Apa?

 

Apa yang sebenarnya harus kulakukan?
Singaraja, 2 September 2021
Second story
Author : Karisma

Jam mata kuliah pertama telah usai. Tiga jam dengan materi matematika diskrit cukup menguras tenaga. Sedikit terobati karena yang mengajar adalah seorang dosen muda tampan dengan pembawaan santai. Walau ketampanan tersebut hanya berlaku pada dua orang mahasiswa saja, yaitu aku dan satu lagi teman sekelasku, Yanti. Sisanya? Mereka tidak suka dengan sesama batang.

Kubereskan buku-bukuku yang berantakan di meja beberapa detik setelah dosen meninggalkan ruangan. Terlalu fokus untuk meninggalkan ruangan, hingga aku tidak menyadari saat salah satu temanku memanggil.

“Woi Ris. Daritadi juga dipanggil.” Seseorang menepuk pundakku. Kepalaku refleks menoleh dan,

“Ya?”

“Nanti jadi ada kelas lagi ga?” ternyata Geo. Laki-laki yang tempat duduknya paling depan.

“Enggak. Dosennya ada rapat di rektorat.” Ujarku menatapnya.

Geo mengangguk mengerti, badannya berbalik setengah untuk menginfokan itu ke teman-teman segerombolannya.

“Ijin ya, Ris. Kita mau vaksinasi ke dua.” Kata Geo, menenteng tasnya, berjalan ke luar. “Kalo jadi kuliah, titip absen jugaa.”

Aku berdeham samar, membiarkan mereka berlalu pergi.

Kujinjing tasku di pundak, lalu pamit mendahului teman-teman yang masih berbincang santai di dalam ruangan ini. Rencana awalku adalah menuju perpustakaan untuk mengerjakan beberapa tugas yang sudah semakin menumpuk ditambah dengan deadline yang menghimpit.

Melihat jam di tangan kananku yang masih menunjukan pukul sebelas pagi, aku bergegas menghubungi Nathan. Laki-laki dengan tinggi 180 sentimeter itu menyuruhku untuk menghubunginya setelah kelas usai.

Namun, baru saja tombol hijau ingin kutekan, seseorang sudah terlebih dahulu menepuk kepalaku, dan tetap membiarkan tangannya bertengger di sana.

Ya… siapa lagi jika bukan Nathan. Aku menoleh, melihat wajahnya yang segar.

“Baru selesai?” tanyanya, dengan suara khas  yang serak dan berat. Aku mengangguk, ia tampak keren dengan celana kain hitam panjang dengan baju polo jurusan berwarna navy.

“Kamu ada kuliah lagi?” kataku pada Nathan yang berjalan di belakangku. Masih dengan satu tangan bertengger di kepalaku, dan yang lainnya memegang ponsel.

“Enggak. Dosennya rapat. Dosen kamu juga ‘kan?” ujarnya sembari mengetik sesuatu di ponselnya. “Sekarang mau kemana?” lanjutnya, memasukkan ponsel tersebut ke tasku.

Kami berjalan menuju parkiran kampus, motor Nathan terparkir di sana. “Mau ke perpustakaan, ngerjain tugas. Kamu mau pulang?”

Nathan hanya menoleh sejenak padaku, kemudian mempercepat langkahnya. “Ayo. Kamu lelet.”

“Lha, kamu mau kemana?” Ia menyerahkan satu helm untukku, sedangkan satu helm lagi sudah ia gunakan.

“Ke sekretariatan dulu ya. Ada yang harus aku revisi. Setelah itu aku temenin kamu ke perpus.” Ujarnya saat kami sudah duduk di motor.

“Okee. Serius kamu mau temenin di perpus?” tanyaku sekali lagi.

Sedikit heran karena ini pertama kalinya ia menawarkan diri untuk menemaniku ke perpustakaan. Sebelum-sebelumnya? Jangan ditanya. Dekat dengan gedung perpustakaanpun ia akan menolak.

“Kamu mau aku bercanda?” tanyanya menimpali.

Raut wajahnya datar, terkesan dingin. Aku menghela nafas. Menjadi pasangan cowok cuek itu susah susah gampang.

