PANDORA

 



[17-18 Desember 2020]
sad story, by Karisma Dewi

Matahari berkabut ditutupi oleh mendung yang kian lama kian menebal. Namun, aktivitas di sini seperti tidak terganggu sama sekali. Tidak ada yang peduli akan hujan atau panasnya hari ini. Mereka, tetap pada fokusnya masing-masing.

Aku mengeluh dalam hati. Masih ada tiga putaran yang belum kuselesaikan, dan satu putaran untuk lari secepat-cepatnya atau yang biasa disebut sprint sebagai penutup. Bajuku telah habis terlalap keringat, yang awalnya berwarna biru langit, menjadi biru laut dalam. Ikatan rambutku sudah tak berbentuk rapi, dan kupastikan aku harus menyisirkan dengan hati-hati malam ini.

Aku melihat dia yang berjarak satu meter lebih depan dariku. Tidak bersuara sama sekali, dan hanya bisa kudengar helaan nafas beratnya beberapa kali. Dengan banyaknya lalu lalang pengguna lapangan, kami semakin bisu terdiam.

Mungkin sudah hampir setengah jam, dia masih belum mau menyudahi larinya. Dan aku hanya membuntuti dari belakang, berusaha menyejajarkan jarak. Langkah kakiku tentu lebih pendek dan kecil darinya. Namun, aku masih bisa mengejar ketertinggalanku saat putaran terakhir menghampiri.

Dengan sisa tenagaku, aku mempercepat langkah kakiku. Pikiranku berkelana menuju angkasa luas, dengan biru dimana saja. aku seperti terbang, menempuh kecepatan cahaya, meninggalkan awan komulunimbus yang menggelayut manja.

Kudengar kekehan khasnya. Dan aku merasakan langkahnya dipercepat, sehingga kami berada pada posisi yang beriringan. Tak habis pikir, masih bisanya ia mengacak rambutku yang sudah kusut dan bau dengan senyum yang terpatri sempurna di wajahnya.

“Ternyata kau kuat juga ya, Kim.” Ujarnya, tanpa membuat tarikan nafasnya menjadi tak beraturan.

Aku ingin menjawab dengan bangga, namun aku tidak ingin karena perkataan Diaz, membuatku kehilangan kestabilan nafas yang sudah susah payah kuatur.

Namanya Diaz, kuperkenalkan dia untukmu. Laki-laki manis yang jahil. Wajahnya bulat, namun tidak gemuk. Jika memakai kaos tang top, aku bisa dengan leluasa melihat otot-otot yang seperti roti siap makan itu. tidak terlalu besar, namun tidak terlalu kecil.

Diaz tipe laki-laki yang tidak suka olahraga di dalam ruangan. Gym? Jangan tanya, ia tidak pernah sama sekali memasuki tempat itu. Aku pernah menyuruhkan sekali saja untuk angkat beban, dan yang terjadi malah aku yang diangkatnya seperti karung beras keluar dari tempat itu. aku mengingat jelas saat dimana aku tidak bisa lagi memperlihatkan wajahku di depan teman-temanku yang telah berjerit histeri mengungkapkan kekagumannya pada Diaz.

Diaz lebih suka menyuruhku untuk duduk di punggungnya sembari ia menyelesaikan satu menit push up-nya. Dan aku akan dengan senang hati duduk di sana, sambil berkelana dengan pikiranku. Diaz adalah laki-laki yang tidak terduga. Membangunkanku di tidur malam dan mengajakku berlari keliling kota adalah kebiasaannya. Dan jika aku tidak membuka mata, ia mempunyai seribu cara agar aku memakai sepatu.

Mataku menajam saat lintasan garis finish terlihat. Ingatanku tentangnya perlahan memudar. Hormon endorphin mengalir di nadiku, mengantarkan rasa senang ketika mengetahui sedikit lagi, aku selesai dengan senam kaki yang melelahkan ini.

Kupercepat ritme kakiku berpijak di serpihan serpihan bata merah. Kutarik bibirku, agar sedikit senyuman bisa terbit dari sana. Tapi, tentu itu tidak akan berhasil. Karena Diaz dengan cepatnya menarik tanganku, dan memaksaku untuk berlari lebih kencang, mengikuti kecepatannya. Aku susah payah menyuruhnya berhenti karena itu tidak sesuai dengan tempoku. Namun, yang namanya Diaz, keras kepala.

Alhasil, ia menang, lebih dulu mencapai finish yang sudah kami tentukan sebelumnya. Dengan cengirannya, ia menaruh dua tangannya di bahuku. Mengatur nafasnya yang terengah-engah.

