Enough
Jarum dari detik jam di dinding
berwarna putih bersih, terus berjalan maju, dan kini menunjukkan tengah malam.
Udara di luar cukup membuat tubuh menggigil, ditambah dengan gerimis yang
muncul, dan suara angin yang bahkan bisa terdengar jelas menabrakkan dirinya ke
pohon-pohon.
Suasana yang indah untuk mulai terlelap
dan tenggelam di dunia mimpi untuk orang yang tidak terlibat dengan hiruk pikuk
yang berlebihan seperti di ruangan ini sekarang.
Sebelum membuka pintu ruangan ini, terpampang
jelas tulisan “Ruang OSIS” dengan embel-embel kalimat “Dipersilahkan masuk bagi
yang gabut.” Entah siapa yang menambahkan kalimat tersebut, dan hebatnya lagi,
kalimat itu lebih dahulu ada sebelum tulisan “Ruang OSIS” dipasang. Tidak ada
yang ingin merobek walau banyak perdebatan yang terjadi karena kalimat yang
ditempel di kertas usang tersebut.
Dari balik jejeran jendela yang
memenuhi ruangan ini, keheningan malam tertera jelas, seperti menjadi lagu bisu
bagi sebagian orang, dan sebagian orang itu, termasuk diriku.
“Berapa menit lagi jerit malem dimulai?”
laki-laki yang duduk di kursi kebesarannya menatapku meminta penjelasan. Dia adalah
Ansel Wijaya, Ketua OSIS dipengurusan periode saat ini. Dan laki-laki yang
selalu kuikuti hampir setiap saat, tentu karena aku adalah sekretarisnya.
“Kira-kira sepuluh menit lagi.” kataku,
menatap jam yang ada di pergelangan tanganku.
Ansel mengangguk-angguk nampak
mengerti. Tangannya kembali membolak-balikan kertas daftar kegiatan sekolah
yang saat ini kami laksanakan.
“Tim lapangan udah siap?” tanyanya. Kembali
menatap mataku dengan pandangan… entahlah, aku tidak mau terlalu peduli akan
itu.
Aku mengangguk. “Udah, mau ngecek lagi?”
dan Ansel menggelengkan kepalanya sembari meletakkan buku pedoman itu di tempat
semula.
Beberapa CCTV diaktifkan kembali,
pertanda bahwa kegiatan akan kembali dilaksanakan.
“Re, lo mau jaga di mana?” itu Ken, Koordinator
OSIS bagian teknologi komunikasi. Dialah yang menjadi otak semua jalan sistem
yang kini kami gunakan.
Ken memainkan rambutku, menggulung-gulungnya
seperti biasa. Laki-laki itu memberikanku satu walkie talkie.
“Nih bawa aja. Itu walkie talkie cadangan
yang udah gue simpen buat lo. Jangan lo kasih ke orang lain. Ada kode
khususnya.” Jelasnya, menyalakan dan mengecek kembali alat itu sebelum beralih
tangan.
“Jadi?” tanyanya lagi.
Aku menatap Ken dengan pandangan tidak
mengerti.
Ken menghela nafas berat. “Jadi lo mau
di mana jaganya, Reana Helianto?” tanyanya dengan tekanan berlebihan di namaku.
“Gue di perpustakaan aja.” Jawabku tanpa
banyak berpikir.
Ken mengangkat bahunya, seperti
sudah tau jawabanku. “Yah, of course. Good luck, Rea.” Katanya berlalu. Tak
lupa ia mengacak rambutku sebelum benar-benar kembali mengecek setiap sistem
dan peralatan elektronik lainnya.
“Cek, tim lapangan A1. Diharapkan seluruh
panitia berada di koordinat yang sudah di bagi. Acara akan di mulai lima menit
lagi. Untuk tim keamanan, di mohon penambahan anggota pada bagian ruang laboratorium
dan koridor. “ suara dari walkie
talkie terdengar menggema, membuat suasana di Ruang OSIS berubah senyap.
“Tambahan informasi, tim kesehatan
mohon mengecek peserta yang berada di UKS. Jika memungkinkan untuk ikut, tolong
diarahkan ke titik perkumpulan.”
Dan informasi lain untuk beberapa
spesifikasi koordinator masih berlanjut. Aku mendengarnya samar, karena fokusku
adalah menyiapkan kelengkapanku untuk mendekat di perpustakan selama kurang
lebih satu setengah jam. Aku membawa jaket almamater dan termos kecil yang
berisi susu coklat kesukaanku. Tidak lupa dengan novel yang setengahnya telah
kubaca.
