PANDORA
Matahari
berkabut ditutupi oleh mendung yang kian lama kian menebal. Namun, aktivitas di
sini seperti tidak terganggu sama sekali. Tidak ada yang peduli akan hujan atau
panasnya hari ini. Mereka, tetap pada fokusnya masing-masing.
Aku
mengeluh dalam hati. Masih ada tiga putaran yang belum kuselesaikan, dan satu
putaran untuk lari secepat-cepatnya atau yang biasa disebut sprint sebagai
penutup. Bajuku telah habis terlalap keringat, yang awalnya berwarna biru
langit, menjadi biru laut dalam. Ikatan rambutku sudah tak berbentuk rapi, dan
kupastikan aku harus menyisirkan dengan hati-hati malam ini.
Aku
melihat dia yang berjarak satu meter lebih depan dariku. Tidak bersuara sama
sekali, dan hanya bisa kudengar helaan nafas beratnya beberapa kali. Dengan
banyaknya lalu lalang pengguna lapangan, kami semakin bisu terdiam.
Mungkin
sudah hampir setengah jam, dia masih belum mau menyudahi larinya. Dan aku hanya
membuntuti dari belakang, berusaha menyejajarkan jarak. Langkah kakiku tentu
lebih pendek dan kecil darinya. Namun, aku masih bisa mengejar ketertinggalanku
saat putaran terakhir menghampiri.
Dengan
sisa tenagaku, aku mempercepat langkah kakiku. Pikiranku berkelana menuju
angkasa luas, dengan biru dimana saja. aku seperti terbang, menempuh kecepatan
cahaya, meninggalkan awan komulunimbus yang menggelayut manja.
Kudengar
kekehan khasnya. Dan aku merasakan langkahnya dipercepat, sehingga kami berada
pada posisi yang beriringan. Tak habis pikir, masih bisanya ia mengacak
rambutku yang sudah kusut dan bau dengan senyum yang terpatri sempurna di
wajahnya.
“Ternyata
kau kuat juga ya, Kim.” Ujarnya, tanpa membuat tarikan nafasnya menjadi tak
beraturan.
Aku ingin
menjawab dengan bangga, namun aku tidak ingin karena perkataan Diaz, membuatku kehilangan
kestabilan nafas yang sudah susah payah kuatur.
Namanya
Diaz, kuperkenalkan dia untukmu. Laki-laki manis yang jahil. Wajahnya bulat,
namun tidak gemuk. Jika memakai kaos tang top, aku bisa dengan leluasa
melihat otot-otot yang seperti roti siap makan itu. tidak terlalu besar, namun
tidak terlalu kecil.
Diaz tipe
laki-laki yang tidak suka olahraga di dalam ruangan. Gym? Jangan tanya,
ia tidak pernah sama sekali memasuki tempat itu. Aku pernah menyuruhkan sekali
saja untuk angkat beban, dan yang terjadi malah aku yang diangkatnya seperti
karung beras keluar dari tempat itu. aku mengingat jelas saat dimana aku tidak
bisa lagi memperlihatkan wajahku di depan teman-temanku yang telah berjerit
histeri mengungkapkan kekagumannya pada Diaz.
Diaz
lebih suka menyuruhku untuk duduk di punggungnya sembari ia menyelesaikan satu
menit push up-nya. Dan aku akan dengan senang hati duduk di sana, sambil
berkelana dengan pikiranku. Diaz adalah laki-laki yang tidak terduga.
Membangunkanku di tidur malam dan mengajakku berlari keliling kota adalah
kebiasaannya. Dan jika aku tidak membuka mata, ia mempunyai seribu cara agar
aku memakai sepatu.
Mataku
menajam saat lintasan garis finish terlihat. Ingatanku tentangnya perlahan
memudar. Hormon endorphin mengalir di nadiku, mengantarkan rasa senang
ketika mengetahui sedikit lagi, aku selesai dengan senam kaki yang melelahkan
ini.
Kupercepat
ritme kakiku berpijak di serpihan serpihan bata merah. Kutarik bibirku, agar
sedikit senyuman bisa terbit dari sana. Tapi, tentu itu tidak akan berhasil.
Karena Diaz dengan cepatnya menarik tanganku, dan memaksaku untuk berlari lebih
kencang, mengikuti kecepatannya. Aku susah payah menyuruhnya berhenti karena
itu tidak sesuai dengan tempoku. Namun, yang namanya Diaz, keras kepala.
Alhasil,
ia menang, lebih dulu mencapai finish yang sudah kami tentukan sebelumnya. Dengan
cengirannya, ia menaruh dua tangannya di bahuku. Mengatur nafasnya yang
terengah-engah.
