam
legam yang di potong pendek seleher. Namanya Inata, Inata Tiofani. Gadis dengan
wajah oriental, berwarna kulit kuning langsat bersih, sedang menatap seantero
sekolah yang lenggang.
Susu
kotak UHT varian coklat tergenggam di tangannya. Sesekali ia menyeruput sambil
tetap memandang random ke pojok-pojok sekolah. Masih pukul lima sore. Dan
beberapa kegiatan ekstrakurikuler tetap berjalan seperti biasa tanpa takut
kendala hujan. Tim basket yang masih terdengar sorak-sorainya, teater yang
sedang berlatih suara, klub debat bahasa inggris yang sedang mempelajari aksen
baru, perkumpulan sastra yang sedang unboxing novel-novel keluaran terbaru
dari sekolah, dan terakhir yaitu ekstra musik, yang ruangannya sendiri berada
persis di belakang Inata berdiri saat ini.
Hujan
kian menderas, dan tak ada tanda-tanda berhenti. Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan, selagi hujan masih tetap hujan tanpa harus disertai petir dan
guntur. Perkiraan cuaca terkini memberitakan suhu yang turun mencapai belasan
derajat selsius. Dan Inata tetap pada posisinya, menyeruput susu UHT sampai
terdengar suara ujung-ujung kotak susu yang di sedot paksa. Tidak cukup sampai
di sana, gadis itu juga masih sempat menggoyang-goyangkan kotak susu yang sudah
kosong itu, sampai ia benar-benar yakin bahwa itu telah habis.
Menghembuskan
nafas yang terasa berat, Inata berbalik badan, membuka pintu ruang musik. Dipojok
ruangan, terlihat laki-laki yang sedang duduk memangku gitarnya.
“Masih
hujan?” suara berat yang terdengar seksi itu keluar memenuhi segala molekul di
ruangan tersebut. wajah dan tinggi yang proposional bagi seorang laki-laki
remaja, rambut yang dipangkas pendek namun terlihat maskulin. Perkenalkan, Raga
adalah nama laki-laki itu. Anggota tetap sekaligus ketua dari klub musik di
sekolah ini.
“Masih,
makin deras.” Kata Inata.
Raga
hanya berdeham tidak jelas sebagai respon. Maklum, ruangan musik merupakan
ruangan yang di desain kedap suara, dan salah satu ruangan elit yang ada di
sekolah ini.
“Gimana
sama anak-anak lain?” Raga kembali bersuara. Ia melihat Inata yang masih sibuk
mengorek-ngorek tasnya, mencari sesuatu yang selalu ia bawa.
Seakan
tau tabiat dari gadis itu, Raga dengan suara yang kalem dan datar, kembali
menyela.
“Lo udah
habisin semua.”
“Gue bawa
lima.”
“Gue
minta satu tadi.” Jawaban terakhir Raga, membuat Inata terdiam, menatap tajam
ke arah pojok.
“Lha, lo
kok gabilang-bilang?”
“Susunya
nganggur di meja, jadi gue ambil aja.” Kata Raga mengedikkan bahu.
Inata
menarik nafas. Salahnya juga, menaruh susu kotak sembarangan. Raga adalah
penggemeran susu coklat addicted setelah dirinya. Ya maklum, ikhlaskan
saja.
“Anak-anak
lain ga dateng, hujan.” Katanya, berjalan, lalu duduk di kursi pemain keyboard.
“Lo ngapain rajin banget dateng? Biasanya juga tidur di rumah.” Inata
menyambung.
Tanpa
menoleh, dengan jari yang masih mencoba nada-nada baru, Raga menjawab santai.
“Kapan gue pernah males?”
“Kapan
sih lo pernah salah.” Kata Inata sedikit kesal sebagai jawaban.
Sudut
bibir Raga tertarik lembut, memperlihatkan lesung pipi yang kalau kata banyak
orang, manis. Matanya beralih dari gitar ke Inata yang sedang asik bermain
dengan ponselnya.
“Sampaikah
kepadamu, kata-kata yang kurangkaikan.
Agar kau
tau, perasaanku, yang telah lama terpendam. Inilah yang kurasakan.” Bait nada dinyanyikan olehnya.
