This is Me
Singaraja, 9 April........
_akarism
“Eo! Tunggu,…”
teriak seorang gadis yang tergesa-gesa memasukkan barang bawaannya secara tidak
teratur ke dalam tas kecil. Rambutnya telah sepenuhnya basah karena keringat, begitu
pula baju dan celana pendek yang ia kenakan.
Seorang laki-laki
yang dipanggil tadi, menghentikan langkah kakinya yang lebar, menoleh ke belakang.
“Cepet,
udah mau malem.” Katanya dengan enteng. Satu tangannya memegang tas parasut
yang di dalamnya berisi keperluan olahraga. Laki-laki dengan nama lengkap
Delonix Regia itu tersenyum kecil sembari mendecakkan kepalanya. “Makanya, jangan
serumah di bawa ke lapangan.” Ledeknya.
“Ini
namanya sedia payung sebelum hujan. Siapa tau ada yang perlu.” Elak gadis yang bernama
Analis Vanica.
Delon menghampiri
Ana yang masih saja belum selesai menyesakkan barang-barang tersebut. masih ada
setengah hal-hal yang menurut Delon tidak berguna yang tergeletak di rumput. Ia
mengambil salah satu, dan mengernyitkan dahinya.
“Lo
ngapain juga bawa betadin? Emang ini rumah sakit?” katanya.
Ana menoleh,
mengambil obat itu dengan secepat kilat, dan menatanya di tas. “Ini tuh buat lo
yang nanti jatuh. Supaya ga terinfeksi, supaya ga sakit besoknya. Gimana? baik
banget ‘kan gue?”
Delon melihat
juga kasa steril dan botol alkohol kecil. Tidak hanya itu, handsaplas, dan koyo,
kacamata, sunscreen, buku catatan kecil, pensil, pulpen, dan masih
banyak lagi.
Delon memejamkan
matanya sejenak sebelum kalimat kecil meluncur.
“Gue ga
bakalan jatuh.” Delon menarik tas Ana paksa.
Ana
menatap Delon sebentar, namun kembali fokus pada pekerjaannya. “Lha siapa tau,
ke-pd-an banget kalo lo bilang gitu mah.”
“Gue ga
bakalan jatuh.” Ulang Delon sekali lagi. dengan tangannya yang cekatan, barang-barang
yang tadi berceceran telah tersusun rapi di dalam tas Ana.
“Kenapa?”
tanya Ana, berdiri sembari menepuk-nepuk kedua tangannya yang kotor karena
tanah. Tatapannya jauh melihat seantero lapangan yang telah kosong. Angin semilir
menambah suasana sunyi di tempatnya kini.
“Gengsi
kalo lo liat.” Delon menggendong tas Ana di pundak kirinya. Tangannya menarik
baju belakang Ana. “Ayok, kayak siput lo jalannya.”
“Eoooo! Gue
susah jalan woi.” Kata Ana. Menurutnya, Delon sangat menjengkelkan jika sudah
di situasi ini. Ia bisa saja menyeret Ana tanpa rasa belas kasih dengan alasan
agar tidak terlalu malam sampai rumah, dan alasan-alasan lain yang membuat Ana
berpikir dua kali.
Delon menghela
nafas. Ia menyisir rambutnya yang basah ke belakang. Terlihat dari wajahnya
raut kelelahan, namun ia seperti menyangkal fakta itu.
Ana mengambil
tangan Delon, lalu menggenggamnya erat. Ia tersenyum tipis, lalu menarik Delon
yang masih menatap tangannya dalam diam.
“Gue mau singgah
ke pasar, beli kelapa muda, minum dulu di sana, sambil liat motor mobil. Habis
itu, beli keju ke minimarket.” Hening sejenak, Ana mengetuk dagunya seperti
berpikir tentang sesuatu yang ia lupa, dan tidak lama, tangannya menjentik di
udara. “Oh iya, gue juga ada buku yang harus gue beli, judulnya…..” Ana mengoceh
banyak, masih dengan menggenggam tangan Delon. Matanya terlihat bersinar,
membayangkan rencana-rencana absurdnya sebelum tidur nyenyak hari ini.
Seperti anak
ayam yang menurut, Delon dengan sabar mendengar semua ocehannya. Tidak hanya
itu. di penghujung sore, mereka mengelilingnya kota, memenuhi permintaan Ana
tanpa banyak bicara. Walau terkadang, tercetus kata-kata yang tajamnya melebihi
belati, Anna seakan tidak mendengar itu. mungkin karena telah terbiasa.