“Lo jaga di mana?” Aku menoleh,
mendapati Ansel yang sudah duduk di sampingku.
“Perpustakaan.” Kataku singkat. Malas berlama-lama
berbicara dengannya.
“Gue ikut. Kebetulan gue juga belum
dapet penempatan.” Dalihnya. Ansel mengeluarkan ponselnya, sebagai bukti bahwa
jabatannya sebagai Ketua OSIS membuatnya sebagai penjaga cadangan.
“Lo bisa minta Ken buat di taruh di
koordinat lain.” kataku. Saat beranjak pergi dengan jaket yang telah tersampir
di tangan, tiba-tiba Ansel menghentikanku. Tangannya menarik baju yang
kugunakan.
“Gue ikut lo. Lo gatau, kalo cuman lo
yang bakalan jaga di perpustakaan?” nada bicaranya berubah. Terkesan tegas, dan
tidak ingin dibantah.
“Informasi terakhir. Harap kalian-kalian
jangan belangsak. Hargai panitia yang ga punya pacar, jadi untuk panitia yang
punya pacar, harap long distance terlebih dahulu.” Suara yang terdengar dari walkie
talkie kembali membuat ricuh para panitia saat hendak meninggalkan ruang
OSIS.
Salah satu panitia menyeletuk setelah
melihat di mana letak orang yang mengirimkan pesan tersebut di cctv.
“Gausah allay lo. Kita semua tau kalo
lo lagi sama cewek lo di lapangan basket, nyet!” dan tawapun pecah ketika laki-laki
yang memperingati di walkie talkie baru menyadari bahwa ada kamera pengintai
tidak jauh dari tempatnya berdiri.
“Sialan!” umpatnya.
“Ayo, udah mulai kegiatannya.” Kata Ansel,
berjalan lebih dahulu. Karena berdebat dengannyapun tidak ada gunanya, aku
mengikuti langkah kaki Ansel menuju ruang perpustakaan. Sedangkan Ken dan
beberapa anak buahnya tetap memantau keadaan di ruang OSIS.
Ini adalah hari terakhir sebelum semua
kegiatan akan di tutup esok hari. Dan hari puncak kelelahan semua peserta dan
juga panitia. Banyak panitia yang tidak pulang, dan malah membawa koper penuh
pakaian ganti agar tidak susah jika harus split tugas dengan panitia
lainnya. Dan beberapa dari kami hanya tidur tiga jam sehari karena jadwal yang
sangat padat. Walau, bisa dikatakan cukup bersyukur karena tidak ada kendala
yang berarti.
Aku memakai jaketku kala kami memasuki
ruang perpustakaan yang lumayan dingin karena AC yang tersistem selalu menyala.
“Peserta telah selesai mengikuti apel
kegiatan. Peserta akan mulai berpencar dalam hitungan
1
2
3
Peserta sudah mulai berpencar. Diharapkan
panitia bersedia di posisi masing-masing.”
Suara dari walkie talkie yang di
bawa Ansel berbunyi. Dan baru aku sadari, sedari tadi ia membawa alat itu di
saku celananya.
Ansel menatapku seakan tau apa yang ada
di pikiranku. “Kenapa? Baru nyadar?” katanya.
Namun tak kuhiraukan. Aku mengambil
tempat duduk yang paling jauh dari jangkauan AC. Sedangkan Ansel ikut duduk di
depanku.
“Cek, Reana.” Itu suara Ken dari
walkie talkie.
“Iya.”
“Oke, cuman ngecek.” Kembali tersambung
dengan kekehan khas Ken di akhirnya.
“Re…” Ansel memanggilku setelah beberapa
menit kami terdiam.
“Hm?” aku masih fokus menatap pintu
perpustakaan, dengan kepala bertumpu dengan tangan di meja.
“Gue minta maaf.” Katanya lirih.
Tanpa kusadari, saat itu aku menahan
nafas.
“Gue gapunya penjelasan. Semua yang lo
liat emang bener.” Katanya. Dan kutahu saat ini ia sedang menatapku. Pelan-pelan
kukeluarkan nafasku dengan penuh beban. Sesak…
Hatiku remuk redam. Mengetahui sesuatu
yang selama ini kusangkal, adalah benar.
Ansel. Laki-laki yang menyukaiku dan
kusukai. Kami menjalin hubungan sebelum masing-masing dari kami menjadi OSIS. Tapi,
ah…
Rasanya sakit, saat mengetahui bahwa ia
mempunyai seseorang setelahku. Atau, aku yang setelah gadis itu?
“Kita udah gaada hubungan apa-apa lagi,
An.” Kataku, dengan datar.
