Confuse
I don’t know what exactly I want, but
this story I made, because of my heart.
Jam menunjukan pukul satu dini hari.
Udara tengah malam terasa dingin masuk dalam ke sendi-sendi. Tidak terlihat
bulan di langit, mungkin karena mendung tipis menutupinya.
Albina Viora, gadis manis yang sedang
bersender di palang balkon kamarnya. Selimut coklat tersampir di bahunya, dan
kedua tangannya menggenggam erat mug dengan coklat panas. Ia seakan mematung
dengan mata yang menatap lekat jauh pemandangan malam.
Sudah lebih dari tiga jam ia tetap
berdiri di balkon, tanpa melakukan apa-apa, hanya membuang dan menghirup udara
malam. Mereleksasi pikirannya untuk
sementara.
Dengan gerakan perlahan, ia menyisir
rambut hitam panjangnya, mengeratkan selimut, dan meneguk coklat panas tersebut
hingga tak bersisa.
Secarik senyuman terbit seketika di
wajah Albina. Lega, seperti mendapatkan energi kembali. Entahlah, balkon kamar
adalah salah satu tempat favoritnya setelah dapur. Ia juga tidak tau mengapa.
Ia hanya suka dan merasa puas jika berada di dua tempat itu.
Saat dirasa sudah cukup untuk mengisi
energinya, Albina bergegas untuk tidur. Ia mengeratkan selimutnya. Udara
bertambah dingin saat angin mampir lalu pergi.
Jika semakin lama berdiam diri di sana,
akan dipastikan besok hidungnya tidak akan baik baik saja, dan kepalanya pasti
akan seperti mengangkat dua buah semangka besar. Jadi ia putuskan untuk
berhenti, dan berbalik menuju tempat tidur.
Namun, saat hendak berbalik badan, sepasang
tangan merengkuh tubuh mungilnya dari belakang.
“Kamu udah selesai?” suara laki-laki
yang begitu ia kenali menghantam indra pendengarannya. Bersamaan dengan
pelukkan yang semakin mengerat.
Albina tentu terkejut, dan dengan
terbata-bata ia bertanya. “K-kamu udah pulang?” tanya Albina gugup. Deru nafas
yang berat, menggelitik lehernya.
“A-arka, don’t do this.” Cicit Albina,
tangannya berusaha melepaskan pelukan Arka yang nota bene-nya adalah
suaminya sendiri.
Ya, mereka sudah menikah satu tahun
yang lalu. Saat Albina berumur 20 Tahun sedangkan Arka berumur 28 tahun.
Pernikahan yang didasarkan pada surat perjodohan dari mendiang kedua orangtua Albina.
Albina tidak bisa menolak saat itu,
karena orangtuanya tidak mempunyai sanak saudara satupun. Albina pikir, Arka
akan menolak, namun tidak ia sangka, Arka menurut dan berlangsunglah pernikahan
mereka. Pernikahan yang saat itu belum ada rasa apapun.
Namun, semakin lama, Arka menunjukan
sisinya. Menunjukan cintanya pada Albina. Walau, sampai sekarang, Albina masih
bimbang dengan perasaannya. Dan kebimbangan itu sering kali membuatnya merasa
bersalah.
Kembali pada masa sekarang. Arka yang
mendengar suara lirih istrinya malah semakin mengeratkan pelukan.
“Why? Why I can do something that I
have right to do.” Katanya, sambil tersenyum. Kembali melakukan aksinya,
dan malah lebih memperdalam menyusup ke balik leher Albina. Beberapa kecupan
singkat dilayangkannya di sana membuat Albina menahan erangan yang siap keluar.
Hah… Albina hanya bisa menghela nafas
dan berusaha tenang di posisi yang ambigu itu. Ia tahu laki-laki itu saat ini
hanya ingin bermanja-manja dengannya entah berapa lama pastinya.
Yah, tidak bisa dipungkiri bahwa Arka
juga manusia yang membutuhkan tempat yang nyaman. Dan bagi Arka, hanya Albina
yang bisa membuatnya nyaman. Siapa lagi? ibunya? Ah… akan ada ayahnya yang siap
menendang Arka kapan saja jika ia memeluk ibunya sedikit lebih lama.
Rapat dengan dewan direksi, pemantauan
global perusahaan, dan survei wilayah yang dilakukan Arka tiap hari sebagai
pemegang jabatan tunggal dari perusahaan besar yang bergerak di bidang IT
terkadang membuatnya lelah dan bosan. Melihat tumpukan kertas yang tak pernah
absen di meja kerjanya, tentu adalah hari-hari yang mengesalkan. Namun, lelah
itu bisa terbayar saat melihat Albina di rumah.