Malam ini
setengah sinar bulan menghiasi langit. Bersama bintang dan planet yang
memantulkan sinarnya untuk mempercantik langit bumi. Remang lampu taman
beriringan menghantar jalan pulang, seperti berkata, ikut aku. Hari ini, udara ikut
mendampingi dengan kestabilan sempurna. Dan kota ini seperti hidup dengan
segala hiruk pikuk yang terjadi di setiap sudutnya.
“Eo…”
panggil Ana saat mereka telah sampai di tujuan terakhir. Toko buku favorit Ana
sejak mereka berdua masih kecil. Pemiliknya adalah seorang wanita tua dengan
senyum yang selalu ramah menyapa Ana dan Eo.
“Hmmm?” Walau
Delon kadang kesal jika Ana masih saja memanggilnya seperti itu, ia tetap saja
menjawab. Eo adalah panggilan saat Ana belum fasih mengucapkan huruf l, hal itu
tentu tidak untuk sekarang, hanya saja lidah Ana yang masih memberlakukan
panggilan itu hingga mereka kini berumur tujuh belas tahun.
“Lo mau
punya pacar yang kayak gimana?” tanya Ana setelah ia sedikit berbincang bersama
nenek pemilik toko buku. Mereka menuju lantai dua untuk melihat beberapa buku pelajaran
dan novel.
Dengan santai,
Delon menanggapi pertanyaan Ana. “Lo maunya kayak gimana?” tangannya ia masukkan
ke dalam saku, dan tubuhnya ia senderkan ke dinding. Delon melihat Ana yang
nampak tidak biasa. Ia tau, pikiran gadis itu berkelana entah kemana, walau
yang kini di hadapannya adalah novel bersampul putih dengan judul “This is me”
“Gue ‘kan
nanya ke lo, kenapa lo balik nanya sih? kebiasaan.” Ana berlalu sambil
berdecih, novel yang tadi ia ambil dipegangnya, dan ia berjalan menuju rak
lain.
Delon
masih bersandar di dinding, dengan mata terpejam. “Gue belum kepikiran.” Katanya.
Disambung dengan kalimat kecil yang Ana masih dengar. “Kalo sama lo, gimana?”
“Udah
berapa kali lo nembak gue?” Ana terkekeh, walau Delon tidak berekspresi demikian.
“Entah,
udah berapa kali?” tanya Deon, melihat pucuk kepala Ana yang masih mengelilingi
rak.
“Gue
lupa.” Sahut Ana. “Kenapa lo ga sama dia aja?”
Delon
kembali memejamkan mata, lalu berujar dengan nada yang sama seperti Ana. “Kenapa
lo ga sama gue aja?”
“Ada hati
yang gue jaga.” Kata Ana dengan lembut, seakan memberi pengertian pada Delon. Tidak
ada jawaban dari Delon, dan Ana kembali asik dengan buku dan pikirannya.
Mereka berdua
sama-sama membisu dan hanya ada alunan akustik yang tersiar di speaker
toko buku tersebut. Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang menyadari sesuatu
yang penting telah terlewatkan, entah kapan akan kembali menyatu atau sekedar
bertemu.
Mereka
turun ke dasar bangunan setelah Ana selesai dengan kegiatannya. Ia memilih tiga
novel untuk koleksinya, termasuk novel bersampul putih yang ia ambil tadi. Dan sisanya
ada di genggaman Delon, dua buah bank soal bahasa inggris dan mandarin, satu
paket buku fisika kimia biologi, dan hal yang membuat Delon tidak mengerti
adalah, Ana membeli buku tentang tutorial belajar bermain piano. Dan saat
laki-laki itu ingin bertanya, Ana lebih dahulu menyela.
“Gue
tau lo bisa main piano, tapi jangan kepdan, gue mau ngasih hadiah buat temen
gue. Kebetulan dia juga mau belajar keyboards.” Katanya, tanpa mau menatap
mata Delon dengan jelas. Sedikit janggal, namun Delon tidak mempermasalahkan hal
tersebut.
Ana membayar
semua buku tersebut, sedangkan Delon menunggu di motornya. Ia melihat Ana yang
tertawa ringan seperti tanpa beban. Terkadang hal itu membuatnya khawatir,
namun ia tidak tau bagaimana cara menyampaikannya.
Mereka pergi
dari toko buku tersebut dengan segudang cerita yang Ana bagi pada Delon di
tengah perjalanan. Mulai dari guru fisika yang memberinya nilai A di mata
pelajaran Kinetik, sampai berapa menit ia mandi pagi tadi.
Hingga, motor itu berhenti di pagar rumah Ana. Gadis itu kesusahan turun karena buku-buku yang ia pegang. Delon membantunya turun dengan sedikit mengangkat tubuh Ana yang bisa terbilang mungil.
“An…” kata Delon, sembari membuka helm gadis
itu.