Aku
berusaha menyingkirkan tangannya. Tapi, tenaganya terlalu kuat. Gerah, aku tau
ia ingin membuatku kesal. Aku tipe yang memang paling anti bersentuhan sesudah
berolahraga kardio seperti lari. Dan dia akan senang hati mempermainkan
kelemahanku.
“Kau bisa
menyingkir. Diaz.” Ujarku lirih, karena nafas yang belum stabil.
Ia
menggeleng dengan cepat. Mendekatkan dirinya, dan tanpa sempat menghindar, kini
aku sudah berada di dalam pelukannya. Meronta ingin dilepaskan. Bajunya yang
basah, dan tangannya yang penuh keringat menempel di leherku.
“Diaz!”
pekikku kaget. Ia tertawa mendengarnya. Malah mengeratkan pelukan.
“Lepaskan
Diaz! Banyak orang yang melihat, apa kau tidak malu?”
“Never,
untuk apa? Jika aku malu, maka kau juga sama saja. Jadi aku tidak peduli.”
Ujarnya santai.
“Dan
lagi, untuk apa kau malu? Jangan terlalu munafik, Kim. Kau tidak senang jika
ada laki-laki tampan yang memelukmu dengan gratis? Aku tidak meminta bayaran,
jadi nikmati saja.” lanjutnya menjengkelkan. Ia mengoceh lebar menganggumi
bahwa tubuhnya itu idaman pada wanita dan selainnya.
Aku tidak
tahan. Keringatnya memang tidak bau, sama seperti aroma tubuh alaminya. Namun,
yang kurisihkan adalah keringatku yang mengucur kian deras karena panas.
Dan jalan
terakhirku hanya menginjak kakinya. Membuatnya menari kesakitan. Pergerakan rasa sakit seperti tusukan jarum jarum kecil menghampiri dadaku, tapi kuabaikan.
“Diaz! Kau tidak boleh seperti itu.” ujarku kesal.
"Kenapa tidak boleh?"
"Keringatmu bau." alibiku.
Diaz mengernyit heran, dengan polos mengendus ketiaknya. "Tidak." ujarnya menatapku seperti bayi.
Aku berusaha keras menahan tawa karena tingkahnya. "Terserahmu." kataku beranjak menuju tempat dimana barang-barang kami, kami letakkan. Jaket, dua handuk, tas kecil. Handuk coklat tua kulempar padanya, tidak peduli jika jatuh ke tanah atau berhasil. Aku berusaha mengeringkan diriku sendiri dengan handuk berwarna coklat muda, dengan gambar beruang kutub di ujungnya.
Aku duduk
bersila. Membuka air minum, dan meneguknya perlahan. Diaz menghampiriku, dan
tidur di sampingku, dengan handuk yang ia jadikan bantal darurat.
“Jangan
habiskan airnya, Kim.” Ia memperingatiku. Aku hanya berdeham singkat. Melihat
mendung yang semakin tebal saja.
“Hmmm.”
“Sisakan
aku juga.” Tambahnya.
Aku menggeram
jengkel. “Iya, Diaz! Kau tidak perlu mengingatkanku terus.”
Diaz
tertawa kecil. “Aku takut kau lupa.” Katanya mengambil botol yang kusodorkan
padanya.
“Hari ini
malam minggu, wanna go out?” ajakknya, menoleh manis ke arahku setelah
menghabiskan air itu tanpa sisa.
Áku menatap
matanya dalam. Diaz adalah teman semasa kecilku. Kehadirannya di hidupku tidak
bisa kujelaskan secara jelas, karena banyak keabu-abuan yang menyelimuti kami. Dan
aku tidak akan meminta kejelasan, karena aku tidak ingin suatu hal terjadi.
“Where?”
tanyaku. Diaz mengedikkan bahu sebagai jawaban bahwa ia juga tidak tau.
“Entah,
aku hanya malas untuk pulang.” Ucapnya jujur.
“Aku
ingin makan dimsum.” Kataku, setelah beberapa detik diam melamun.
Ia
menjentikkan jarinya di depan wajahku, tetap dengan senyum cerahnya. “Setuju!
Aku akan mengantarmu ke tempat makan dimsum yang enak, Kim. Aku janji kau akan
menyukainya.”
“Tidak,
kau tidak bisa berjanji.” Kataku sambil menghelas nafas. “Kau saja tidak
menyukainya, bagaimana kau bisa mengatakan bahwa itu adalah makanan terenak
yang akan aku suka?” tanyaku balik, sembari menarik paksa handuknya untuk
kulipat.