Dia yang lebih dulu memutuskanku, tanpa
ada penjelasan dan apapun itu. Hanya informasi dari teman yang mengatakan bahwa
ia sudah punya pengganti. Video yang mereka kirim, tak pernah kulihat. Karena aku
masih berharap, suatu saat Ansel datang, dan mengatakan bahwa itu bohong.
Aku berusaha untuk profesional, masih
mengerjakan dan berbincang dengannya seperti biasa. Walau tak bisa
kusembunyikan, ada yang berdarah di dalam diriku.
Dan kini, saat semuanya telah kembali
seperti semula. Mengapa baru sekarang keberaniannya muncul kepermukaan?
“Gue salah.” Katanya. “Gue minta maaf,
Rea.” Suaranya bergetar.
Kami terdiam. Aku yang meminta agar
telinga ini tidak mendengar apapun dan dia bersama gejolak pikirannya.
“Re,… jawab gue.” Ujar Ansel.
Aku menghela nafas. menegakkan tubuhku.
Menatapnya sekuat tenaga, menahan tangis agar tak pernah tertitik air mata lagi.
“Ansel. We don’t have any relationship anymore.” Aku
berusaha tersenyum. “You broke my heart so deep. And there are no words I can
say to you, now, tomorrow, forever.”
“Gue minta maaf. Gue pengecut.”
“Yes you are.” Kataku dengan nada
seperti tidak terjadi sesuatu yang salah diantara kita.
Ansel menatapku “Gue bakalan jelasin
kalo lo nanya, Rea. Apapun itu gue bakal jawab. Lo jangan gini, Re. Gue berhak
lo marahin. Gue berhak lo caci atau lo tampar. Lo tendang gue, lo pukul gue, it’s
okay Re. Tapi jangan diem kayak gini, gue gabisa kalo lo kayak gini Re.” ucapannya
terlihat frustasi, namun aku tetap diam, tidak menanggapi.
“Lo seharusnya ga biarin gue kayak gini
doang. Gue salah, dan gue berhak tanggungjawab.” Kata-katanya menggebu. Semi wajahnya
meredup.
“Re… please, I don’t want you hurt
yourself too far. Lo bisa mukul gue dimanapun. Gue ga akan marah.” Ansel
berusaha menggenggam tanganku, namun dengan cepat aku menepis.
“Lo ada yang punya, An. Tolong jaga
sikap.” Jawabku. Beranjak untuk pergi dari ruangan itu, namun dicegat olehnya.
“Gue bener-bener minta maaf, Reana. Gue
tau gue bener-bener salah.” Ansel menggenggam pergelanganku. Berlutut.
Ia menangis.
Ansel. Ketua OSIS yang selalu bersikap
netral dan teratur, kini menangis. “Gue tau lo pasti sakit hati. Gue yang
goblok.”
“Ansel, lepasin. Bakalan ada peserta
yang ke sini.” Aku mencoba membuka gengaman tangannya, namun ia malah
mengeratkan genggaman tersebut.
“It’s okay. Let them see, that I’m
not strong as they think. Gue juga manusia. Dan sekarang, gue bukan Ketua
lo. Gue orang yang udah buat lo sakit. Gue minta maaf, karna baru sekarang
bilang.”
Seperti sesuatu yang menekan, dadaku
sesak.
Melihat Ansel di depanku, Entah
keberanian darimana, tanganku melayang untuk menamparnya.
Kulihat raut terkejut darinya, namun
tak ada satupun kata yang dilontarkan.
“Lo tau, An? Lo egois banget!” kataku
dengan sekali hentakan.
“Kita udah bukan siapa-siapa lagi. dan lo
sekarang ada orang yang seharusnya lo jaga hatinya. Gue harus gimana, An? Lo bukan
pacar gue yang bisa gue marahin. Bukan siapa-siapa lagi. Dimana gue dapet hak
buat marah atau kecewa? Bahkan sebelum gue bisa ngerasain marah, lo udah
mutusin gue tanpa ngasih gue penjelasan satupun itu jenisnya.”
Air mata yang telah memupuk membuat
pandanganku kabur. Nafasku semakin memendek dan kepalaku mulai merasakan sakit.
“L-lo jahat banget sama gue, An.” Aku menangis
terisak.
“Gue salah apa sama lo, An? Gue pernah
buat lo marah, ‘kah? Atau buat lo ga nyaman? Kenapa lo kayak gini ke gue?”
tubuhku bergetar. Tanganku seperti kebas. Sesuatu mengalir, seperti terhempas
ke luar dari tubuhku.