“Kamu ngeselin.” Aku mencubit pinggangnya.

“Jangan gitu, aku lagi bawa motor.”  

“Terus harus gimana?” tanyaku kembali.

“Diem.” Jawabnya singkat.

“Gabisaaa.” Aku terkekeh sembari menggoyangkan sedikit badanku, membuat motor yang Nathan kendarai kehilangan keseimbangan.

“Jangan gitu, Ra.” Ujar Nathan untuk kedua kalinya.

“Hmmm.” Aku mendekatkan kepalaku, lalu kembali mengajukan pertanyaan. “Emang di secretariat BEM ada siapa aja?”

“Arista Radinka..!” suara Nathan naik satu oktaf.

Aku memasang raut wajah bingung. Apa? Kenapa?

“Kamu kenapa?” tanyaku tidak mengerti. Jika Nathan memanggilku dengan nama lengkap, ada sesuatu yang membuatnya kesal.

Mendengar pertanyaanku, Nathan berdecak, lalu memundurkan kepalaku yang tadi maju.

“Kamu diem dulu. Jangan maju-maju gitu.” Komentarnya.

Aku tidak menanggapinya lagi sampai gilirannya menceritakan beberapa hal tentang bagaimana kondisi perkuliahan di kelasnya. Ia ditunjuk menjadi salah satu guide untuk siswa pertukaran pelajar yang akan datang sepekan lagi.

“Ooh, sama siapa aja?” tanyaku, mendekatkan kepalaku lagi. Percayalah, suara Nathan itu pelan, dan aku tidak mempunyai kemampuan pendengaran luar biasa.

“Reyhan, Gilang, Vina, gatau lupa.” Nathan menyebutkan beberapa nama. “Ck, jangan dimajuin kepalanya, Ra.” Ujarnya sambil mendorong kepalaku ke belakang. Lagi.

“Ga kedengeran Nathan.” Ucapku dengan nada kesal. “Kamu sih ngomongnya pelan.”

Kudengar kekehan singkat dari laki-laki berkulit kuning langsat itu. Hanya itu saja, sampai kami tiba di gedung BEM.

Aku turun duluan, sedangkan Nathan membuka jok motor, mengambil beberapa dokumen yang entah itu apa.

Melihat gedung BEM yang kini terlihat ramai, membuat perasaanku tidak nyaman. Walau Nathan lumayan sering mengajakku kemari dengan alasan yang beragam, tetap saja aku masih tidak terbiasa melihat wajah dari manusia-manusia yang sempat menjadi panitia saat OSPEK-ku dulu. Bisa dibilang, aku masih belum move on pada kegiatan OSPEK yang Nathan bilang sedikit berlebihan.

Nathan yang melihatku bengong, dengan cepat menyambar tanganku untuk ikut bersamanya. “Kamu ngapain bengong? Masih takut?” tebaknya.

Aku belum sempat membuka mulut, saat suara Nathan lebih cepat terdengar yang seketika  membuatku seketika melongo mendengarnya.

“Kamu kerjain tugasnya di sini aja. Supaya bisa aku liat.”

Ujarnya dengan nada terlalu santai.  

Raut wajahnya langsung murung, apa maksudnya? Masa harus kerjain tugas di sana? Sarangnya kakak tingkat. Tidak, jangan lagi.

Nathan tertawa renyah, tangannya menyeretku masuk tanpa basa-basi. “Cuman ada Kadek, Fio, Gilang sama Anita aja di dalem.”

Laki-laki itu kini tidak bercanda. Terbukti saat pertama kali Nathan membuka pintu ruangannya, hanya ada empat orang yang disebutkan tadi menghiasi. Kadek dan Gilang membantuku membuat tugas, sedangkan Fio, Anita, dan Nathan merevisi laporan pertanggungjawaban kegiatan festival kemarin.

Sebenarnya, tanpa dibantu Kak Kadek dan Kak Gilangpun, aku masih bisa mengerjakan tugas sendiri, walau pasti tidak secepat jika ada yang membantu. Jika dengan mereka berempat, aku memang sudah akrab, karena kami merupakan alumni di SMA yang sama.

