SQUEL : Aaron & Daisy
Suasana di suatu sekolah menengah atas
siang itu terlihat normal seperti biasa. Ya, jika dilihat sekilas.
Daisy sedang menuju perpustakaan saat beberapa
orang gadis menghampirinya, dan menyeretnya pergi ke gudang. Itu terlalu cepat,
lagipula jalan ke perpustakaan adalah koridor yang sepi. Siswa akan lebih
banyak memenuhi kantin, daripada harus berjalan dengan jarak yang lumayan jauh
untuk pergi meminjam buku ke perpustakaan.
Daisy di tarik paksa, masuk ke gudang pengap
yang letaknya di ujung sekolah. Ia melihat jelas kepala dari semua ini adalah
kakak kelas narsis yang sudah berapa kali berulah.
Daisy mengerang dalam hati, jadi kenapa kini
aku yang jadi sasaran empuknya?
Plak!
“Jauhi Aaron.” Katanya dengan nada tinggi.
Namanya Bella. Siswa angkatan terakhir yang tidak bisa sekali saja tidak
mencari perkara. Guru-guru sudah malas berurusan dengannya, karena ayahnya
adalah penyumbang saham terbesar untuk sekolah ini. Jadi jangan harap Daisy
bisa dengan tenang mengadukan perkara Bella ke ranah pihak sekolah.
Bullshit !
“Kau mendengarku?!” tanyanya kasar. Bella
kembali menampar Daisy sekali lagi, sedangkan tiga orang temannya memegang
tangan Daisy kiri dan kanan.
Daisy menghela nafas pasrah, ternyata
tamparan kakak kelasnya itu lumayan sakit. Terbukti dengan pipinya yang mulai
berkedut.
“Kenapa aku harus menjauhinya?” kata Daisy
dengan nada tenang. Ia tidak mau air matanya jatuh di depan seseorang yang
sangat tidak mirip dengan manusia.
Bella menggeram kesal. “Bodoh!” umpatnya.
“Karnamu, Aaron tidak pernah mau kuajak
bicara, bahkan mendekat saja tidak mau. Itu semua karnamu yang selalu di
samping Aaron kemanapun dia pergi.” teriak Bella seperti orang kesetanan.
Ada yang salah, ungkap Daisy dalam hati, ia
mengerutkan dahi tanpa sadar, memperhatikan lebih teliti setiap detail. Perilaku Bella seperti seseorang yang tidak
bisa mengontrol dirinya sendiri. Perempuan itu kini menjambak rambutnya
sendiri, sambil terus memaki Daisy.
Plak! Satu tamparan kembali dilayangkan Bella.
Daisy tau, tiga orang gadis yang sedang menahan
tubuhnya itu gemetar. Sedikit takut jika tingkah Bella kembali kalap seperti
dulu. Saking kalapnya, ia pernah membunuh seorang siswi hanya karena siswi
tersebut menyenggolnya tanpa sengaja.
“Aaron milikku, bodoh!” dampratnya lagi.
Daisy menatap wajah Bella perlahan. I sedikit
tau mengapa seorang gadis sepertinya bisa saja membunuh atau menghabiskan
orang. dan itu siswi di sini? Masuk akal juga. Pikir Daisy.
Tiba-tiba tanpa aba-aba, Bella menjambak
rambut Daisy. Menariknya hingga beberapa helai jatuh berserak di lantai. Daisy,
gadis dengan mata bulat lucu berwarna coklat madu itu menahan sakit dalam diam.
Apakah orang tuanya tidak tau tentang ini?
kata Daisy dalam hati. Prihatin.
“Kau seharusnya mati saja. Kalau kau mati,
aku pasti bisa mendekati Aaron!” kata Bella. Kukunya yang lumayan panjang
mencakar wajah Daisy.
Perih.
Tentu saja. Daisy memejamkan mata, saat
Bella kembali melayangkan cakaran di tangan kirinya.
Daisy hanya bisa merasakan sakit dalam
bentuk fisik. Namun, Bella tidak tau bahwa Daisy tidak pernah takut, atau
trauma jika diberi kata-kata kasar, makian, atau ancaman. Itu hanya seperti kalimat
biasa bagi Daisy. Ia bingung jika harus memikirkan dan memasukkannya dalam hati.
Ia tidak tau caranya.
Tiga orang siswi yang masih memegangi
Daisy, mulai melonggarkan pegangannya. Mereka pasti takut akan tingkah Bella
yang tidak terduga.
“Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu.” Kata
Bella. Dari saku rok abu-abu itu, terlihat pisau lipat menyembul. Wanita gila
itu tersenyum tipis, sebelum melakukan aksinya.
