Struggling
WARNING ! this story is one part of a true story. I just want to share what teenagers usually go through. Sorry if I make a mistake when I write all the story on my blog. And thank you for coming and reading. Love for me to you. 💌
Desir angin
pantai pada senja kali ini, mampu membuat kelopak mata Jill Vaire enggan untuk terbuka.
Gadis itu tetap diam, duduk di tebing, berhadapan dengan samudra lepas di depannya.
Aroma lembut jagung bakar, dan alunan akustik dari kedai seberang jalan seperti
hanya pemeran pembantu.
Nafasnya teratur,
berusaha untuk menghalau semua pikiran yang berkecamuk ria di pikirannya. Bibirnya
beberapa kali bergerak-gerak kecil seperti menggumamkan sesuatu, dengan mata yang
masih tertutup rapat. Keringat yang beberapa menit lalu masih bersarang di setelan olahraga hitamnya, kini telah hilang separuh. Beberapa anak surai dari rambut
legamnya bergerak bebas mengikuti arah mata angin.
Matahari semakin
tenggelam dalam cakrawala, mungkin beberapa menit lagi, rona merah jingga
menghilang, tergantikan dengan ungu biru berubah hitam. dan Jill akan tetap
pada tempatnya sampai langit terhiasi bintang malam.
“Sampai
kapan kau akan di sana, Jill?” teriak seseorang memanggil namanya, mengintrupsi
Jill.
Gadis itu
tertegun, membuka matanya pelan. Melihat laki-laki yang kini sedang berusaha
memarkirkan sepedanya di sebelah sepeda Jill. Nafas laki-laki itu terdengar
tidak berirama, keringat membanjiri wajah putih bersihnya.
Jill
tidak menyangka bahwa dirinya akan ditemukan oleh laki-laki itu. Dan selalu
begitu. Padahal, ia sudah memilih tempat yang jauh dari jangkauan.
Dengan langkah
tersedat-sedat, ia menghampiri Jill yang masih diam mematung melihat laki-laki
itu.
“Kenapa
kau belum pulang? Ini sudah mulai malam, Jill.” Hanvi, laki-laki berbaju hitam
bergambah peach! menatap Jill sendu dengan kedua bola mata berwarna
coklat madunya. Han masih berusaha untuk menetralkan nafasnya, mengambil tempat
di samping Jill. Duduk, melentangkan kakinya ke bawah.
“Apa kau
sudah selesai dengan urusan perlombaanmu?” Jill balik bertanya. Malas jika
harus menjawab pertanyaan Han.
Han menoleh,
menatap Jill yang masih setia dengan sikap silanya, memandang ke depan sana,
melihat detik-detik matahari yang tenggelam. Han tau gadis itu belum menjawab
pertanyaan dan lebih memilih mengalihkan pembicaraannya, dan ia memilih untuk
membiarkan saja.
“Kau tau
bagaimana guru di sekolah kita, mereka terus memaksa padahal masih banyak
kandidat lain yang ingin mengikuti ajang perlombaan itu.” Han berdecak acuh tak
acuh.
“Tapi kau
yang paling meyakinkan, Han. Kau sudah sejak kecil terlatih berteman dengan air,
jadi berenang sepanjang seratus meter, kurasa itu bukan sesuatu yang besar.”
komentar Jill.
“Aku
hanya tidak ingin mengambil semuanya, Jill.”
“Kau
tidak mengambil, mereka yang mempercayaimu.”
“Dan aku
malas menjadi seperti yang mereka inginkan.” Han menghela nafas. “Lalu bagaimana
dengamu?”
“Ada apa
denganku?” Tanya Jill balik, menatap Han dengan secarik senyum kecil.
“Banyak
hal terjadi denganmu.” Sambar Han. Sembari mengusap peluh, ia melanjutkan kata-katanya.
“Sudahlah, Jill. Tidak ada seseorang yang baru saja mendapatkan peringkat
pertama seangkatan, berubah menjadi amnesia.”
“Tapi
begitu kenyataannya.” Kata Jill ringan.
“Kau
sakit.”
“Dan akan
selalu seperti itu.” kata Jill menekankan.
