Meet Again
Hii! this is @akarism.
Hope you enjoy and please listen to the song. Singaraja, 5 Maret
2021
***
Seseorang sedang berjalan di lorong koridor sebuah perusahaan. Heels-nya menapak tajam di lantai berbahan marmer, tubuhnya berlekok gemulai seiringan dengan rambut hitam panjang yang terikat rapi. Tangan kanannya memegang kopi yang baru saja ia beli dari kafe seberang tempatnya bekerja. Dan satu tangannya lagi, menggenggam ponsel, mendekatkannya ke telinga sembari mendengar celoteh orang dari seberang sana.
Namanya Ayara, seorang interior design profesional dari perusahaan ternama di umurnya yang dapat dikatakan cukup belia, 24 Tahun. wajahnya terbingkai manis dengan kacamata baca berwarna hitam bercorak silver. Sesekali, kedua bola matanya berputar malas mendengar celoteh sahabat karibnya yang masih saja asik membicarakan dan memaksanya untuk sesuatu yang menurutnya sangat kuno.
“Pokoknya gue gamau tau, Ra! Gue ada janji sama client untuk operasi malam nanti.” Kata seorang wanita yang lima bulan lebih tua daripada Ayara. Dia adalah Jiang, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin yang super sibuk tapi masih bisa menyempatkan nonton beberapa serial drama korea sebelum operasi penting.
Ayara menghela nafas lelah. Ia melihat jam di tangannya. Masih tersisa satu jam lagi sebelum meeting untuk proyek terbaru. “Kenapa harus gue sih, Ji? Lo tau gue lagi gamau deket sama siapapun.”
“Karna, cuman lo yang kenal sana dia, Ayara Alokta! Dia itu temen SMP kita, masa lo lupa sih?” Kata Jiang yang terdengar gemas sendiri.
Sudah dari seminggu lalu, Jiang meminta Ayara agar menggantikannya untuk pergi ke suatu undangan pernikahan bersama Sahabat laki-laki Jiang. Disini sudah jelas bahwa Jiang yang salah, ia lupa jika mempunyai jadwal praktek yang cukup urgent di hari itu dan sialnya di jam yang berdekatan. Dan parahnya lagi, Jiang sudah terlanjur mengatakan ‘iya’ untuk menemani sahabatnya sejak SMP.
Ayara ingat, bahwa nama laki-laki itu adalah Ardhika. Laki-laki yang pernah sangat menyukai Jiang hingga mengencani wanita hanya sebagai pelampiasan rasa sakit hatinya. Ia memang salah satu teman OSIS sahabatnya itu sejak SMP. Dan beberapa cerita tentangnya juga kadang tersempil ketika Jiang curhat tentang suatu hal.
Ayara berusaha untuk mengingat wajah dari Ardhika sambil berbelok menuju ruangan pribadinya. Sedangkan Jiang masih setia mengoceh panjang lebar sekedar mengingatkan Ayara tentang sosok Ardhikara yang seperti foto lama berdebu di pikirannya.
Ardhikara… jika ia tidak salah ingat, terakhir bertemu dengan laki-laki itu adalah saat pesta sweet seventeen Jiang. Saat itu, dirinya pernah berbicara banyak dengan Ardhikara, atau yang sering dipanggil Kara.
“Lo gamungkin lupa, cuman amnesia ringan aja. Gue kirim fotonya setelah ini. Sebenernya gue bukan tanpa alasan maksa lo, Ayara. Nanti setelah lo bilang mau, gue kasih tau alasan yang sebenernya deh. Tapi lo harus bilang mau ya! Malem ini lho… please lah, gue bakalan merasa bersalah banget kalo tiba-tiba gue batalin.”
Ayara mengkerutkan keningnya mendengar Jiang. “Lha, lo belum bilang kalo lo ga bisa?” tanyanya dengan nada yang sedikit sangsi.