Dengan
segera, ia memindahkan kepalanya dengan mandiri ke pahaku. Menatapku lekat, dan
membuat sesuatu di dalam sana kembali berdegup kencang.
“Kau
meremehkanku?” kata Diaz dengan nada tidak percaya yang dibuat-buat.
Ujung-ujung bibirku tertarik sendiri melihat tingkahnya. Lucu. Sangat jarang
melihatnya seperti ini, apalagi jika di depan orang banyak. Ia paling akan
menampilkan wajah yang datar tanpa ekspresi. Dan tersenyum tipis dalam bentuk
kesopanan saja.
Aku
menggeleng. Merapikan barang-barang kami agar muat di tas kecil itu.
“Aku
sudah mengajak teman-temanku untuk makan di sana. Menyimpulkan menggunakan ekspresi
mereka bahwa dimsum di sana memanglah juara.” Ia menutup mata, membiarkan angin
sejuk menyapu wajahnya. “Jadi, kau pasti suka. Suka seratus persen.”
Tanganku
gatal untuk bermain di rambutnya. Namun kutarik kembali. Sadarlah, Kim! Kau
tidak bisa melakukan itu. Dadaku berdenyut nyeri, tanpa ia ketahui.
“Bagaimana?
Apa kau mau makan di sana?” tanyanya. Nadanya lembut, mendayu di telingaku.
“Aku
hanya ingin, makan dimsum tidak terlalu mendesak.”
“Ayolah,
Kim. Kita sudah lama tidak keluar dan bebas seperti ini. Kita dekat, tapi aku tidak bisa mendekatimu
begitu saja. Dan kau seakan bisu saat melihatku berpapasan.” Ujarnya berterus
terang.
“Kau
seperti berada di duniamu sendiri. Dan aku ditarik paksa untuk tidak masuk. Barrier-mu
sangat kuat.” Tambahnya lagi, menghela nafas berat.
Aku
terkekeh, walau dalam hati ada rasa yang kutahan dalam-dalam. “Kau terlalu
bermajas. Bukankah sekarang aku di sini?” kataku menyemangatinya. Bahwa aku
lupa, untuk mengatakan jika diriku tidak baik-baik saja.
Aku
berpura-pura menimbang. Mengetuk dagu dengan jari telunjuk. “Aku akan pergi,
jika kau yang trakt-“
“Kapan
kau membayar jika pergi bersamaku? Aku tidak akan memungut sepeser uang darimu,
Kim. Aku bisa membelikanku makanan itu.” katanya memotong pernyataanku.
“Oh
ayolah, akan kubayar semua yang kau pesan, dengan bayaran kau akan menghabiskan
malam minggu ini bersamaku, bagaimana? Setuju?” katanya, bangkit dari posisi
tidurnya.
Aku
tersenyum. “Apakah ada kata lain untuk menolak?” kataku.
Diaz
tersenyum tulus, dan itu adalah senyuman manis yang tak hentinya kukagumi. “Tentu
saja. Tidak.” Katanya tegas.
Dan malam
itu, mulailah waktu kami untuk menghabiskannya. Hingga surya terbit di ufuk
timur, dan ketika dirinya sudah kembali ke milik orang lain.
Diaz,
laki-laki yang tidak hentinya memutar balikkan fakta dan rasa. Tersenyum dengan
dua wanita atau lebih, dan akan berubah di hari kemudian. Aku tidak mengerti
jalan pikirnya. Apakah ia memiliki rasa pada semua wanita yang digandengnya,
ataukah hanya sebagai bahan permainan? Tatkala ia membuatku melambung tinggi,
tidak akan berlaku di menit kemudian saat ia telah menyalur rasa di bibir
tipisnya itu.
Rasanya
sesak, namun aku bisa apa? Akan gila jadinya jika aku harus marah dan kesal
tidak beralasan padanya, bukan?
Terkadang,
Diaz memberlakukanku sebagai seorang yang istimewa, namun terkadang ia
menjatuhkanku ke parit yang dalam. Aku tidak mengerti arti dari senyum yang
terus-menerus kupuja dan kuingat. Apakah ia memang tersenyum, atau ada makna
lain yang tersirat?
Aku
selalu di dalam belengu abu jika berhadapan dengannya. Seperti sekarang,
terjadi lagi.
Angin
malam membakar panas, menelusuk sejuk di dalam jaket denim itu. tangannya yang
hangat, menggiring kedua tanganku untuk berpegangan erat di pinggangnya,
sementara ia melajukan motor sport biru itu dengan kecepatan tinggi.
“Berpegangan,
Kim. Aku masih tidak ingin jika harus menjadi tersangka akibat kecelakaanmu.”