Aku berusaha menyingkirkan tangannya. Tapi, tenaganya terlalu kuat. Gerah, aku tau ia ingin membuatku kesal. Aku tipe yang memang paling anti bersentuhan sesudah berolahraga kardio seperti lari. Dan dia akan senang hati mempermainkan kelemahanku.

“Kau bisa menyingkir. Diaz.” Ujarku lirih, karena nafas yang belum stabil.

Ia menggeleng dengan cepat. Mendekatkan dirinya, dan tanpa sempat menghindar, kini aku sudah berada di dalam pelukannya. Meronta ingin dilepaskan. Bajunya yang basah, dan tangannya yang penuh keringat menempel di leherku.

“Diaz!” pekikku kaget. Ia tertawa mendengarnya. Malah mengeratkan pelukan.

“Lepaskan Diaz! Banyak orang yang melihat, apa kau tidak malu?”

Never, untuk apa? Jika aku malu, maka kau juga sama saja. Jadi aku tidak peduli.” Ujarnya santai.

“Dan lagi, untuk apa kau malu? Jangan terlalu munafik, Kim. Kau tidak senang jika ada laki-laki tampan yang memelukmu dengan gratis? Aku tidak meminta bayaran, jadi nikmati saja.” lanjutnya menjengkelkan. Ia mengoceh lebar menganggumi bahwa tubuhnya itu idaman pada wanita dan selainnya.

Aku tidak tahan. Keringatnya memang tidak bau, sama seperti aroma tubuh alaminya. Namun, yang kurisihkan adalah keringatku yang mengucur kian deras karena panas.

Dan jalan terakhirku hanya menginjak kakinya. Membuatnya menari kesakitan. Pergerakan rasa sakit seperti tusukan jarum jarum kecil menghampiri dadaku, tapi kuabaikan. 

“Diaz! Kau tidak boleh seperti itu.” ujarku kesal.

"Kenapa tidak boleh?"

"Keringatmu bau." alibiku. 

Diaz mengernyit heran, dengan polos mengendus ketiaknya. "Tidak." ujarnya menatapku seperti bayi.

Aku berusaha keras menahan tawa karena tingkahnya. "Terserahmu." kataku beranjak menuju tempat dimana barang-barang kami, kami letakkan. Jaket, dua handuk, tas kecil. Handuk coklat tua kulempar padanya, tidak peduli jika jatuh ke tanah atau berhasil. Aku berusaha mengeringkan diriku sendiri dengan handuk berwarna coklat muda, dengan gambar beruang kutub di ujungnya.

Aku duduk bersila. Membuka air minum, dan meneguknya perlahan. Diaz menghampiriku, dan tidur di sampingku, dengan handuk yang ia jadikan bantal darurat.

“Jangan habiskan airnya, Kim.” Ia memperingatiku. Aku hanya berdeham singkat. Melihat mendung yang semakin tebal saja.

“Hmmm.”

“Sisakan aku juga.” Tambahnya.

Aku menggeram jengkel. “Iya, Diaz! Kau tidak perlu mengingatkanku terus.”

Diaz tertawa kecil. “Aku takut kau lupa.” Katanya mengambil botol yang kusodorkan padanya.

“Hari ini malam minggu, wanna go out?” ajakknya, menoleh manis ke arahku setelah menghabiskan air itu tanpa sisa.

Áku menatap matanya dalam. Diaz adalah teman semasa kecilku. Kehadirannya di hidupku tidak bisa kujelaskan secara jelas, karena banyak keabu-abuan yang menyelimuti kami. Dan aku tidak akan meminta kejelasan, karena aku tidak ingin suatu hal terjadi.

Where?” tanyaku. Diaz mengedikkan bahu sebagai jawaban bahwa ia juga tidak tau.

“Entah, aku hanya malas untuk pulang.” Ucapnya jujur.

“Aku ingin makan dimsum.” Kataku, setelah beberapa detik diam melamun.

Ia menjentikkan jarinya di depan wajahku, tetap dengan senyum cerahnya. “Setuju! Aku akan mengantarmu ke tempat makan dimsum yang enak, Kim. Aku janji kau akan menyukainya.”

“Tidak, kau tidak bisa berjanji.” Kataku sambil menghelas nafas. “Kau saja tidak menyukainya, bagaimana kau bisa mengatakan bahwa itu adalah makanan terenak yang akan aku suka?” tanyaku balik, sembari menarik paksa handuknya untuk kulipat.

Dengan segera, ia memindahkan kepalanya dengan mandiri ke pahaku. Menatapku lekat, dan membuat sesuatu di dalam sana kembali berdegup kencang.

