Enough

 

"We are nothing and never be something."
-akarism
Minggu, 30 Mei 2021
23.14 Wita. 

Jarum dari detik jam di dinding berwarna putih bersih, terus berjalan maju, dan kini menunjukkan tengah malam. Udara di luar cukup membuat tubuh menggigil, ditambah dengan gerimis yang muncul, dan suara angin yang bahkan bisa terdengar jelas menabrakkan dirinya ke pohon-pohon.

Suasana yang indah untuk mulai terlelap dan tenggelam di dunia mimpi untuk orang yang tidak terlibat dengan hiruk pikuk yang berlebihan seperti di ruangan ini sekarang.

Sebelum membuka pintu ruangan ini, terpampang jelas tulisan “Ruang OSIS” dengan embel-embel kalimat “Dipersilahkan masuk bagi yang gabut.” Entah siapa yang menambahkan kalimat tersebut, dan hebatnya lagi, kalimat itu lebih dahulu ada sebelum tulisan “Ruang OSIS” dipasang. Tidak ada yang ingin merobek walau banyak perdebatan yang terjadi karena kalimat yang ditempel di kertas usang tersebut.

Dari balik jejeran jendela yang memenuhi ruangan ini, keheningan malam tertera jelas, seperti menjadi lagu bisu bagi sebagian orang, dan sebagian orang itu, termasuk diriku.

“Berapa menit lagi jerit malem dimulai?” laki-laki yang duduk di kursi kebesarannya menatapku meminta penjelasan. Dia adalah Ansel Wijaya, Ketua OSIS dipengurusan periode saat ini. Dan laki-laki yang selalu kuikuti hampir setiap saat, tentu karena aku adalah sekretarisnya.

“Kira-kira sepuluh menit lagi.” kataku, menatap jam yang ada di pergelangan tanganku.

Ansel mengangguk-angguk nampak mengerti. Tangannya kembali membolak-balikan kertas daftar kegiatan sekolah yang saat ini kami laksanakan.

“Tim lapangan udah siap?” tanyanya. Kembali menatap mataku dengan pandangan… entahlah, aku tidak mau terlalu peduli akan itu.

Aku mengangguk. “Udah, mau ngecek lagi?” dan Ansel menggelengkan kepalanya sembari meletakkan buku pedoman itu di tempat semula.

Beberapa CCTV diaktifkan kembali, pertanda bahwa kegiatan akan kembali dilaksanakan.

“Re, lo mau jaga di mana?” itu Ken, Koordinator OSIS bagian teknologi komunikasi. Dialah yang menjadi otak semua jalan sistem yang kini kami gunakan.

Ken memainkan rambutku, menggulung-gulungnya seperti biasa. Laki-laki itu memberikanku satu walkie talkie.

“Nih bawa aja. Itu walkie talkie cadangan yang udah gue simpen buat lo. Jangan lo kasih ke orang lain. Ada kode khususnya.” Jelasnya, menyalakan dan mengecek kembali alat itu sebelum beralih tangan.

“Jadi?” tanyanya lagi.

Aku menatap Ken dengan pandangan tidak mengerti.

Ken menghela nafas berat. “Jadi lo mau di mana jaganya, Reana Helianto?” tanyanya dengan tekanan berlebihan di namaku.

“Gue di perpustakaan aja.” Jawabku tanpa banyak berpikir.

Ken mengangkat bahunya, seperti sudah tau jawabanku. “Yah, of course. Good luck, Rea.” Katanya berlalu. Tak lupa ia mengacak rambutku sebelum benar-benar kembali mengecek setiap sistem dan peralatan elektronik lainnya.

“Cek, tim lapangan A1. Diharapkan seluruh panitia berada di koordinat yang sudah di bagi. Acara akan di mulai lima menit lagi. Untuk tim keamanan, di mohon penambahan anggota pada bagian ruang laboratorium dan koridor. “ suara dari walkie talkie terdengar menggema, membuat suasana di Ruang OSIS berubah senyap.

“Tambahan informasi, tim kesehatan mohon mengecek peserta yang berada di UKS. Jika memungkinkan untuk ikut, tolong diarahkan ke titik perkumpulan.”

Dan informasi lain untuk beberapa spesifikasi koordinator masih berlanjut. Aku mendengarnya samar, karena fokusku adalah menyiapkan kelengkapanku untuk mendekat di perpustakan selama kurang lebih satu setengah jam. Aku membawa jaket almamater dan termos kecil yang berisi susu coklat kesukaanku. Tidak lupa dengan novel yang setengahnya telah kubaca.