Kami bercanda di sela-sela kegiatan, Kak Gilang yang recehnya tidak tertolong, dengan Kak Fio yang mulutnya lebih tajam dari pisau merupakan paduan yang menarik. Kak Anita dan Kak Kadek merupakan duo jahil yang klop, sedangkan Nathan hanya menjadi pemeran tambahan yang pasif.

Kami selesai saat waktu mulai menunjukkan pukul lima sore. Kak Anita sudah pulang terlebih dahulu karena ingin menghadiri upacara keagamaan di pura tidak jauh dari kampus.

“Selain ini, ada lagi tugasnya Din?” tanya Kak Gilang sembari mematikan laptopnya.

Aku menggeleng. “Enggak kak, itu aja udah. Yang lagi satu itu tugas kelompok, besok mau ketemu sama temen-temen.”

“Udah ngerti ‘kan yang tadi kakak jelasin?” tanya Kak Kadek.

“Udah ngerti semua kak. Makasi banyak kakak.” Kataku riang.

Aku dan Kak Kadek saling bertatap-tatapan. Laki-laki dengan gigi gingsul itu menyiratkan sesuatu dari matanya. Dan tentu saja aku tau pasti apa yang ia mau.

“Inget ya.” Katanya sembari menggendong tasnya.

“Wokeh.”

Kak Kadek mengancungkan jempolnya padaku, Kak Gilang hanya tertawa melihat interaksi kami. Ia juga tau apa yang dimaksud kak Kadek, karena kita bertiga berdiskusi tentang itu tadi.

Kak Fio menyerahkan berkas rampung ke Nathan, lalu mereka berbicara lagi tentang tanda tangan siapa saja yang dibutuhkan, dan dimana mencarinya. Setelah mereka selesai berbicara, kami semua keluar dari ruangan tersebut.

Kak Gilang, Kadek, dan Fio lebih dulu pamit karena aku masih menunggu Nathan mengecek dan mengunci ruangan yang merupakan basecamp mereka.

“Kamu tadi ngomong apa sama Kadek?” tanya Nathan. Tangannya berkelok mengunci pintu yang terbuat dari kayu jati asli tersebut.

Aku mengkerutnya alis tanpa sengaja. “Ngomong apa?”

“Yang tadi, sebelum mereka pulang.” Nathan menatap mataku sejenak, sebelum kaki kami bergerak menuruni tangga.

“Oooh yang itu. Gaada apa-apa kok.” Jawabku sekenanya. “Langsung mau pulang?”

“Kamu sibuk?” tanya Nathan.

Saat kami di luar, suasana gedung sudah tidak seramai tadi siang. Beberapa anggota BEM dari fakultas lain masih ada di dalam gedung, tapi tidak untuk di luar. Suasananya sepi, karena mahasiswa dari fakultas yang gedungnya berdempetan dengan gedung BEM sudah semua selesai melangsungkan perkuliahan.

“Enggak juga. Besok ‘kan aku gaada kuliah. Kamu juga deh.” aku menerawang, mengingat-ngingat jadwal kuliah Nathan.

“Yaudah, jangan pulang dulu.” ujar Nathan. Ia mendahuluiku berjalan lebih cepat menuju tempat motornya terparkir.

“Hmm? Kamu kenapa?” tanyaku melihat ada yang aneh dari dirinya.

Nathan menoleh setelah ia menaruh berkas ke jok motor. “Kamu lama banget jalannya. Sini deh cepet.” Ujarnya.

Aku berjalan lebih cepat, hingga saat aku ingin mengambil helm di spion motornya, Nathan tanpa aba-aba berjongkok memelukku.

Aku terkejut saat itu, kutarik kembali tanganku yang ingin mengambil helm.

“Kamu kok pendek banget, Ra?” tanyanya ngawur. Suaranya serak, ia memeluk pinggangku erat. Dengan tenaganya yang sebesar itu, susah untukku melepaskannya.