Katanya.
Dadaku
kembali berdegup lebih cepat. Pasokan oksigen mengembung di pipiku, membiarkan
semburat merah jambu tipis mewarnainya dengan alami.
Aku
menurut untuk mendekatkan badanku. Dan kembali ia berkata sembari suara decakan
yang masih bisa kudengar jelas.
“Kau tau,
pegangan yang erat, Kim. Aku tidak mau jika harus membayar biaya operasi yang
terjadi karena kelalaian dirimu sendiri.” Katanya sedikit lebih keras. Bertepatan
dengan motor yang melaju, melebihi kecepatan sebelumnya. Spontan aku
mengeratkan pelukan tangan di pinggangnya. Merasakan hangat punggungnya yang
terbalut jaket dingin di hari berhujan ini.
Perjalanan
itu, adalah perjalanan kesekian kali yang tidak akan bisa kulupakan. Beralasan
Dimsum, entah siapa yang memulai. Pohon-pohon rindang di tepi jalan, dan cahaya
lentera minyak dari warung dan kafe retro. Aroma tanah yang segar menguak
begitu saja, terkena terpa bayu. Lembayung senja mulai pudar di ufuk barat. Gurat
kemerahan bercampur malam, berasimilasi dan membias hilang dari peradaban.
Kami terdiam.
Aku mengelenakan pikiranku kemana saja. Tetapi tetap berujung dengan laki-laki
ini yang menjadi objek utama.
Tiga tahun
yang lalu, Diaz datang menghampiriku, dengan wajah yang panik dan nafas tak
beraturan. Baju seragamnya basah seperempat karena setengah. Rambutnya acak-acakan,
dasinya entah kemana sudah terlempar.
Ia menghampiriku
saat tuts piano masih kulantunkan dengan pelan. Suasananya sama seperti sekarang,
senja berujung malam. Belum sempat aku bertanya tentang keadaannya, ia sudah
memelukku dan menangis sejadi-jadinya.
Meracau,
bahwa keluarga satu-satunya telah pulang ke tangan pencipta dunia. Mengatakan bahwa
Tuhan sangat membencinya, karena telah menyingkirkan ibunya dari sisinya. Mencerca
bahwa ia sangat pilu saat ibunya menghembuskan nafas di dekapannya.
“Kau
dimana, Kim? Saat aku mencarimu? Apakah kau juga akan meninggalkanku?” katanya
lirih, masih dengan tangan yang mendekap erat tubuhku yang kecil.
Mataku memanas,
aku berusaha sangat keras untuk tidak menjatuhkan bulir air mata. Aku tidak
ingin ia merasa terpuruk, kini gilirannya yang mengadu, dan aku akan diam
menemani.
“Kenapa
kau tidak menjawab? Aku mencarimu seperti orang gila, dan kau malah asik memainkan
piano tua ini disini. Ini sudah malam, seharusnya kau tidak di sini.” Hatiku
menghangat. Aku tersenyum dalam menahan rasa sakit di dadaku yang kembali
keluar.
Tidak taukah
dia, bahwa sebelum satu-satu keluarganya itu menghembuskan nafas, aku di sana,
menunggu ibunya yang bercerita banyak tentang kenangan Diaz saat kecil. Dengan bibir
sayu yang masih saja tersenyum bangga. Hatiku nyeri, tenggorokanku kering. Dan saat
itu aku hanya bisa mengusap lembut tangan beliau yang tak lagi muda.
“Aku bahkan
hanya bisa mendengar namaku yang diucapnya terakhir kali.” Kata Diaz,
tangisnya masih mengalir.
Aku belum
berkata apa sejak tadi. Dengan Diaz yang seperti ini, ia sudah menyakiti dua
gadis sekaligus. Biarlah aku tidak dianggapnya, namun bagaimana dengan satu
gadis yang tersenyum pedih mengintip di daun pintu ruangan musik itu?
Diaz,
jika memang kau menyukainya, kenapa kau berlari kembali? Kenapa kau egois ingin
menginginkan semuanya?
“Kau
sudah makan, Diaz?” tanyaku. Memberanikan diri untuk mengusap rambut
yang sudah lebat itu.
Mataku menoleh
untuk menatapnya lamat, tanganku menengadahkan wajahnya yang merah karena
tangis. Aku mengusap pelan, air mata yang masih menderai itu.
“Apakah
kau masih ingin menangis?” kataku lirih. Menekan semua sesakan dada yang
memberontak untuk keluar. “Kau boleh menangis sepuasmu, jika kau tetap
menginginkanku tinggal. Tapi, kau sudah dewasa, Diaz. Kau mempunyai orang yang
juga sangat menyayangimu.” Aku menarik kedua bibirku susah payah.