“Aku kira kamu pulang pagi.” Kata
Albina mengungkapkan isi hatinya. “Kamu mau mandi? Aku siapin baju ganti.” Gadis
itu berusaha mencari celah dari kungkungan laki-laki yang panjangnya saja dua
puluh senti lebih tinggi dari dirinya.
Arka menggeleng, matanya tertutup
rapat, indra penciumannya menyesap aroma tubuh Albina kuat-kuat. “Langsung
tidur aja.” Ujarnya singkat.
Albina menggeleng tidak setuju. “No!
oke, udah kak, lepasin dulu.” Albina susah payah membuka pelukan Arka.
“Ganti baju kamu, bau.” Katanya, mengacak rambut Arka.
“Kamu manggil apa tadi, hmm?” tanya
Arka menyadari kesalahan Albina. Bibirnya sedikit lebih bermain pada daun
telinga Albina. Dan tentu, membuat Albina menahan nafas sekuat tenaga.
“Ehm, enough Arka.” Albina
memperingatkan.
“Hmm?” wajah Arka kini telah berada
tepat di samping Albina, mengecup dan menggigit pipi kenyal yang menjadi
favoritnya.
“Hei, stop Arka.” Suara Albina
naik satu oktaf. Ia melepaskan kukungan Arka sekuat tenaga dan Arka mau tidak
mau menurut, mengikuti Albina yang masuk ke dalam kamar dan menutup balkon.
Albina dengan telaten melepaskan dasi laki-laki yang saat ini menatapnya
intens. Arka memang punya banyak cara untuk membuat Albina gugup.
“Don’t look at me like that.” kata
Albina.
“Why I can’t?” goda Arka.
“Just don’t.”
“Do your heart beats fast?” tanyanya
kembali.
Senyum smirk khas Arka Vaerro
muncul. “Kamu yang salah, ‘kan aku udah pernah bilang, jangan manggil kakak
lagi. kamu bukan adikku, Albina.”
Albina tersenyum kalem. Melipat dasi.
“Iya maaf.” Katanya sambil lalu. “Buka baju kamu, mandi dulu. Aku siapin air
hangetnya.”
Albina masuk ke kamar mandi yang ada di
dalam kamar mereka. Menyiapkan keperluan Arka, seperti handuk, baju ganti, dan
lainnya.
Arka masuk beberapa menit kemudian
dengan hanya menggunakan boxer. “Mandiin, Bi.” Katanya, bersender di dinding
kamar mandi.
Albina pura-pura tidak mendengarkan
kalimat itu. “Kamu mau makan apa? Kamu udah makan malem?” tanyanya.
“Mau makan kamu.” Jawab Arka asal,
menarik Albina untuk masuk kembali ke dalam kamar mandi.
“Ar-hmpph!” Arka mencium bibir Albina
lembut, namun sedikit menuntut.
Albina yang tidak siap, hampir terlena
dengan ciuman suaminya. Tidak bisa dipungkiri jika Arka adalah sosok laki-laki
idaman para wanita, walau minus di sikapnya yang agak dingin dan cuek.
Arka memperdalam ciumannya, dan mulai
meraba beberapa bagian tubuh istrinya.
Albina hendak menutup mata, namun perasaannya
yang bimbang kembali menguasai dirinya. Ia mendorong Arka, namun dengan cepat
Arka memeluknya.
“Can I ?” kata Arka lembut.
Lagi …. Albina menggeleng di dalam
pelukan Arka.
“I’m in my period, Arka.” Kata
Albina, masih dalam pelukan suaminya. Itu tidak sepenuhnya salah. Albina memang
saat ini sedang mendapatkan tamu bulanannya. Tapi tidak dipungkiri, Albina
merasakan rasa bersalah. Hatinya sesak, dan dalam diam ia mengucapkan beribu
maaf karena menolak laki-laki itu entah keberapa kalinya.
Sedangkan Arka hanya tersenyum, lalu
melepaskan pelukan mereka.
Setelah satu tahun menikah pun, Albina
masih menjadi seorang gadis. Arka dengan sabar menunggunya. Bahkan ia tidak
pernah memaksa Albina untuk melakukan hal yang istrinya itu benci.
Terkadang, Albina menyalahkan dirinya
sendiri dan selalu bertanya-tanya kenapa sampai saat ini perasaannya masih
bimbang. Padahal, Arka selalu memperlakukannya dengan baik, dan mertuanya yang
selalu menganggap Albina sebagai bagian dari keluarga.
Satu tetes air mata jatuh, Albina
menghela nafas lelah. Ia turun ke bawah untuk menyiapkan makanan untuk Arka.
Sedangkan di dalam kamar mandi, tidak
jauh perasaaannya seperti Albina, Arka juga berusaha kembali mengerti pilihan
gadisnya itu.
Comments
Post a Comment