Aku melihat sekelilingku, memastikan apakah ada yang melihat kami atau tidak. Aku cukup takut jika ada yang melihat dan salah mengartikan. Wajar karena aku baru mahasiswa semester dua. Semester baru bagi dunia perkuliahan.

“Gapapa, gaada liat Ra.” Nathan menenggelam kepalanya di bagian perutku yang terlapis dengan kemeja dan cardigan. “Capek ya, Ra.” Tambahnya dengan helaan nafas.

Aku diam, mendengarkannya. Kedua tanganku mengelus kepalanya, berharap ia merasa lebih nyaman. “Kamu masih suka sama aku?” Nathan bertanya lagi.

Aku terkekeh. “Kamu ngapain nanya gitu sih, Nat? Aneh deh.”

“Iya jawab aja, Ra.”

“Masih kok.” Ujarku sederhana. Entah kenapa, hatiku sedikit tersengat saat mendengar ucapanku sendiri.

“Nanti kalo udah enggak, bilang juga ya, Ra.” Katanya entah apa maksudnya.

Saat aku ingin bertanya, laki-laki itu sudah lebih dahulu berdiri. “Tapi semoga kamu ga bilang itu.”

Nathan membingkai wajahku dengan tangannya. Ia menunduk, mencium keningku. Mencium kedua pipiku, lalu berhenti saat wajahnya sangat dekat denganku. Manik mata laki-laki itu menunjuk bibirku, dengan terus mendekat.

Aku bisa rasakan jantungku berdetak sangat kencang, mungkin ia juga bisa mendengarkannya. Sungguh, aku tidak berani melihat. Mataku refleks tertutup, berharap aku mempunyai kemampuan berteleportasi saat itu juga.

“Untuk yang ini, sekarang disimpen. Nanti aku ambil kalau udah jadi.” Bisiknya.

Aku membuka mataku saat Nathan telah menjauhkan tubuhnya dariku. Ia mengambil helm lalu memasangkannya untukku.

“Makan dulu ya, yang deket aja. Supaya ga malem pulangnya.” Ujarnya saat motor kami mulai meninggalkan pekarangangan gedung BEM.

Udara sore ini membuatku kembali bernostalgia menuju beberapa tahun sebelumnya. Saat itu, Nathan merupakan salah satu OSIS yang bertugas untuk menjadi pendamping kelompokku.  Karena suatu kesalahpahamanku melihat jadwal lalu pergi ke sekolah saat seharusnya tidak ada acara, dan tanpa sengaja hanya Nathan yang ada di ruang OSIS, membuat kami bertemu. Aku masih ingat, daripada harus menyuruhku pulang, laki-laki itu malah menyuruhku untuk membantunya ikut memeriksa berkas siswa baru.

Dan saat itulah kebersamaan kami mulai terbangun. Nathan akan selalu memanggilku disetiap dia butuh bantuan, dan karena aku hanya seorang junior, aku selalu menurut, atau sekedar menggerutu jika aku lelah.

Nathan memang cuek. Tidak banyak bicara, dan terkadang kata-katanya menyakitkan, walaupun itu memang kenyataan. Namun, ada banyak hal yang mereka tidak bisa lihat dari sosoknya yang sebenarnya. Dan aku merasa istimewa saat menjadi salah satu yang mengetahuinya.

“Ra…” suara Nathan samar-samar terdengar bergabung dengan suara angin yang lumayan berisik.

“Yaa?”

Diam lagi tidak ada suara. Dan aku tidak bertanya kembali, hanya menikmati hari yang semakin malam, dan warna jingga dilangit yang membias dengan ungu juga merah muda.

Aku cukup mengerti kemana alur pikiran laki-laki yang sudah empat tahun menjadi pasanganku.

Namun walau begitu, aku masih merasa ada hal yang tidak bisa kupahami darinya.

“Kamu mau putus?”

Sangat tidak bisa kupahami.

 -bersambung


Aku tidak bisa banyak menjelaskan, kamu mengerti. Aku tetap diam, kamu memahami. Namun ntuk hal yang kulakukan kini dan nanti, apakah kamu masih bisa mengerti? - Nathan Suputra

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana?

S(t)ick with U

UNTUK SIA