“Lo jaga di mana?” Aku menoleh, mendapati Ansel yang sudah duduk di sampingku.

“Perpustakaan.” Kataku singkat. Malas berlama-lama berbicara dengannya.

“Gue ikut. Kebetulan gue juga belum dapet penempatan.” Dalihnya. Ansel mengeluarkan ponselnya, sebagai bukti bahwa jabatannya sebagai Ketua OSIS membuatnya sebagai penjaga cadangan.

“Lo bisa minta Ken buat di taruh di koordinat lain.” kataku. Saat beranjak pergi dengan jaket yang telah tersampir di tangan, tiba-tiba Ansel menghentikanku. Tangannya menarik baju yang kugunakan.

“Gue ikut lo. Lo gatau, kalo cuman lo yang bakalan jaga di perpustakaan?” nada bicaranya berubah. Terkesan tegas, dan tidak ingin dibantah.

“Informasi terakhir. Harap kalian-kalian jangan belangsak. Hargai panitia yang ga punya pacar, jadi untuk panitia yang punya pacar, harap long distance terlebih dahulu.” Suara yang terdengar dari walkie talkie kembali membuat ricuh para panitia saat hendak meninggalkan ruang OSIS.

Salah satu panitia menyeletuk setelah melihat di mana letak orang yang mengirimkan pesan tersebut di cctv.

“Gausah allay lo. Kita semua tau kalo lo lagi sama cewek lo di lapangan basket, nyet!” dan tawapun pecah ketika laki-laki yang memperingati di walkie talkie baru menyadari bahwa ada kamera pengintai tidak jauh dari tempatnya berdiri.

“Sialan!” umpatnya.

“Ayo, udah mulai kegiatannya.” Kata Ansel, berjalan lebih dahulu. Karena berdebat dengannyapun tidak ada gunanya, aku mengikuti langkah kaki Ansel menuju ruang perpustakaan. Sedangkan Ken dan beberapa anak buahnya tetap memantau keadaan di ruang OSIS.

Ini adalah hari terakhir sebelum semua kegiatan akan di tutup esok hari. Dan hari puncak kelelahan semua peserta dan juga panitia. Banyak panitia yang tidak pulang, dan malah membawa koper penuh pakaian ganti agar tidak susah jika harus split tugas dengan panitia lainnya. Dan beberapa dari kami hanya tidur tiga jam sehari karena jadwal yang sangat padat. Walau, bisa dikatakan cukup bersyukur karena tidak ada kendala yang berarti.

Aku memakai jaketku kala kami memasuki ruang perpustakaan yang lumayan dingin karena AC yang tersistem selalu menyala.

“Peserta telah selesai mengikuti apel kegiatan. Peserta akan mulai berpencar dalam hitungan

1

2

3

Peserta sudah mulai berpencar. Diharapkan panitia bersedia di posisi masing-masing.”

Suara dari walkie talkie yang di bawa Ansel berbunyi. Dan baru aku sadari, sedari tadi ia membawa alat itu di saku celananya.

Ansel menatapku seakan tau apa yang ada di pikiranku. “Kenapa? Baru nyadar?” katanya.

Namun tak kuhiraukan. Aku mengambil tempat duduk yang paling jauh dari jangkauan AC. Sedangkan Ansel ikut duduk di depanku.

Cek, Reana.” Itu suara Ken dari walkie talkie.

“Iya.”

Oke, cuman ngecek.” Kembali tersambung dengan kekehan khas Ken di akhirnya.

“Re…” Ansel memanggilku setelah beberapa menit kami terdiam.

“Hm?” aku masih fokus menatap pintu perpustakaan, dengan kepala bertumpu dengan tangan di meja.

“Gue minta maaf.” Katanya lirih.

Tanpa kusadari, saat itu aku menahan nafas.

“Gue gapunya penjelasan. Semua yang lo liat emang bener.” Katanya. Dan kutahu saat ini ia sedang menatapku. Pelan-pelan kukeluarkan nafasku dengan penuh beban. Sesak…

Hatiku remuk redam. Mengetahui sesuatu yang selama ini kusangkal, adalah benar.

Ansel. Laki-laki yang menyukaiku dan kusukai. Kami menjalin hubungan sebelum masing-masing dari kami menjadi OSIS. Tapi, ah…

Rasanya sakit, saat mengetahui bahwa ia mempunyai seseorang setelahku. Atau, aku yang setelah gadis itu?

“Kita udah gaada hubungan apa-apa lagi, An.” Kataku, dengan datar.