“Dimana
kau tinggalkan dia?” dia yang kumaksud saat itu adalah gadis yang kini
sedang menjalin hubungan dengannya. Gadis yang beberapa menit lalu sudah
berlalu dari tempat persembunyiannya di daun pintu.
Kulihat Diaz
tidak terlalu mau membicarakan hal itu. Ia kembali menelungkupkan wajahnya di
pahaku. “Aku tidak peduli. Aku sudah bosan dengannya.” Ujarnya singkat.
Hatiku teriris
sakit. Taukah dia bahwa setiap kali ia berkata seperti itu, akan ada masalah
yang esok akan menimpaku. Diberi julukan pihak ketiga adalah hal yang paling
menyakitkan. Apa salahku? Aku sudah berusaha pergi, namun ia seperti menahanku
dengan kunci.
Aku memeluknya
erat, dan malam itu kami terlelap di sana, dengan Diaz yang balik memelukku.
Aku menghela
nafas mengingat itu. kejadian setelahnya membuatku kembali harus mempertahankan
tameng dan wajah tanpa ekspresi. Aku ingat saat itu mendung bergelayut di
langit.
Seperti Déjà
vu. Yang berbeda hanyalah tempat dan waktu. Saat itu, kami di sekolah, dan
kini aku terjebak di rumahnya, dengan dua paket dimsum jumbo yang aku yakin
tidak bisa menghabiskannya dalam semalam. Apalagi, Diaz membeli dua, mengatakan
saat itu bahwa ia akan membantuku memakannya. Jus mangga kesukaanku, dan jus
papaya favoritnya. Tidak lupa satu paket susi yang juga ia beli entah untuk
siapa.
Hujan di
luar sangat deras. Separuh dari tubuhku telah basah, antara memang air hujan,
atau sisa keringat di lapangan tadi. Pemandangan luar dari kaca jendela rumah
Diaz sangatlah indah. Bintang-bintang bumi yang dibuat dari beribu lentera di
tiap bangunan.
Diaz
menyukai arsitektur yang unik, elegan namun tetap sederhana. Rumah ini adalah
hasil nyata pertama bukti ia mencintai arsitektur sedalam itu.
“Kau
tidak ingin ganti baju?” kata Diaz yang entah kapan sudah menggunakan baju kaos
berwarna putih, dan celana pendek hitam. rambutnya tersampir handuk putih.
“Kau
kehilangan ingatanmu, Diaz?” kataku menyindir. “Aku tidak punya baju di sini.”
Diaz
malah mendekat setelah aku mengatakan hal tersebut. harum tubuhnya memang
memabukkan. Dan wajah segar sehabis mandi itu, membuatkan kembali terbius.
“Aw!”
pekikku tatkala satu sentilan mendarat di dahiku. Dia yang melakukan itu,
dengan wajahnya yang sangat menjengkelkan.
“Kau yang
hilang ingatan!” katanya. Lalu menunjuk dengan matanya, baju yang sudah ia
siapkan entah darimana. Baju setelah berwarna coklat muda dengan rajutan
gambaran beruang besar di depan.
Dan saat
bibirku sudah ingin bertanya, ia kembali menutup dengan telapak tangannya. “Kau
jangan banyak bicara, aku lapar, Kim. Jika tidak mau kau yang kumakan,
setidaknya cepatlah mandi, dan cicipi semua makanan itu.” katanya. Tidak lupa
menggosok rambutku dengan handuknya.
“Aku lupa
menyiapkan handuk. Pakai itu saja!” katanya berteriak, mengambil semua kresek
makanan itu menuju dapur.
Setelah
mandi, semua hidangan telah tersusun rapi di meja makan, di tambah pemandangan
dengan Diaz yang tersenyum seraya mengetik pesan dari ponselnya.
Aku sedikit
bertanya-tanya, siapa yang ia ajak bertukar pesan. Tapi lagi-lagi, aku tidak
punya alasan untuk bertanya. Dan yang kulakukan hanyalah duduk di sampingnya
dan mulai mengambil berbagai jenis dimsum yang sudah ia belikan tadi.
“Katakanlah
dulu selamat makan padaku. Kenapa kau menjadi pasif begini.” Ia mendengus,
mengambil sumpit yang sudah pas di tanganku.
“Hey!
Kembalikan.” Kataku.
“Selamat
makan, Kim.” Ujarnya, memakai sumpitku.
“Kenapa
kau senang sekali mengangguku, Diaz? Kau bisa mengambil sumpit yang lain.”