“Kau meremehkanku?” kata Diaz dengan nada tidak percaya yang dibuat-buat. Ujung-ujung bibirku tertarik sendiri melihat tingkahnya. Lucu. Sangat jarang melihatnya seperti ini, apalagi jika di depan orang banyak. Ia paling akan menampilkan wajah yang datar tanpa ekspresi. Dan tersenyum tipis dalam bentuk kesopanan saja.

Aku menggeleng. Merapikan barang-barang kami agar muat di tas kecil itu.

“Aku sudah mengajak teman-temanku untuk makan di sana. Menyimpulkan menggunakan ekspresi mereka bahwa dimsum di sana memanglah juara.” Ia menutup mata, membiarkan angin sejuk menyapu wajahnya. “Jadi, kau pasti suka. Suka seratus persen.”

Tanganku gatal untuk bermain di rambutnya. Namun kutarik kembali. Sadarlah, Kim! Kau tidak bisa melakukan itu. Dadaku berdenyut nyeri, tanpa ia ketahui.

“Bagaimana? Apa kau mau makan di sana?” tanyanya. Nadanya lembut, mendayu di telingaku.

“Aku hanya ingin, makan dimsum tidak terlalu mendesak.”

“Ayolah, Kim. Kita sudah lama tidak keluar dan bebas seperti ini.  Kita dekat, tapi aku tidak bisa mendekatimu begitu saja. Dan kau seakan bisu saat melihatku berpapasan.” Ujarnya berterus terang.

“Kau seperti berada di duniamu sendiri. Dan aku ditarik paksa untuk tidak masuk. Barrier-mu sangat kuat.” Tambahnya lagi, menghela nafas berat.

Aku terkekeh, walau dalam hati ada rasa yang kutahan dalam-dalam. “Kau terlalu bermajas. Bukankah sekarang aku di sini?” kataku menyemangatinya. Bahwa aku lupa, untuk mengatakan jika diriku tidak baik-baik saja.

Aku berpura-pura menimbang. Mengetuk dagu dengan jari telunjuk. “Aku akan pergi, jika kau yang trakt-“

“Kapan kau membayar jika pergi bersamaku? Aku tidak akan memungut sepeser uang darimu, Kim. Aku bisa membelikanku makanan itu.” katanya memotong pernyataanku.

“Oh ayolah, akan kubayar semua yang kau pesan, dengan bayaran kau akan menghabiskan malam minggu ini bersamaku, bagaimana? Setuju?” katanya, bangkit dari posisi tidurnya.

Aku tersenyum. “Apakah ada kata lain untuk menolak?” kataku.

Diaz tersenyum tulus, dan itu adalah senyuman manis yang tak hentinya kukagumi. “Tentu saja. Tidak.” Katanya tegas.

Dan malam itu, mulailah waktu kami untuk menghabiskannya. Hingga surya terbit di ufuk timur, dan ketika dirinya sudah kembali ke milik orang lain.

Diaz, laki-laki yang tidak hentinya memutar balikkan fakta dan rasa. Tersenyum dengan dua wanita atau lebih, dan akan berubah di hari kemudian. Aku tidak mengerti jalan pikirnya. Apakah ia memiliki rasa pada semua wanita yang digandengnya, ataukah hanya sebagai bahan permainan? Tatkala ia membuatku melambung tinggi, tidak akan berlaku di menit kemudian saat ia telah menyalur rasa di bibir tipisnya itu.

Rasanya sesak, namun aku bisa apa? Akan gila jadinya jika aku harus marah dan kesal tidak beralasan padanya, bukan?

Terkadang, Diaz memberlakukanku sebagai seorang yang istimewa, namun terkadang ia menjatuhkanku ke parit yang dalam. Aku tidak mengerti arti dari senyum yang terus-menerus kupuja dan kuingat. Apakah ia memang tersenyum, atau ada makna lain yang tersirat?

Aku selalu di dalam belengu abu jika berhadapan dengannya. Seperti sekarang, terjadi lagi.



Angin malam membakar panas, menelusuk sejuk di dalam jaket denim itu. tangannya yang hangat, menggiring kedua tanganku untuk berpegangan erat di pinggangnya, sementara ia melajukan motor sport biru itu dengan kecepatan tinggi.

“Berpegangan, Kim. Aku masih tidak ingin jika harus menjadi tersangka akibat kecelakaanmu.” Katanya.

Dadaku kembali berdegup lebih cepat. Pasokan oksigen mengembung di pipiku, membiarkan semburat merah jambu tipis mewarnainya dengan alami.