Suara Raga memang membius. Sampai guru musik yang terkenal killer bisa
tersenyum jika Raga bernyanyi.
“Jangan
hanya bicara, Ku tak perlu kata-kata, tuk mengerti yang kau rasakan.” Nada
gitar dan permainan melodi yang sedikit di gubah olehnya, mempunyai kesan unik
tersendiri.
Inata
mendengar semua nyanyian temannya itu. Ia juga tidak dapat memungkiri bahwa
Raga memang aset sekolah yang berharga. Dari suara sampai kelihaiannya
memainkan semua alat musik, mampu membuat semuanya bertepuk tangan. Namun,
Inata gengsi walau hanya sekedar mengatakan atau menyatakan bahwa suara yang
dimiliki Raga memang bagus.
Mereka
berteman sudah cukup lama. Dimulai dari saat masih menginjak bangku menengah
pertama, sampai sekarang ada di jenjang terakhir menengah akhir. Banyak yang
menyangka mereka berpacaran, karena setiap Raga bermain musik atau manggung di
beberapa kafe, di sana pasti ada Inata. Ataupun sebaliknya.
Pertemanan
mereka juga tidak bisa dikatakan seperti sahabat. Hanya pertemanan yang
disebabkan oleh satu tujuan atau suatu aktivitas yang mengharuskan mereka
bersama. Tapi memang terkadang, Raga akan menunjuk Inata untuk ikut kemanapun
ia pergi. Seperti saat Raga mendapatkan undangan kolaborasi dengan band ternama
di ibukota, dan membutuhkan pendamping, maka Inata akan mendampinginya. Seperti
sudah terprogram seperti itu.
Walau
banyak yang bertanya tentang kedekatan mereka, namun tidak banyak atau mungkin
tidak pernah ada yang bertanya langsung ke salah satu dari mereka. Mungkin
karena Raga yang terlalu pasif untuk sekedar berbicara, atau Inata yang
mempunyai pandangan tajam yang membuatnya terkesan cuek.
“Lo mau
lanjut di mana, Ga?” tanya Inata saat Raga telah menyelesaikan lagunya.
“Maksud
lo?”
“Kuliah”
Raga
terdiam beberapa detik, ekspresinya sulit diartikan saat ia menatap Inata.
“Gatau, belum kepikiran. Lo sendiri?”
“Sama”
“Jadi
pengangguran aja.” Kata Raga sangklek. “Enak.”
“Lo aja,
gue ga.”
Raga
kembali menarik dua sudut bibirnya, tersenyum seadanya mendengar jawaban ketus
Inata.
“Tumben
lo nanya gitu, kenapa? Lo hilang tujuan?” tanya Raga seakan memancing Inata
untuk berbicara.
“Iya.” Jawab
Inata polos.
Tangannya
mulai bermain di tuts-tuts dengan lihat. Lantunan nada dari Ardhito Pramono terdengar
indah menggema di ruangan itu. Hujan di luar masih turun deras, dan matahari
telah sepenuhnya kembali terlelap.
“Come here,
I just found a new recipe
The flower,
the bricks and the sea
My intuition
says you will like me
And I don’t
know where should I be”
Seperti
tersengat sesuatu, dengan mata tertutup, pikiran bawah sadar gadis itu seakan
mendesaknya untuk mengingat sesuatu. Ya, pertemuan pertamanya dengan Raga.
Di sebuah
festival musik sebuah kampus yang letaknya tak jauh dari sini. Pertama kali
Inata melihat Raga, saat gitarnya dengan gitar laki-laki itu tertukar. Inata
yang salah, ia mengambil gitar tanpa melihat dengan jelas warna gitar tersebut.
Raga menghampirinya, tanpa senyum, mengatakan jelas bahwa itu gitarnya.
Terdapat sedikit
cekcok, hingga Inata menyadari bahwa gitar yang ia pegang memang bukan
miliknya. Dengan rasa lelah, ia mengembalikan gitar tersebut pada Raga. Namun,
jawaban yang Raga berikut sungguh tidak masuk akal.