Bella membuat sayatan melintang di perut
Daisy. Sayatan yang membuat darah merembes kemana saja.
“Bella! Itu keterlaluan!” ujar salah satu
siswi yang sudah tidak tahan dengan sikap Bella.
Namun Bella tidak menghiraukannya.
Daisy menggigit bibirnya, agar erangan
kesakitan tidak terdengar. Darah semakin banyak keluar, sedangkan tangannya
kini masih diikat erat bersama kursi.
Ia menunduk, mengatur nafasnya setenang
mungkin.
Bella tersenyum kecil saat melihat Daisy,
namun seperti ada yang kurang. Bella menampar sekali lagi Daisy.
Itu untuk keterakhir kalinya.
“Aku tidak membunuhmu. Aku hanya melukaimu
sedikit.” Kata Bella sebelum ia keluar dari ruangan itu.
Ada rasa kesal di hati Bella saat tau Daisy
tidak menangis atau menjerit. Padahal jika Daisy melakukan hal itu, Bella tidak
akan menyakitinya sampai sejauh ini.
Melihat wajah adik kelasnya yang masih saja
tenang membuatnya marah. Ia seperti tidak dihormati, dan keberadaanya seperti
tidak ditakuti. Bella tidak suka ada orang yang seperti itu padanya.
Bella berteriak kesal, melemparkan pisau itu
ke sembarang arah, lalu pergi dari gedung tersebut dengan tiga siswi yang
mengikutinya.
Daisy terbangun di ruangan yang sudah
familiar baginya. Matanya mengerjap perlahan, beradaptasi dengan sinar lampu
yang menurutnya terlalu terang.
Di sampingnya terdapat seorang gadis
seumuran dengannya yang menatapnya khawatir. Itu adalah Zoe, sahabatnya sekaligus
adik satu-satunya Aaron, pria yang di singgung Bella di sekolah.
“Kau sudah siuman, Daisy.” Katanya senang. Zoe
cekatan mengambilkan minum untuk Daisy. Ia memberikannya dengan hati-hati, agar
luka sayatan itu tidak kembali terasa sakit.
“Syukurlah. Perlu tiga infus untuk
mengobatimu, dan aku telah melakukan tranfusi darah agar kau lebih tenang.” Ujar
Zoe tersenyum manis.
Gadis itu pamit keluar sebentar, dan
sebelum itu ia memanggil kakaknya untuk menemani Daisy.
“Aaron!” teriak Zoe. “Daisy sudah sadar!”
Daisy ada di kamarnya, berbaring dengan
beberapa perban di beberapa bagian tubuhnya.
Zoe, Daisy, Aaron dan tiga orang temannya
tinggal dalam satu rumah yang lumayan besar milik Aaron. Itu terjadi sudah
lama, dan mereka sudah seperti keluarga.
Rasa pusing sedikit menjalar di seluruh
bagian kepalanya. Bibirnya kering, dan ia merasakan wajahnya masih pucat.
Tentu saja! itu karena Daisy telah kehabisan
darah cukup banyak saat Aaron menyelamatkannya dalam keadaan tidak sadarkan
diri.
“Apakah masih sakit?’’ tanya Aaron, duduk
di samping tempat tidur Daisy.
Wajah Aaron datar seperti biasa, namun
Daisy bisa melihat dengan teliti, ada raut khawatir dan takut bercampur di mata
biru sapphire laki-laki itu.
“Seperti biasa.” Kata Daisy.
“Terima kasih.” Lanjutnya.
“Hm.”
Beberapa menit, hanya terdiam. Tidak canggung,
Daisy tidak bisa berbasa-basi, begitu juga Aaron.
“Kenapa kau tak melawan?” tanya Aaron, menatap
Daisy dalam setelah lumayan lama membeku.
“Kau bisa menyakitinya jika kau mau, dan
kau bisa melakukan itu dengan mudah. Tapi kenapa kau malah lebih memilih terkapar
tak berdaya menunggu kematianmu? Jika saja aku tidak mencarimu, jika saja aku
tidak menemukanmu, dan jika saja aku tersadar lebih lambat, kau sudah ada di
dalam tanah sekarang.” kata Aaron, meluapkan semua emosi yang ada dalam
dirinya. Kalimatnya naik satu oktaf, namun Aaron masih bisa mengontrol dirinya
dengan tetap tenang.
Laki-laki itu ingat sekali saat itu, Aaron
entah kenapa merasa ada sesuatu yang salah terjadi. Ia segera menghubungi Zoe,
adiknya terlebih dahulu. Saat tau Zoe aman, ia bertanya tentang Daisy.
