Apa?
Jam mata
kuliah pertama telah usai. Tiga jam dengan materi matematika diskrit cukup
menguras tenaga. Sedikit terobati karena yang mengajar adalah seorang dosen
muda tampan dengan pembawaan santai. Walau ketampanan tersebut hanya berlaku
pada dua orang mahasiswa saja, yaitu aku dan satu lagi teman sekelasku, Yanti.
Sisanya? Mereka tidak suka dengan sesama batang.
Kubereskan
buku-bukuku yang berantakan di meja beberapa detik setelah dosen meninggalkan
ruangan. Terlalu fokus untuk meninggalkan ruangan, hingga aku tidak menyadari
saat salah satu temanku memanggil.
“Woi Ris.
Daritadi juga dipanggil.” Seseorang menepuk pundakku. Kepalaku refleks menoleh
dan,
“Ya?”
“Nanti
jadi ada kelas lagi ga?” ternyata Geo. Laki-laki yang tempat duduknya paling
depan.
“Enggak.
Dosennya ada rapat di rektorat.” Ujarku menatapnya.
Geo
mengangguk mengerti, badannya berbalik setengah untuk menginfokan itu ke
teman-teman segerombolannya.
“Ijin ya,
Ris. Kita mau vaksinasi ke dua.” Kata Geo, menenteng tasnya, berjalan ke luar. “Kalo
jadi kuliah, titip absen jugaa.”
Aku berdeham
samar, membiarkan mereka berlalu pergi.
Kujinjing
tasku di pundak, lalu pamit mendahului teman-teman yang masih berbincang santai
di dalam ruangan ini. Rencana awalku adalah menuju perpustakaan untuk
mengerjakan beberapa tugas yang sudah semakin menumpuk ditambah dengan deadline
yang menghimpit.
Melihat
jam di tangan kananku yang masih menunjukan pukul sebelas pagi, aku bergegas
menghubungi Nathan. Laki-laki dengan tinggi 180 sentimeter itu menyuruhku untuk
menghubunginya setelah kelas usai.
Namun,
baru saja tombol hijau ingin kutekan, seseorang sudah terlebih dahulu menepuk
kepalaku, dan tetap membiarkan tangannya bertengger di sana.
Ya… siapa
lagi jika bukan Nathan. Aku menoleh, melihat wajahnya yang segar.
“Baru
selesai?” tanyanya, dengan suara khas yang serak dan berat. Aku mengangguk, ia tampak
keren dengan celana kain hitam panjang dengan baju polo jurusan berwarna navy.
“Kamu ada
kuliah lagi?” kataku pada Nathan yang berjalan di belakangku. Masih dengan satu
tangan bertengger di kepalaku, dan yang lainnya memegang ponsel.
“Enggak.
Dosennya rapat. Dosen kamu juga ‘kan?” ujarnya sembari mengetik sesuatu di
ponselnya. “Sekarang mau kemana?” lanjutnya, memasukkan ponsel tersebut ke
tasku.
Kami
berjalan menuju parkiran kampus, motor Nathan terparkir di sana. “Mau ke
perpustakaan, ngerjain tugas. Kamu mau pulang?”
Nathan hanya
menoleh sejenak padaku, kemudian mempercepat langkahnya. “Ayo. Kamu lelet.”
“Lha,
kamu mau kemana?” Ia menyerahkan satu helm untukku, sedangkan satu helm lagi
sudah ia gunakan.
“Ke
sekretariatan dulu ya. Ada yang harus aku revisi. Setelah itu aku temenin kamu
ke perpus.” Ujarnya saat kami sudah duduk di motor.
“Okee.
Serius kamu mau temenin di perpus?” tanyaku sekali lagi.
Sedikit heran
karena ini pertama kalinya ia menawarkan diri untuk menemaniku ke perpustakaan.
Sebelum-sebelumnya? Jangan ditanya. Dekat dengan gedung perpustakaanpun ia akan
menolak.
“Kamu mau
aku bercanda?” tanyanya menimpali.
Raut
wajahnya datar, terkesan dingin. Aku menghela nafas. Menjadi pasangan cowok
cuek itu susah susah gampang.