Kutahu, genggaman tangannya mengerat. Seakan
menyuruhku meluapkan semua yang ingin kuluapkan selama ini.
“Gue sayang sama kalian berdua, Re. lo
sama dia.” Kata-katanya… kata-kata yang menjadi titik jatuh segala pikiran
positif yang kupupuk selama ini.
“G-gue gangerti. K-kenapa lo kayak gini
k-ke g-gue.” Semakin lama semakin memberat. Kepalaku merasakan sakit luar
biasa.
Bersamaan dengan pintu perpustakaan
yang terbuka keras dan teriakan Ken yang kudengar.
“
“Bangsat
lo Sel!”
Bugh!
Satu bogeman dari Ken membuatku menjerit.
“Keen!! Lo ngapain?!” kataku terkejut.
Genggaman Ansel terlepas. Namun Ken
sepertinya masih tidak bisa mengontrol emosinya.
“Lo gabisa dibilang manusia! Lo binatang,
bangsat! Gue malu, lo jadi ketua gue!”
Bugh! Bugh!
Ken menghajar Ansel yang hanya bisa
terdiam pasrah menerima semua pukulan dari temannya sendiri.
Ken yang biasanya ceria, dan selalu mempunyai
cerita lucu, kini berubah seperti seseorang yang tidak kukenali.
Aku menjerit kembali saat denyutan di
kepalaku semakin menjadi. Bahkan kini menarik nafas saja rasanya susah.
Aku bersimpuh sambil menangis, menahan
rasa sakit yang kian menguat.
Rasa sakit yang sudah hilang lima tahun
yang lalu, kini kembali muncul. Membuat bayangan trauma masa lalu menghantuiku.
“K-Ken, t-tolong g-gue.” Kataku lirih.
Satu kali tendangan pada Ansel, sebelum
Ken membopongku cepat keluar dari ruangan itu.
“Dia bilang, lo boleh mukul dia
dimanapun. Jadi, anggap aja semua impas, Re. lo jangan gini dong. Lo gabiasa
sakit kayak gini.” Kata Ken. Kakinya bergerak cepat. Samar-samar aku masih
mengingat beberapa orang bertanya kenapa bisa aku berakhir seperti ini.
Dan dibalas bentakan kesal oleh Ken.
“Lo jangan tutup mata lo dulu. Tahan ya,
Re.” suara Ken bergetar. “G-gue sayang sama lo, Re. please, don’t make me like
this, Re.”
Lanjutan suara Ken tak lagi bisa
kudengar. Kurasakan seperti kantuk yang menyergap kuat. Dan mataku tertutup
sepenuhnya.
Satu lagi. laki-laki yang menangis malam
ini karenaku.
Minggu, 30 Mei…
Dariku, untuk diriku sendiri.
Aku melihat semuanya. Semuanya tanpa
terkecuali. Saat Ansel tanpa alasan memutuskan Reana demi diriku. Saat tatapan
mata Reana kosong tiap berada didekat Ansel. Dan saat perilaku Reana padaku
tidak berubah sama sekali, padahal ia tahu semua yang terjadi.
Aku sedih saat mengetahui akar
permasalahannya ada padaku, dan aku hanya bisa menonton dan menikmati. Ansel yang
menangis sembari mengenggam tangan Reana. Dan Reana yang terbujur kesakitan. Ancaman
Ken sebelum laki-laki itu masuk ke perpustakaan. Semua aku tahu. Dan aku hanya
bisa diam.
Aku masih ingat kata-kata Ken. “Lo
seneng semuanya kayak gini?” Menyakitkan rasanya.
Tuhan… aku yang salah. Seharusnya aku
tidak banyak bertingkah saat tau bahwa Ansel sudah mempunyai seseorang, namun seperti
ada hal di dalam diriku ingin menaklukannya.
Ansel sangat baik, namun aku tau, bahwa
seharusnya ia tidak melakukannya demi membahagiakanku. Dan terlebih lagi, Reana…
aku tidak tau terbuat dari apa hatinya.
Rasanya kesal saat mengetahui bahwa
tidak ada marah yang keluar dari Reana saat Ansel memutuskannya secara sepihak.
Marah saat tau laki-laki yang sudah menjadi milikku masih sesekali menatap
orang lain. dan kutau semua yang kulakukan adalah salah.
Titik puncak ketika aku tak bisa berkutik
saat menatap mata Ken yang penuh kilatan marah padaku sambil berjalan cepat
membopong Reana.
Tuhan… apakah masih bisa aku mencoba
untuk mengatur ulang kembali puzzle yang sudah hancur?
Tertanda,
I.K
Comments
Post a Comment