Sekali lagi, laki-laki dengan tinggi dua puluh senti lebih panjang dari Jill menghela nafas
berat. Nada suaranya ia turunkan satu oktaf, bertanya hati-hati penuh perhatian
pada gadis yang masih menatap ujung matahari.
“Apa kau
baik-baik saja, Jill?” Pertanyaan sederhana itu terulang lagi. Selalu terulang dengan
intonasi yang sama, dengan orang yang sama. Dan jawaban yang masih sama.
Sara Han memang merdu, dan menghanyutkan, jadi tak salah jika ia pernah memenangkan perlombaan musikalisasi Tanpa adanya persiapan apapun. Kini juga pun sama, ia memenangkan secuil rasa yang telah lama hilang dari permukaan.
Tanpa
gadis itu sadari, matanya berkaca-kaca. Ada sesuatu yang salah dalam dirinya
yang memberontak. “Aku tidak baik-baik saja, Han.” Jill berkata lirih. Pandangannya kabur.
Jill sebenarnya
bosan jika harus seperti ini. Namun, reaksi tubuhnya selalu menghianati dirinya.
Beberapa menit,
hanya tercipta keheningan. Hingga Han bergerak, mencari posisi yang nyaman untuk
duduk.
“Aku tau.”
Han menimpali dengan nada santai walau sendu. Tarikan batas normal, masih terdengar di telinga Jill.
“Dan
seterusnya seperti itu.” Imbuh Jill kembali mengulang logat itu. Ia mendongak
ke atas, berusaha agar tidak ada air mata yang jatuh.
“Tubuh
itu milikmu, air matamu. Itu semua kau yang punya, Jill.” Suara Han kembali meneduhkan. Biasanya Jika laki-laki itu sudah berkata demikian, Jill akan kembali tersenyum, seolah tidak terjadi apa-apa beberapa waktu yang lalu.
Tapi sepertinya,
tidak untuk saat ini. karena satu demi satu tetesan air mata gadis itu tak
terbendung lagi, ketika satu tangan laki-laki itu mengelus lembut surai
rambutnya yang lembab karena keringat.
“Kau
lelah, Jill. Kau bisa istirahat sebentar.” Kata Han menenangkan.
“Kau bisa
menjadi nakal untuk sementara, atau melakukan hal yang ingin sekali kau
lakukan.” Han menghentikan usapannya. Laki-laki itu melanjutnya. “Aku mengerti.
Kau tidak harus selalu menjadi sempurna. Lakukan sebelum kau menyesal, dan
mengutuk orang yang melarangmu.”
“Tapi….”
Han menarik nafas. Dadanya juga sesat, melihat gadis di sampingnya menangis
dalam diam. Namun ia tidak bisa melakukan apa-apa selain mendampinginya.
“Pulanglah
kembali ke rumah, Jill.”
“Setelah
semua rasamu puas, dan tidak ada yang tersisa.”
“Kembalilah
ke rumah, Jill.”
“Karena
masih ada aku yang menunggumu.”
Jill
terisak kecil. Hatinya tersayat. Ingin rasanya ia mengatakan, bahwa ia ingin
juga seperti yang lain. melakukan sesuatu seperti orang sepantaranya lakukan. Ia
tidak ingin lebih, hanya menikmati masa dimana ia masih bisa mengekspresikan
diri secara bebas.
Dengan pergerakan
lembut, Han menariknya ke dalam pelukan. “Untuk saat ini, aku tidak akan marah
jika bajuku basah. Jadi, lepaskan saja apa yang kau ingin katakan.”
Teriakan kecil
teredam, Jill memeluk Han erat. Menangis sejadi-jadinya di sana, mengumpat,
mencaci, menertawakan dirinya sendiri.
“Kau
harus percaya, Han. Aku tidak pernah berpikir seperti apa yang mereka pikirkan.
Aku masih mengerti dimana batasanku, aku masih mengerti arti baik buruk. Tapi kenapa
mereka sama sekali tidak mengerti, Han? Dan menganggapku masih balita yang
harus diajarkan untuk berjalan?” suara Jill frustasi.
Han diam,
memeluk semakin erat gadis kecilnya itu. gadis yang berbagi rahim yang sama dengannya.
Hari Raya Nyepi pertama tanpa keluarga.
Comments
Post a Comment