“Kamu
ngeselin.” Aku mencubit pinggangnya.
“Jangan
gitu, aku lagi bawa motor.”
“Terus
harus gimana?” tanyaku kembali.
“Diem.”
Jawabnya singkat.
“Gabisaaa.”
Aku terkekeh sembari menggoyangkan sedikit badanku, membuat motor yang Nathan
kendarai kehilangan keseimbangan.
“Jangan gitu,
Ra.” Ujar Nathan untuk kedua kalinya.
“Hmmm.”
Aku mendekatkan kepalaku, lalu kembali mengajukan pertanyaan. “Emang di
secretariat BEM ada siapa aja?”
“Arista
Radinka..!” suara Nathan naik satu oktaf.
Aku
memasang raut wajah bingung. Apa? Kenapa?
“Kamu
kenapa?” tanyaku tidak mengerti. Jika Nathan memanggilku dengan nama lengkap,
ada sesuatu yang membuatnya kesal.
Mendengar
pertanyaanku, Nathan berdecak, lalu memundurkan kepalaku yang tadi maju.
“Kamu
diem dulu. Jangan maju-maju gitu.” Komentarnya.
Aku tidak
menanggapinya lagi sampai gilirannya menceritakan beberapa hal tentang
bagaimana kondisi perkuliahan di kelasnya. Ia ditunjuk menjadi salah satu guide
untuk siswa pertukaran pelajar yang akan datang sepekan lagi.
“Ooh,
sama siapa aja?” tanyaku, mendekatkan kepalaku lagi. Percayalah, suara Nathan
itu pelan, dan aku tidak mempunyai kemampuan pendengaran luar biasa.
“Reyhan,
Gilang, Vina, gatau lupa.” Nathan menyebutkan beberapa nama. “Ck, jangan
dimajuin kepalanya, Ra.” Ujarnya sambil mendorong kepalaku ke belakang. Lagi.
“Ga
kedengeran Nathan.” Ucapku dengan nada kesal. “Kamu sih ngomongnya pelan.”
Kudengar
kekehan singkat dari laki-laki berkulit kuning langsat itu. Hanya itu saja,
sampai kami tiba di gedung BEM.
Aku turun
duluan, sedangkan Nathan membuka jok motor, mengambil beberapa dokumen yang
entah itu apa.
Melihat
gedung BEM yang kini terlihat ramai, membuat perasaanku tidak nyaman. Walau
Nathan lumayan sering mengajakku kemari dengan alasan yang beragam, tetap saja
aku masih tidak terbiasa melihat wajah dari manusia-manusia yang sempat menjadi
panitia saat OSPEK-ku dulu. Bisa dibilang, aku masih belum move on pada
kegiatan OSPEK yang Nathan bilang sedikit berlebihan.
Nathan
yang melihatku bengong, dengan cepat menyambar tanganku untuk ikut bersamanya.
“Kamu ngapain bengong? Masih takut?” tebaknya.
Aku belum
sempat membuka mulut, saat suara Nathan lebih cepat terdengar yang seketika membuatku seketika melongo mendengarnya.
“Kamu
kerjain tugasnya di sini aja. Supaya bisa aku liat.”
Ujarnya
dengan nada terlalu santai.
Raut wajahnya
langsung murung, apa maksudnya? Masa harus kerjain tugas di sana? Sarangnya kakak
tingkat. Tidak, jangan lagi.
Nathan tertawa
renyah, tangannya menyeretku masuk tanpa basa-basi. “Cuman ada Kadek, Fio,
Gilang sama Anita aja di dalem.”
Laki-laki
itu kini tidak bercanda. Terbukti saat pertama kali Nathan membuka pintu
ruangannya, hanya ada empat orang yang disebutkan tadi menghiasi. Kadek dan
Gilang membantuku membuat tugas, sedangkan Fio, Anita, dan Nathan merevisi
laporan pertanggungjawaban kegiatan festival kemarin.
Sebenarnya,
tanpa dibantu Kak Kadek dan Kak Gilangpun, aku masih bisa mengerjakan tugas sendiri,
walau pasti tidak secepat jika ada yang membantu. Jika dengan mereka berempat,
aku memang sudah akrab, karena kami merupakan alumni di SMA yang sama.