Dia yang lebih dulu memutuskanku, tanpa ada penjelasan dan apapun itu. Hanya informasi dari teman yang mengatakan bahwa ia sudah punya pengganti. Video yang mereka kirim, tak pernah kulihat. Karena aku masih berharap, suatu saat Ansel datang, dan mengatakan bahwa itu bohong.

Aku berusaha untuk profesional, masih mengerjakan dan berbincang dengannya seperti biasa. Walau tak bisa kusembunyikan, ada yang berdarah di dalam diriku.

Dan kini, saat semuanya telah kembali seperti semula. Mengapa baru sekarang keberaniannya muncul kepermukaan?

“Gue salah.” Katanya. “Gue minta maaf, Rea.” Suaranya bergetar.

Kami terdiam. Aku yang meminta agar telinga ini tidak mendengar apapun dan dia bersama gejolak pikirannya.

“Re,… jawab gue.” Ujar Ansel.

Aku menghela nafas. menegakkan tubuhku. Menatapnya sekuat tenaga, menahan tangis agar tak pernah tertitik air mata lagi.

“Ansel.  We don’t have any relationship anymore.” Aku berusaha tersenyum. “You broke my heart so deep. And there are no words I can say to you, now, tomorrow, forever.”

“Gue minta maaf. Gue pengecut.”

Yes you are.” Kataku dengan nada seperti tidak terjadi sesuatu yang salah diantara kita.

Ansel menatapku “Gue bakalan jelasin kalo lo nanya, Rea. Apapun itu gue bakal jawab. Lo jangan gini, Re. Gue berhak lo marahin. Gue berhak lo caci atau lo tampar. Lo tendang gue, lo pukul gue, it’s okay Re. Tapi jangan diem kayak gini, gue gabisa kalo lo kayak gini Re.” ucapannya terlihat frustasi, namun aku tetap diam, tidak menanggapi.

“Lo seharusnya ga biarin gue kayak gini doang. Gue salah, dan gue berhak tanggungjawab.” Kata-katanya menggebu. Semi wajahnya meredup.

“Re… please, I don’t want you hurt yourself too far. Lo bisa mukul gue dimanapun. Gue ga akan marah.” Ansel berusaha menggenggam tanganku, namun dengan cepat aku menepis.

“Lo ada yang punya, An. Tolong jaga sikap.” Jawabku. Beranjak untuk pergi dari ruangan itu, namun dicegat olehnya.

“Gue bener-bener minta maaf, Reana. Gue tau gue bener-bener salah.” Ansel menggenggam pergelanganku. Berlutut.

Ia menangis.

Ansel. Ketua OSIS yang selalu bersikap netral dan teratur, kini menangis. “Gue tau lo pasti sakit hati. Gue yang goblok.”

“Ansel, lepasin. Bakalan ada peserta yang ke sini.” Aku mencoba membuka gengaman tangannya, namun ia malah mengeratkan genggaman tersebut.

It’s okay. Let them see, that I’m not strong as they think. Gue juga manusia. Dan sekarang, gue bukan Ketua lo. Gue orang yang udah buat lo sakit. Gue minta maaf, karna baru sekarang bilang.”

Seperti sesuatu yang menekan, dadaku sesak.

Melihat Ansel di depanku, Entah keberanian darimana, tanganku melayang untuk menamparnya.

Kulihat raut terkejut darinya, namun tak ada satupun kata yang dilontarkan.

“Lo tau, An? Lo egois banget!” kataku dengan sekali hentakan.

“Kita udah bukan siapa-siapa lagi. dan lo sekarang ada orang yang seharusnya lo jaga hatinya. Gue harus gimana, An? Lo bukan pacar gue yang bisa gue marahin. Bukan siapa-siapa lagi. Dimana gue dapet hak buat marah atau kecewa? Bahkan sebelum gue bisa ngerasain marah, lo udah mutusin gue tanpa ngasih gue penjelasan satupun itu jenisnya.”

Air mata yang telah memupuk membuat pandanganku kabur. Nafasku semakin memendek dan kepalaku mulai merasakan sakit.

“L-lo jahat banget sama gue, An.” Aku menangis terisak.

“Gue salah apa sama lo, An? Gue pernah buat lo marah, ‘kah? Atau buat lo ga nyaman? Kenapa lo kayak gini ke gue?” tubuhku bergetar. Tanganku seperti kebas. Sesuatu mengalir, seperti terhempas ke luar dari tubuhku.