Ia
menggeleng. “Tidak ada. Pelayan itu hanya memberi sepasang sumpit.” Katanya
membela diri. Mencapit-capit udara dengan sumpit bambu ditangannya.
Aku hanya
menghela nafas lelah. Aku beranjak menuju ruang tamu, menghidupkan TV tanpa mau
tau apa yang akan ia lakukan dengan semua makanan itu. mood-ku sudah
dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Padahal aku sudah berpikir bagaimana
rasanya jika dimsum itu kucicipi satu demi satu.
“Kau
sedang datang bulan, Kim?” tanya Diaz sembari terkekeh.
“Tidak.”
Kataku cepat.
“Tapi
kenapa kau emosian seperti ini.” Diaz duduk di sampingku, dengan membawa
semangkuk besar yang isinya dimsum. Ia mengalungkan tangannya di leherku,
membuat jarak kami amat dekat.
“Kau
mau?” katanya.
“Aku
lapar.” Jawabku, namun manik mataku tetap fokus pada tayangan tv yang
menyiarkan salah satu film bioskop yang membuatku tertarik.
Di ujung
mata, kulihat Diaz menggeleng kepalanya heran, lalu mengambil satu dimsum dari
menggunakan sumpit itu, dan mengarahkannya padaku.
“Bagaimana
jika aku akan menyuapimu, dan kau bisa leluasa menonton tayangan itu?” katanya,
dengan lembut.
“Hmm.”
Ujarku. Dan mulailah satu persatu dimsum hangat masuk ke mulutku. Diaz mengoceh
hal-hal yang tidak terlalu jelas kudengarkan.
“Seharusnya
bisa seperti ini saja sudah bagus. Udara di luar sepertinya memang mengharuskan
kita di sini.” Diaz menyuapkan dimsum ketiga padaku, dan aku masih tetap tidak
bergeming.
Kudengar ia
menarik nafas dalam. “Kau tidak akan pernah tau, Kim.” Katanya lirih. Aku penasaran,
namun aku tetap pada posisiku saat ini.
Hujan sangat
berisik di luar. Semakin menderas. Udara dingin ikut masuk ke celah-celah
jendela kaca itu.
Sedari lama,
Diaz diam membisu, entah apa yang dilakukannya di sampingku. Masih dengan
memegang mangkuk yang telah kosong.
“Diaz.” Kataku
pelan. Aku menguap, menoleh ke arahnya yang sialnya ia sedang menatapku lekat.
“Hmm?”
“Bersuaralah.
Biasanya kau tidak pernah kehabisan kata.” Ucapku.
“Dan
sekarang aku kehabisan kata.” Jawabnya, lebih mendekatkan tubuh kami berdua. “Aku
terkadang berpikir, sampai kapan aku harus menunggu. Dan kenapa kau tidak
pernah bersikap ceroboh?” tanyanya, tidak memutuskan kontak mata kami.
Matanya coklat
madu, bersih dan bersinar. Alisnya tebal, walau bulu matanya tidak lentik. Guratan
wajahnya memang menegaskan bahwa umum saja jika ia banyak disukai kaum hawa.
“Kenapa
kau malah mau melihat sikap cerobohku?”
Diaz tersenyum
manis, namun aku melihat kesedihan yang terpantri jelas. “Tidak.” Katanya singkat.
Aku mengalihkan tatapanku kembali ke tv.
“Aku
ingin mencoba menjadi pahlawan kesiangan yang menyelamatkanmu dari monster.” Aku
terkekeh mendengar kata-katanya.
“Ya, kau
sudah seperti itu.”
“Kapan?”
tanyanya.
Aku terdiam.
“Selalu.” Ada rasa dalam diriku yang ingin egois. Mengatakan bahwa bagaimana ia
bisa menjadi pahlawan disaat dia sendirilah monster yang selalu ada. Terkadang menggerogoti,
dan kembali menyembuhkan.
Bagaimana
aku bisa berkata seperti itu?
“Kim.” Panggilnya.
Ia menyisir rambut sebahuku dengan hati-hati. Sentuhan kulit tangannya yang
sedikit kasar, kembali membuat yang ada di dalam dadaku merontak.
“Aku
kesepian.” Tepat saat aku menatap matanya, ia mendekatkan wajahnya hingga hidung
kami bersentuhan.
Aku terbius,
menatap manik matanya yang tajam dan lembut secara bersamaan. “Apakah kau bisa
berjanji tidak meninggalkanku?” katanya, menatap surai beberapa rambutku yang
mengenai wajahku, dan membersihkannya.