Siswa sudah berhamburan pulang, saat Zoe
tau, Daisy tidak ada di kelas seperti biasa, menunggu Zoe datang. GPS gadis itu
juga tidak terlacak.
Itu tidak biasanya. Karena mereka tau,
Daisy adalah gadis yang selalu mengatakan kemana dan untuk apa ia pergi ke Zoe
atau Aaron atau tiga teman yang lain.
“Terakhir ia bilang ingin ke
perpustakaan, Aaron.” Kata Zoe mengadu pada kakaknya.
Hormon adrenalin Aaron terpacu kuat.
Gedung perpustakan sangat terpencil,
sedikit orang yang mau kesana. Dan koridor di sana terkenal sepi.
Aaron berlari sekuat tenaga, membuka semua
ruangan yang ada di sana, hingga ruangan terakhir. Gudang.
Pandangan Aaron sedikit kabur saat ia
melihat Daisy dengan wajah pucat tak sadar diri. Darah membasahi rok dan baju
yang ia pakai.
“Zoe, panggil teman kita.” Kata Aaron
di sambungan telepon. Nada suaranya bergetar. Ia merapikan rambut dan pakaian Daisy
sebelum yang lain datang.
Tidak butuh lama, mereka datang. Zoe dengan
semua peralatan medisnya. Dan tiga orang teman mereka yang membersihkan semua
itu tanpa ada yang tersisa.
Tiga orang itu adalah Jack, Joshua, dan
Finn. Tidak akan diceritakan lebih dalam. Namun mereka sangat membantu.
Joshua dan Finn membantu menghapus dan
menyabotase CCTV di setiap jalan yang di lalui Aaron tadi, melihat siapa yang
melakukan ini pada Daisy, bagaimana, dan lain sebagainya.
Mereka lihai dalam menjalankan sistem teknologi,
meretas bukan masalah sulit bagi mereka. Itu seperti mengambil daun yang sudah jatuh
ke tanah.
Jack menjaga di depan, agar satpam tidak
kemari untuk mengecek mereka. Sedangkan Aaron sendiri pergi ke luar untuk
mengambil mobil.
Saat mobil sudah stand by di tepat
di belakang gedung, Jack berlari ke dalam gedung dengan senyap. Ia membopong
tubuh Daisy yang sudah pucat, dengan infus yang tertancap di tangan gadis itu.
Mereka terlihat seperti sudah terlatih
untuk mengerjakan hal seperti ini. Kecakapan dalam koordinasi gerakan, dan
kelihaian Zoe dalam memberikan pertolongan yang tepat dan cepat.
Tidak butuh waktu lama, ke enam siswa itu
meninggalkan sekolah tanpa jejak satupun yang tersisa.
Tidak ada yang membahas masalah siapa, karena
apa, dan kapan. Karena mereka sudah tau semuanya. Zoe diam, walau di hatinya ada
rasa marah karena telah berani melukai salah satu dari mereka.
Kembali ke masa sekarang. Aaron terdiam,
membuang pandangan ke tempat lain.
Ia sangat tau bahwa Daisy tidak mengerti
perasaan apa yang seharusnya kini ia rasakan. Gadis itu hanya tau bahwa ia saat
itu, tidak perlu menyerang.
“Anak itu sakit.” Kata Daisy melenyapkan
keheningan.
“Kejiwaannya terganggu. Dia harus mendapatkan
perawatan, bukan perlawanan.” Ujar Daisy dengan tenang.
“Dia keterlaluan.” Aaron menyangkal
pemikiran gadis itu.
Daisy menggeleng. “Dia bisa sembuh. Seharusnya orang tua anak itu membawanya berobat, dan memasukkannya ke rehabilitasi. Orang seperti itu bisa kapan saja berubah, dan itu tidak baik untuk dirinya sendiri dan orang lain.” jelas perempuan yang masih berbaring lemah di tempat tidur.
“Dia tidak bisa disembuhkan, dan tidak akan
bisa sembuh.” Kata Aaron final. Tidak mau dan tidak akan mau mengerti
penjelasan Daisy.
“Jadi relakan untuk selamanya. Anggap kau
tidak pernah melihat perempuan itu, Daisy.”
Aaron bangkit dari tempat duduknya,
berjalan keluar dari kamar Daisy.
“Aaron! You can’t do that! don’t do that
thing to her!” teriak Daisy. Ia meringis saat luka pada perutnya kembali
bereaksi.
Aaron hanya menoleh sedikit. Pandangan mata
berwarna biru sapphire itu berkilat marah.
“I can and I will.”
Comments
Post a Comment