“Ya?” sahut
Ana, mendongakkan kepalanya untuk menatap Delon.
Delon balik menatap mata Ana serius namun hanya sebentar, ia mengalihkannya dengan berjalan membuka jok untuk menyimpan helm dengan stiker kupu-kupu jadul itu. Sebelum ia
benar-benar meluncur pergi, Delon akhirnya mengatakan sesuatu yang ia tahan
sejak lama. Ana terdiam, tanpa tau harus mengatakan apa. Hingga lampu motor
Delon menghilang di pertigaan jalan, air mata gadis itu menggenang di pelupuk. Dadanya
sesak, wajahnya memerah.
“Kalo
lo bilang, ada hati yang lo jaga. Gue juga.” Delon menatap mata Ana, tersirat hal yang membuat degup jantung Ana yang tiba-tiba lebih cepat.
“Ada hati
yang gue tunggu.”
-Singaraja, 8 Februari 2021-
Hii, this is me.
Apa kabar, Eo? gue harap sih lo ga secuek sejutek kayak cewek yang lagi PMS, walau gue juga gapercaya kalo lo udah berubah banyak. Lo waktu baca ini ada dimana ya? di gunung kah? di kamar lo kah? atau jangan-jangan lo lagi pacaran sama someone, hehehe.
Ini gue, entah berapa tahun yang lalu. Gue mau cerita, sekarang gue ada di rumah, dengerin lagu Inside Out dari The Chainsmokers. Btw, ini malem, sekitar jam setengah satu. Hebat banget 'kan gue? bisa begadang sampe jam segini itu bener-bener sesuatu yang Ugh bagi gue. Apalagi begadangnya karna mau nulis surat buat lo.
Untuk sekarang, gue sehat, dan semoga tetep sehat supaya gue gaperlu ngasih surat ini ke lo. Bayangin aja, lebbay banget ga sih? pakek surat segala. Tapi ya gapapa, supaya ada drama dikit. Hidup lo terlalu monoton, terlalu monokrom. Dan gue dateng, buat lo tau warna merah kuning hijau yang mana, itu lho, yang lampu traffic light.
oke serius:"D
Ini gue, temen lo dari jaman bayi sampe selamanya. Ini gue yang selalu dateng waktu lo sakit, atau dateng waktu lo maksa. Ini gue yang sering berantakin dapur bareng sama mama lo, dan gue yang sering main tenis bareng papa lo. Ini gue yang sering ngidupin musik di laptop lo, atau sekedar nyimpen film terbaru. Gue yang sering bersihin kamar lo, atau naruh sesuatu yang pasti bakal tetep ada di kamar lo. Gue yang suka dateng ke kelas lo, atau gue yang sering gangguin lo waktu di ruang musik.
Ini gue yang suka warna putih, karna lo suka warna hitem. Ini gue yang punya sandal kodok warna item yang lo kasih waktu ulang tahun gue yang ke empat belas. Ini gue yang ada di saat lo jatuh, disaat lo bahagia, atau disaat papa lo ga ngasih keluar. Gue yang denger lo nangis, gue yang denger lo ngumpat, dan gue yang selalu denger lo nembak gue.
Gue suka lo. Dan gue tau seberapa sayang lo sama gue. Jadi, di surat ini, gue mau jujur. Walau mungkin lo gaakan buka karna gue terlalu malu.
Hii, this is me.
Ini gue, yang suka sama lo sebelum lo suka sama gue. Ini gue yang sayang sama lo, gue yang cinta sama lo, gue yang takut kalo lo sakit, gue yang khawatir kalo jam tujuh malem lo belum sampe di rumah, gue yang cemburu waktu lo deket sama dia.
Maaf ya Eo. Karna gue, lo sakit hati. Tapi, gue gamau minta maaf, karna gue gamau jadi pacar lo. Gue punya pertimbangan yang lebih matang dari lo.
Gue gamau, nanti lo hidup sendiri, sedangkan gue udah bahagia di tempat yang lo gabisa datengin kayak lo dateng ke sekolah.
I love you, so I let you be free.
I like you, so I don't wanna hurt you forever
I will love you, even you don't know.
I will keep looking to you, even you will hate me someday
I will pray to you, even you will never know.
Sekian. Maaf.
Makasih udah ngajarin gue banyak hal. Oh ya, waktu itu lo pernah bilang, ada hati yang lo tunggu.
Gue cuman mau bilang, gaada hati yang lo tunggu. Karna semua hati gue, buat lo.
-Analis Vanica.
Singaraja, 8 Mei......
Nyesek ya bund endingnya:"
ReplyDeleteUduddudu ðŸ˜ðŸ”«
ReplyDelete