“Lo aja yang
bawa pulang. Gue bawa gitar lo. later, when we meet again, we will return our
own property”
Saat itu,
Inata tidak tau bahwa ia dan Raga bersekolah di sekolah menengah atas yang
sama. Pertemuan kedua mereka, adalah pertemuan yang berkesan untuk Inata. Tepat
di ruangan sound system, mereka kembali bertemu. Rasa terkejut menguasai
pikiran Inata, namun tidak dengan Raga. Bahkan, wajahnya terlalu datar hanya
untuk sekedar merasa kaget.
“Nice to
meet you, Inata.” Kata Raga saat itu, dengan tangan kanan yang
terulur untuk menjabat tangan Inata. Karena pertemuan yang tidak disengaja, dan
guru musik yang mengetahui bakat spesial dari kedua insan tersebut, tanpa
aba-aba, ia langsung menjadikan Raga sebagai ketua, dengan Inata yang secara
tidak langsung selalu ada di setiap tempat yang Raga pijaki.
“Lo
menghayal apalagi?” tanya Raga. Hujan sudah reda, dan mereka sedang berjalan
menuju tempat parkiran. Inata menengok ke kanan, melihat Raga dengan telinga
yang tersumpal earphone putih kesayangannya.
Jam sudah
menunjukan pukul delapan malam, dengan remang lampu taman, sekolah saat itu
terlihat sangat cantik. Riuh dari ruang teater masih menggema hingga halaman,
dan klub lari baru saja sampai setelah mengambil program long run.
“Besok
kita diundang di acara launching café, jam 10 pagi. Gue udah minta surat
dispen dari OSIS. Pakaian lo harus putih polos.” Terang Inata, mengecek jadwal
di ponselnya.
Kaki mereka
berjalan lambat beriringan. Raga membenarkan letak gitar yang ia selempangkan
di punggung. Menghela nafas ringan, lalu menunduk. Memandang sepatu kets warna biru
dongker yang ia kenakan.
“Gue ma-“
“Gue ga
nerima penolakan. Lo harus pakek baju putih.” Kata Inata, seakan tau tabiat
Raga yang sangat membenci memakai baju putih.
“Well,
let just see.” Kata Raga. Kepalanya ia dongakkan, menatap langit yang masih
terselimuti awan tebal.
“Someone
ask me a question, yesterday.” Raga menelan ludahnya. Suasana sunyi, angin
menggelincir sejuk di sela-sela ruang diantara mereka. Hening yang nyaman. “They
said, something about me and you. Are we dating?”
Dengan sudut
matanya, membaca gestur tubuh Inata yang sedikit menegang, namun kembali rileks
tidak sampai dua detik.
Raga terkekeh
manis. “Haah….” Katanya sedikit keras. Tangannya ia rentangkan ke udara, lalu
menyatu di belakang kepalanya.
“Gimana
menurut lo?” tanya Raga.
“They
just don’t know about us.” Inata membuang pandangan ke sembarang arah. Ada sesuatu
yang salah dengan detak jantungnya. Dan ia tidak mengerti bagaimana caranya agar
itu kembali normal.
Bahkan,
detak jantungnya semakin menjadi-jadi saat Raga tanpa ijin menggosok pucuk
kepala Inata dengan lembut.
“What
happen with you?” dengan suara renyah yang jarang orang tau.
“Nothing”
Inata menghela nafas.
“We
are something, Na. We are not nothing. You just don’t realize it.” Raga merangkul
Inata yang tingginya jauh lebih pendek darinya. Ia sedikit bermain dengan surai
rambut Inata yang tak pernah dibiarkan sekali saja panjang.
“Gue
perlu singgah ke minimarket. Lo dianter sama mama lo ‘kan?”
“Hmmm…”
“Gue
anterin lo pulang sekalian.”
“Jauh,
gue gamau hujanan lagi.” tolak Inata.
Kaki mereka
masih berpijak. Seperti menikmati momen berdua yang jarang mereka rasakan.
“Siapa
bilang? Gue bawa mobil.” Raga memamerkan kunci mobil persis di depan wajah
Inata.
“Gue
gabilang, gue mau.” Kata Inata yang saat ini tangannya telah digenggam oleh
Raga. Dengan langkah lebarnya, Raga menyeret Inata.
“Lo tadi
bilang ‘gue mau’” celetuk Raga. “Lagian juga lo gabilang, kalo lo gamau ‘kan?”
Comments
Post a Comment