Kami bercanda
di sela-sela kegiatan, Kak Gilang yang recehnya tidak tertolong, dengan Kak Fio
yang mulutnya lebih tajam dari pisau merupakan paduan yang menarik. Kak Anita
dan Kak Kadek merupakan duo jahil yang klop, sedangkan Nathan hanya menjadi
pemeran tambahan yang pasif.
Kami
selesai saat waktu mulai menunjukkan pukul lima sore. Kak Anita sudah pulang
terlebih dahulu karena ingin menghadiri upacara keagamaan di pura tidak jauh
dari kampus.
“Selain
ini, ada lagi tugasnya Din?” tanya Kak Gilang sembari mematikan laptopnya.
Aku menggeleng.
“Enggak kak, itu aja udah. Yang lagi satu itu tugas kelompok, besok mau ketemu
sama temen-temen.”
“Udah
ngerti ‘kan yang tadi kakak jelasin?” tanya Kak Kadek.
“Udah
ngerti semua kak. Makasi banyak kakak.” Kataku riang.
Aku dan Kak
Kadek saling bertatap-tatapan. Laki-laki dengan gigi gingsul itu menyiratkan
sesuatu dari matanya. Dan tentu saja aku tau pasti apa yang ia mau.
“Inget ya.”
Katanya sembari menggendong tasnya.
“Wokeh.”
Kak Kadek
mengancungkan jempolnya padaku, Kak Gilang hanya tertawa melihat interaksi
kami. Ia juga tau apa yang dimaksud kak Kadek, karena kita bertiga berdiskusi
tentang itu tadi.
Kak Fio
menyerahkan berkas rampung ke Nathan, lalu mereka berbicara lagi tentang tanda
tangan siapa saja yang dibutuhkan, dan dimana mencarinya. Setelah mereka
selesai berbicara, kami semua keluar dari ruangan tersebut.
Kak
Gilang, Kadek, dan Fio lebih dulu pamit karena aku masih menunggu Nathan
mengecek dan mengunci ruangan yang merupakan basecamp mereka.
“Kamu
tadi ngomong apa sama Kadek?” tanya Nathan. Tangannya berkelok mengunci pintu
yang terbuat dari kayu jati asli tersebut.
Aku mengkerutnya
alis tanpa sengaja. “Ngomong apa?”
“Yang
tadi, sebelum mereka pulang.” Nathan menatap mataku sejenak, sebelum kaki kami bergerak
menuruni tangga.
“Oooh
yang itu. Gaada apa-apa kok.” Jawabku sekenanya. “Langsung mau pulang?”
“Kamu
sibuk?” tanya Nathan.
Saat kami
di luar, suasana gedung sudah tidak seramai tadi siang. Beberapa anggota BEM
dari fakultas lain masih ada di dalam gedung, tapi tidak untuk di luar. Suasananya
sepi, karena mahasiswa dari fakultas yang gedungnya berdempetan dengan gedung
BEM sudah semua selesai melangsungkan perkuliahan.
“Enggak
juga. Besok ‘kan aku gaada kuliah. Kamu juga deh.” aku menerawang,
mengingat-ngingat jadwal kuliah Nathan.
“Yaudah,
jangan pulang dulu.” ujar Nathan. Ia mendahuluiku berjalan lebih cepat menuju
tempat motornya terparkir.
“Hmm? Kamu
kenapa?” tanyaku melihat ada yang aneh dari dirinya.
Nathan
menoleh setelah ia menaruh berkas ke jok motor. “Kamu lama banget jalannya. Sini
deh cepet.” Ujarnya.
Aku berjalan
lebih cepat, hingga saat aku ingin mengambil helm di spion motornya, Nathan
tanpa aba-aba berjongkok memelukku.
Aku terkejut
saat itu, kutarik kembali tanganku yang ingin mengambil helm.
“Kamu kok
pendek banget, Ra?” tanyanya ngawur. Suaranya serak, ia memeluk pinggangku
erat. Dengan tenaganya yang sebesar itu, susah untukku melepaskannya.