“Kenapa
aku harus berjanji?” tanyaku di tengah ketidakberanian. Kakiku susah payah
kusuruh diam. Aku tidak mau jika ia melihatku sebagai gadis lemah.
Bibir kamu
bersentuhan, dan kalimat terakhirnya membuat emosi dalam diriku tak terbendung
lagi.
“Karena
aku membutuhkanmu.”
Air mataku
mengalir pertama kalinya di depannya. Aku menutup matanya. Bibirku kelu tidak
bergerak. Ia menggerakkannya dengan denyutan kecil yang dimana itu membuat
perasaanku seperti terjerembab di jurang dalam yang dingin.
“Kenapa
kau egois, Diaz?” kataku saat ia perlahan menyingkirkan tanganku yang ada di
matanya.
Ia tertegun
melihatku berceceran air mata. “Kim.” Panggilnya.
“Kau
membutuhkanku? Dan kau membutuhkan wanita lain. Kau tidak bisa terus-menerus seperti
ini, Diaz. Ini salah.” Aku berupaya mengontrol nadaku.
Aku menangkup
wajahnya dengan kedua tanganku. “Kau membuatku tidak berdaya. Kau menganggap
aku ini apa, Diaz?” cercaku.
“Kau
menciumku disaat kau juga bercumbu dengan wanita lain. Kau memelukku disaat kau
juga tersenyum hangat ke yang lainnya. Aku tidak mengerti, apa arti diriku di
matamu, di hatimu, dan dipikiranmu. Kenapa kau memperlakukanku sesukamu?” ia
diam, dengan mata sayu yang menyerang mentalku.
“Tidak
ada teman yang saling bercumbu. Kau mengertikan maksudku?” aku menunduk, tak tahan
meliat iris mata itu.
“Aku
sakit, Diaz.” Kataku terisak. “Kau ingin menjadi penyelamat padahal kau yang
membuatku sakit? Apa kau gila, Diaz?”
“Aku
membutuhkanmu juga, namun aku tidak seegois dirimu. Kau tidak membiarkanku
dengan laki-laki lain disaat kau selalu salah berganti wanita. Apa aku hanya
boneka kayu di matamu?”
“Kim, aku
tidak bermaksud begitu.” Kata Diaz, memegang kedua pundakku kasar. Matanya berkilat
marah.
Aku takut,
“Lalu apa?” tanyaku.
Dan ia
terdiam tak bisa menjawab. Seketika pandanganku kabur. Kumohon jangan sekarang.
Aku tidak ingin ia melihatku lemah. Dadaku kembali terasa tertikam benda keras.
Kumohon, setidaknya biarkan aku menunggu jawabannya.
Aku menjerit,
nyeri di kepalaku tidak tertahanku. Diaz panik memanggil namaku seraya menepuk
pipiku. Aku bertahan di tengah-tengah rasa sakit yang menjalar dari dua arah. Aku
menangis sejadi-jadinya. Sejujurnya ini sakit sekali. Sungguh.
Aku meneteskan
air mataku haru. Tuhan, biarkan aku sesaat. Aku mendengar sayup-sayup suara
Diaz yang meneriakkan namaku, dan telp yang telah tersambung dengan pihak
medis.
“Di..az.”
kataku lirih, dengan kesadaran yang sudah menipis tipis
“Aku
sebenernya menyukainya, jauh sebelum aku tau rasa cinta seperti apa.”
Diaz
menggeleng. “Berhentilah keras kepala, Kim! Aku tau, jadi kau harus bertahan.”
“Tidak,
tidak ada lagi alasanku untuk bertahan.” Kataku.
“Aku
hanya bersyukur, jika masih ada kenangan yang bisa kupeluk erat.”
Hai, Kim.
Apa kabarmu? Dimana kau sekarang? Dan dengan siapa? Apakah kau makan dengan baik
di sana? Apakah kau bisa tersenyum, dan apakah kau bisa melihatku? Aku sedang
menulis surat untukmu, Kim. Surat kesekian kalinya, dan mungkin akan menjadi
surat terakhir.
Kim, hari
ini hujan kembali turun. Aku kedinginan. Hanya ada baju coklat bergambar panda
di sampingku. Menemaniku yang haus akan dirimu. Pemandangan kota di luar sana
sangat damai, walau hiruk pikuk terus terdengar dan klakson mobil beberapa kali
berbunyi. Apakah kau melihatnya? Senang rasanya jika kau juga melihatnya.
Kim, aku
ingin meminta maaf. Bisakah kau mendengar maafku yang keterakhir kalinya? Aku
salah karena telah berbohong. Aku salah karena terlalu egois. Dan aku salah
karena tidak memberitahumu tentang kebenaran yang selama ini kusimpan rapat.