Di seberang sana, terdengar suara deheman dari Jiang, kebiasaanya saat merasa gugup atau bersalah. “Gue lupa, Ra. Makanya gue nyuruh lo. Please lah, Ra. Gue bener-bener gabisa. Pasien gue anak SMA yang mau nyari angkatan. Jadi harus dari sekarang perawatannya, dan…..” Alasan-alasan yang sudah ia dengar berulang kali, dan masih saja
Jiang sebutkan satu persatu.
Membuka ruangan pribadinya, Ayara berdecak. “Yaya, tapi lo yang siapin semuanya. Gue tinggal pergi.”
“Ah kalo itu lo santai aja. Dia yang udah siapin semuanya. Mulai dari baju sampe apapun itu. lagian juga ukuran baju gue sama kayak ukuran baju lo. That’s one of the reasons why I choose you. Gue gamau ribet.”
Menyuruput kopinya pelan, Ayara duduk di kursi kebesarannya. Sketsa-sketsa bangunan terlihat jelas memenuhi mejanya. Ruangan yang coklat kayu dengan segala furniture yang serupa, merupakan rumah kedua bagi Ayara setelah rumah minimalis yang ia punya.
“Gimana? lo mau ga?” tanya Jiang mendesak. Ayara yakin bahwa sahabatnya itu sudah setengah bosan terus memintanya untuk pergi. dan, jika tidak dituruti, mungkin saja ia akan merasa bersalah karena membuat teman setiap generasinya kesal.
Jadi, dengan satu tarikan nafas, Ayara mengatakan hal yang Jiang ingin sekali dengar. Dan saat itu juga, gendang telinganya seakan pecah mendengar teriakan heboh dari seberang sana.
“Lo kalo mau teriak bilang bilang dong! Sakit nih.” Sewot Ayara.
“Hahaha, sorry ya say. Oke, bentar lagi gue kirimin nomor hp sama fotonya dia. Dia juga bilang kalo sekarang mau ada meeting buat ngomongin proyek apalah, gue gangerti. See you, Ayara. You are the best and the only one!” sambungan itu terputus sepihak setelah kata-kata penyebab diabetes yang sahabatnya itu lontarkan.
Ia menatap lamat ponselnya, sebelum akhirnya beranjak dari tempat duduk menuju bathroom untuk membenarkan riasannya. Bagaimanapun, Ayara memang bukan tipe orang yang suka riasan menor. Hanya sedikit eyeshadow berwarna natural, maskara, dan blush berwarna peach. Untuk bibirnya, ia sama sekali tidak menggunakan apa-apa, karena sudah dari lahir terlihat pink.
Pukul menunjukkan jam sembilan pagi, bertepatan dengan informasi dari sekretarisnya untuk segera keruangan meeting, karena meeting akan dilaksanakan sepuluh menit lagi. “Udah siap semuanya, Ke?” tanya Ayara, pada Ake, sekretaris pribadinya dengan umur yang bertaut dua tahun lebih muda.
“Sudah kak. Ini filenya. Kayaknya kakak juga udah baca deh. Ake jelasin yang informal aja ya.” Katanya. Memang Ayara yang menolak untuk dipanggil Ibu. Yang benar saja, umurnya masih muda, dan gaya berpakaiannya tidak cocok disandingkan dengan kalangan 40 tahun ke atas.
Ayara mengambil beberapa lembar kertas tentang profil perusahaan yang akan ia ajak kerjasama. Sedangkan Ake sudah mulai berbicara lugas tentang hal-hal nonformal, seperti karakteristik orang yang akan ia temui dan lain sebagainya.
“Ada tiga perwakilan sebenernya kak. Tapi satu perwakilan ini, ditarik mundur, jadi ketua tim yang langsung ke sini.”