Aku melihat
sekelilingku, memastikan apakah ada yang melihat kami atau tidak. Aku cukup
takut jika ada yang melihat dan salah mengartikan. Wajar karena aku baru
mahasiswa semester dua. Semester baru bagi dunia perkuliahan.
“Gapapa,
gaada liat Ra.” Nathan menenggelam kepalanya di bagian perutku yang terlapis
dengan kemeja dan cardigan. “Capek ya, Ra.” Tambahnya dengan helaan nafas.
Aku diam,
mendengarkannya. Kedua tanganku mengelus kepalanya, berharap ia merasa lebih
nyaman. “Kamu masih suka sama aku?” Nathan bertanya lagi.
Aku terkekeh.
“Kamu ngapain nanya gitu sih, Nat? Aneh deh.”
“Iya
jawab aja, Ra.”
“Masih
kok.” Ujarku sederhana. Entah kenapa, hatiku sedikit tersengat saat mendengar
ucapanku sendiri.
“Nanti
kalo udah enggak, bilang juga ya, Ra.” Katanya entah apa maksudnya.
Saat aku
ingin bertanya, laki-laki itu sudah lebih dahulu berdiri. “Tapi semoga kamu ga
bilang itu.”
Nathan
membingkai wajahku dengan tangannya. Ia menunduk, mencium keningku. Mencium kedua
pipiku, lalu berhenti saat wajahnya sangat dekat denganku. Manik mata laki-laki
itu menunjuk bibirku, dengan terus mendekat.
Aku bisa
rasakan jantungku berdetak sangat kencang, mungkin ia juga bisa mendengarkannya.
Sungguh, aku tidak berani melihat. Mataku refleks tertutup, berharap aku
mempunyai kemampuan berteleportasi saat itu juga.
“Untuk
yang ini, sekarang disimpen. Nanti aku ambil kalau udah jadi.” Bisiknya.
Aku
membuka mataku saat Nathan telah menjauhkan tubuhnya dariku. Ia mengambil helm
lalu memasangkannya untukku.
“Makan
dulu ya, yang deket aja. Supaya ga malem pulangnya.” Ujarnya saat motor kami mulai
meninggalkan pekarangangan gedung BEM.
Udara sore
ini membuatku kembali bernostalgia menuju beberapa tahun sebelumnya. Saat itu, Nathan
merupakan salah satu OSIS yang bertugas untuk menjadi pendamping kelompokku. Karena suatu kesalahpahamanku melihat jadwal lalu
pergi ke sekolah saat seharusnya tidak ada acara, dan tanpa sengaja hanya
Nathan yang ada di ruang OSIS, membuat kami bertemu. Aku masih ingat, daripada
harus menyuruhku pulang, laki-laki itu malah menyuruhku untuk membantunya ikut
memeriksa berkas siswa baru.
Dan saat
itulah kebersamaan kami mulai terbangun. Nathan akan selalu memanggilku
disetiap dia butuh bantuan, dan karena aku hanya seorang junior, aku selalu
menurut, atau sekedar menggerutu jika aku lelah.
Nathan
memang cuek. Tidak banyak bicara, dan terkadang kata-katanya menyakitkan,
walaupun itu memang kenyataan. Namun, ada banyak hal yang mereka tidak bisa
lihat dari sosoknya yang sebenarnya. Dan aku merasa istimewa saat menjadi salah
satu yang mengetahuinya.
“Ra…” suara
Nathan samar-samar terdengar bergabung dengan suara angin yang lumayan berisik.
“Yaa?”
Diam lagi
tidak ada suara. Dan aku tidak bertanya kembali, hanya menikmati hari yang semakin
malam, dan warna jingga dilangit yang membias dengan ungu juga merah muda.
Aku cukup
mengerti kemana alur pikiran laki-laki yang sudah empat tahun menjadi
pasanganku.
Namun walau
begitu, aku masih merasa ada hal yang tidak bisa kupahami darinya.
“Kamu mau
putus?”
Sangat
tidak bisa kupahami.
Aku tidak bisa banyak menjelaskan, kamu mengerti. Aku tetap diam, kamu memahami. Namun ntuk hal yang kulakukan kini dan nanti, apakah kamu masih bisa mengerti? - Nathan Suputra
Comments
Post a Comment