Kutahu, genggaman tangannya mengerat. Seakan menyuruhku meluapkan semua yang ingin kuluapkan selama ini.

“Gue sayang sama kalian berdua, Re. lo sama dia.” Kata-katanya… kata-kata yang menjadi titik jatuh segala pikiran positif yang kupupuk selama ini.

“G-gue gangerti. K-kenapa lo kayak gini k-ke g-gue.” Semakin lama semakin memberat. Kepalaku merasakan sakit luar biasa.

Bersamaan dengan pintu perpustakaan yang terbuka keras dan teriakan Ken yang kudengar.

Bangsat lo Sel!”

Bugh!

Satu bogeman dari Ken membuatku menjerit.

“Keen!! Lo ngapain?!” kataku terkejut.

Genggaman Ansel terlepas. Namun Ken sepertinya masih tidak bisa mengontrol emosinya.

“Lo gabisa dibilang manusia! Lo binatang, bangsat! Gue malu, lo jadi ketua gue!”

Bugh! Bugh!

Ken menghajar Ansel yang hanya bisa terdiam pasrah menerima semua pukulan dari temannya sendiri.

Ken yang biasanya ceria, dan selalu mempunyai cerita lucu, kini berubah seperti seseorang yang tidak kukenali.

Aku menjerit kembali saat denyutan di kepalaku semakin menjadi. Bahkan kini menarik nafas saja rasanya susah.

Aku bersimpuh sambil menangis, menahan rasa sakit yang kian menguat.

Rasa sakit yang sudah hilang lima tahun yang lalu, kini kembali muncul. Membuat bayangan trauma masa lalu menghantuiku.

“K-Ken, t-tolong g-gue.” Kataku lirih.

Satu kali tendangan pada Ansel, sebelum Ken membopongku cepat keluar dari ruangan itu.

“Dia bilang, lo boleh mukul dia dimanapun. Jadi, anggap aja semua impas, Re. lo jangan gini dong. Lo gabiasa sakit kayak gini.” Kata Ken. Kakinya bergerak cepat. Samar-samar aku masih mengingat beberapa orang bertanya kenapa bisa aku berakhir seperti ini.

Dan dibalas bentakan kesal oleh Ken.

“Lo jangan tutup mata lo dulu. Tahan ya, Re.” suara Ken bergetar. “G-gue sayang sama lo, Re. please, don’t make me like this, Re.”

Lanjutan suara Ken tak lagi bisa kudengar. Kurasakan seperti kantuk yang menyergap kuat. Dan mataku tertutup sepenuhnya.

Satu lagi. laki-laki yang menangis malam ini karenaku.

 

Minggu, 30 Mei…

Dariku, untuk diriku sendiri.

Aku melihat semuanya. Semuanya tanpa terkecuali. Saat Ansel tanpa alasan memutuskan Reana demi diriku. Saat tatapan mata Reana kosong tiap berada didekat Ansel. Dan saat perilaku Reana padaku tidak berubah sama sekali, padahal ia tahu semua yang terjadi.

Aku sedih saat mengetahui akar permasalahannya ada padaku, dan aku hanya bisa menonton dan menikmati. Ansel yang menangis sembari mengenggam tangan Reana. Dan Reana yang terbujur kesakitan. Ancaman Ken sebelum laki-laki itu masuk ke perpustakaan. Semua aku tahu. Dan aku hanya bisa diam.

Aku masih ingat kata-kata Ken. “Lo seneng semuanya kayak gini?” Menyakitkan rasanya.

Tuhan… aku yang salah. Seharusnya aku tidak banyak bertingkah saat tau bahwa Ansel sudah mempunyai seseorang, namun seperti ada hal di dalam diriku ingin menaklukannya.

Ansel sangat baik, namun aku tau, bahwa seharusnya ia tidak melakukannya demi membahagiakanku. Dan terlebih lagi, Reana… aku tidak tau terbuat dari apa hatinya.

Rasanya kesal saat mengetahui bahwa tidak ada marah yang keluar dari Reana saat Ansel memutuskannya secara sepihak. Marah saat tau laki-laki yang sudah menjadi milikku masih sesekali menatap orang lain. dan kutau semua yang kulakukan adalah salah.

Titik puncak ketika aku tak bisa berkutik saat menatap mata Ken yang penuh kilatan marah padaku sambil berjalan cepat membopong Reana.

Tuhan… apakah masih bisa aku mencoba untuk mengatur ulang kembali puzzle yang sudah hancur?

Tertanda,

I.K

 

 


Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana?

S(t)ick with U

UNTUK SIA