Ayara mengangguk mengerti, Ake kembali menjelaskan seluk beluk hingga sampai hal kecilpun ia tau. Terkadang, Ayara heran darimana sekretarisnya itu mendapatkan informasi secara cepat dan mampu menghafalnya secara gamblang dalam hitungan menit. Namun, Ayara juga senang, karena berkat Ake, ia sangat terbantu untuk berkenalan dengan orang baru. Kepribadiannya yang sedikit tertutup, dan sangat berkebalikan dengan Jiang, membuatnya agak susah untuk menjaga percakapan tetap stabil.
“Siapa nama perwakilannya?” tanya Ayara saat Ake ingin membuka ruangan meeting. Pintu yang sudah setengah terbuka, membuat gadis itu bisa melihat bahwa ruangan sudah ramai. Akan tidak sopan jika terdengar oleh rekan kerjanya jika Ake membicarakan hal ini.
“Untuk ketua timnya sendiri itu, A-“
“Ah, nanti aja, Ke. Udah rame, kita masuk aja dulu.” Kata Ayara memotong perkataan Ake dengan sopan. Tangannya menyentuh lengan Ake lembut meminta pengertian.
Ake mengangguk patuh, membuka pintu ruangan sembari melontarkan kata-kata sapaan untuk beberapa teman kerja. Ia menunjukkan tempat duduk Ayara. Tepat di sebelah jendela yang terhubung luas dengan keriuhan kota saat pagi hari.
“Aku tau kakak suka ada ide kalo liat kayak gini, jadi aku request yang deket jendela.” Kata Ake sedikit berbisik saat mereka berdua telah duduk di di kursi masing-masing. Ake duduk di samping Ayara, cekatan membuka berkas yang diperlukan, dan rancangan-rancangan yang telah dibuat oleh Ayara sendiri.
Ayara mengedarkan pandangan ke beberapa sudut ruangan. Menelaah siapa saja yang ikut dalam proyek kali ini. bisa dibilang, orang-orang yang tergabung dalam Kerjasama ini adalah orang-orang yang sudah memilliki pengalaman luas dan beberapa penghargaan bergengsi dari rusuk kubus.
Sampai akhirnya, informan mengatakan bahwa rapat akan segera di mulai. Dan pandangan mata Ayara fokus pada singkatan nama yang ada di samping kanannya.
A. Kastara.
Nama yang unik dan baru pertama kali ia temui. Spontan, Ayara bertanya pada Ake.
“Ke, yang di samping saya kenapa belum dateng? Dari perusahaan kita?” tanya Ayara sedikit lebih rendah. Karena suara bising di ruangan mulai sedikit berkurang.
Ake menengok sebentar untuk melihat lebih jelas nama itu. keningnya berkerut samar, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Tidak butuh waktu yang lama untuknya mengambil kembali memori yang sempat hilang.
“Bukan kak, bukan dari perusahaan kita. Itu dari perusahaan Stoneboard, yang nyokong bahan bakunya. Itu yang pingin aku kasih tau ke kakak tadi, nama orangnya itu A-“
“Ardhikara Kastara Nalendra.” Lagi, suara Ake kalah tegas dengan suara barusan. Suara yang sedikit familiar bagi Ayara.
Tangan kekar memegang pundaknya dengan lembut, dan dengan sekali gerakan. Wajah yang sudah lama ia tidak temui, kembali hadir. Di waktu dan tempat yang berbeda.
Ya, seperti tadi dikatakan, dia adalah Ardhikara Nalendra. Ketua dari tim bidang penyokong, dan merupakan sahabat laki-laki Jiang. Senyumnya masih sama seperti dahulu, dan tatapan matanya ketika bergurau masih sama.
Saat dua insan itu masih terkunci dengan kenangan nostalgia, suara dentingan ponsel Ayara terdengar.
Itu dari Jiang, sahabatnya.
Mengirim dua pesan.
Foto, dan nomor hp
dari laki-laki yang ada di hadapannya sekarang.
-Chat with Ardhikara
wow
ReplyDelete