Aku,
tidak ada siapapun yang mengambilku darimu, dan tidak akan ada siapapun yang
mengambilmu dari diriku. Kau berkata bahwa aku mengekangmu, semata-mata bahwa
aku ingin melindungimu. Mereka tidak baik, dan hanya memanfaatkan dirimu saja.
aku tidak ingin kau disakiti lebih dari sekali. Dengan kata lain, biar aku saja
yang kau salah pahami.
Wanita-wanita,
gadis-gadis itu. Sejak lama tidak berarti. Hanya kau yang berarti, pertama dan
terakhir. Aku ingin tau, Kim. Aku ingin tau apakah kau juga mempunyai rasa
untukku? Atau hanya seperti itu saja jalannya. Kukatakan, aku memang tidak
langsung menyukaimu.
Berawal dari
ketidaksengajaanku membaca buku diary-mu yang saat itu tertinggal di kelas. Kau
tau betapa sakitnya hatiku saat kau menyembunyikan kebenaran tentang dirimu. Apakah
aku tidak cukup kau percaya? Aku akan mendampingimu walaupun kau mengidap sakit
apapun itu. Aku berjanji, Kim. Karena itulah aku ingin menjagamu, melampaui
batas wajar dimana aku harus berhenti mengkhawatirkanmu.
Suatu hari,
aku melihat ibuku menangis sambil memelukmu, dan kau seperti bergumam bahwa kau
akan baik-baik saja, kau akan menjagaku, dan kau akan terus di sampingku. Apa itu
benar?
Penyakit itu,
aku benci, Kim. Kenapa kau tidak memberitahuku. Jika kau pernah bertanya, apa
arti dirimu di mataku, bisakah aku bertanya sebaliknya? Seberapa penting aku di
matamu? Kau sama saja egois, Kim. Kau membuatku benar-benar terpuruk dan
sendiri.
Aku selalu
melihat ibuku yang mengantarmu ke rumah sakit, dan saat hari dimana ia
menghembuskan nafas terakhir, aku tahu bahwa kau lebih dahulu di sampingnya. Kau
begitu menyayanginya. Tidak sebanding dengan sayangku padanya.
Kim, aku
mencintaimu. Terlepas dari bagaimana dan kapan adanya. Aku ingin kau tau bahwa
aku selalu mendukungmu. Bukan hanya kau saja yang sesak akan hal yang konstan
ini, namun aku juga sepertimu, sayang.
Aku ingin
kau tahu, bahwa aku selalu berusaha untuk mengungkapkan isi hatiku, dan
bersamaan dengan kau yang kembali salah paham. Aku berjerih payah untuk memberi
tahumu, Kim. Dan kau malah menganggap itu sebagai hal yang menyakitkan.
Bagaimana
aku harus bicara, jika saja telingamu tidak untuk mendengarkanku. Bagaimana caranya
aku mengungkapkan, jika matamu saja tidak terlahir untuk melihatku dengan
jelas.
Tapi, aku
ingin memaafkan diriku sendiri, dan meminta maaf dengan dirimu. Kau kuat, Kim. Aku
bersyukur, seperti yang kau katakan. Kenanganmu akan kugenggam erat. Jika memang
bisa kulepaskan, akan kusimpan.
Pandora itu
indah, Kim. Kau pasti tau tentang itu. Namun, saat menelisik ke dalamnya, kita
sama sama terjebak ke dalam hal menyakitkan yang tiada ujung.
18
Desember…..
Diaz
Xenon.
4 Februari…
Hai, Aku
Kim Xian.
Hari ini
adalah hari yang menakutkan. Aku divonis penyakit ganas. Mama Diaz menangis, memelukku.
Namun entah kenapa aku kelu. Aku tak bisa merasakan empati atau bahkan simpati.
Aku hilang rasa.
Apakah aku
bisa bangkit, Tuhan? Apakah akan ada mimpi yang terwujud saat aku saja masih
bertopang dalam nafas orang lain.
Aku ingin
berlalu tanpa tahu yang sebenarnya terjadi. Biarkan aku meminjam sukma ini
untuk sementara. Dan akan kukembalikan saat semua telah jelas di mata dan
hatiku.
Mimpiku adalah,
melihatnya mendengar kata cinta dariku. Apakah itu akan terwujud dengan
kondisiku seperti itu?
Tuhan,
kuanggap kau membantuku, untuk mewujudkan itu. karena hal itu adalah kunci bahagiaku
dimana saja kau akan menempatkanku nanti.
Comments
Post a Comment