Aku menurut untuk mendekatkan badanku. Dan kembali ia berkata sembari suara decakan yang masih bisa kudengar jelas.

“Kau tau, pegangan yang erat, Kim. Aku tidak mau jika harus membayar biaya operasi yang terjadi karena kelalaian dirimu sendiri.” Katanya sedikit lebih keras. Bertepatan dengan motor yang melaju, melebihi kecepatan sebelumnya. Spontan aku mengeratkan pelukan tangan di pinggangnya. Merasakan hangat punggungnya yang terbalut jaket dingin di hari berhujan ini.

Perjalanan itu, adalah perjalanan kesekian kali yang tidak akan bisa kulupakan. Beralasan Dimsum, entah siapa yang memulai. Pohon-pohon rindang di tepi jalan, dan cahaya lentera minyak dari warung dan kafe retro. Aroma tanah yang segar menguak begitu saja, terkena terpa bayu. Lembayung senja mulai pudar di ufuk barat. Gurat kemerahan bercampur malam, berasimilasi dan membias hilang dari peradaban.

Kami terdiam. Aku mengelenakan pikiranku kemana saja. Tetapi tetap berujung dengan laki-laki ini yang menjadi objek utama.

Tiga tahun yang lalu, Diaz datang menghampiriku, dengan wajah yang panik dan nafas tak beraturan. Baju seragamnya basah seperempat karena setengah. Rambutnya acak-acakan, dasinya entah kemana sudah terlempar.

Ia menghampiriku saat tuts piano masih kulantunkan dengan pelan. Suasananya sama seperti sekarang, senja berujung malam. Belum sempat aku bertanya tentang keadaannya, ia sudah memelukku dan menangis sejadi-jadinya.

Meracau, bahwa keluarga satu-satunya telah pulang ke tangan pencipta dunia. Mengatakan bahwa Tuhan sangat membencinya, karena telah menyingkirkan ibunya dari sisinya. Mencerca bahwa ia sangat pilu saat ibunya menghembuskan nafas di dekapannya.

“Kau dimana, Kim? Saat aku mencarimu? Apakah kau juga akan meninggalkanku?” katanya lirih, masih dengan tangan yang mendekap erat tubuhku yang kecil.

Mataku memanas, aku berusaha sangat keras untuk tidak menjatuhkan bulir air mata. Aku tidak ingin ia merasa terpuruk, kini gilirannya yang mengadu, dan aku akan diam menemani.

“Kenapa kau tidak menjawab? Aku mencarimu seperti orang gila, dan kau malah asik memainkan piano tua ini disini. Ini sudah malam, seharusnya kau tidak di sini.” Hatiku menghangat. Aku tersenyum dalam menahan rasa sakit di dadaku yang kembali keluar.

Tidak taukah dia, bahwa sebelum satu-satu keluarganya itu menghembuskan nafas, aku di sana, menunggu ibunya yang bercerita banyak tentang kenangan Diaz saat kecil. Dengan bibir sayu yang masih saja tersenyum bangga. Hatiku nyeri, tenggorokanku kering. Dan saat itu aku hanya bisa mengusap lembut tangan beliau yang tak lagi muda.

“Aku bahkan hanya bisa mendengar namaku yang diucapnya terakhir kali.” Kata Diaz, tangisnya masih mengalir.

Aku belum berkata apa sejak tadi. Dengan Diaz yang seperti ini, ia sudah menyakiti dua gadis sekaligus. Biarlah aku tidak dianggapnya, namun bagaimana dengan satu gadis yang tersenyum pedih mengintip di daun pintu ruangan musik itu?

Diaz, jika memang kau menyukainya, kenapa kau berlari kembali? Kenapa kau egois ingin menginginkan semuanya?

“Kau sudah makan, Diaz?” tanyaku. Memberanikan diri untuk mengusap rambut yang sudah lebat itu.

Mataku menoleh untuk menatapnya lamat, tanganku menengadahkan wajahnya yang merah karena tangis. Aku mengusap pelan, air mata yang masih menderai itu.

“Apakah kau masih ingin menangis?” kataku lirih. Menekan semua sesakan dada yang memberontak untuk keluar. “Kau boleh menangis sepuasmu, jika kau tetap menginginkanku tinggal. Tapi, kau sudah dewasa, Diaz. Kau mempunyai orang yang juga sangat menyayangimu.” Aku menarik kedua bibirku susah payah.

“Dimana kau tinggalkan dia?” dia yang kumaksud saat itu adalah gadis yang kini sedang menjalin hubungan dengannya. Gadis yang beberapa menit lalu sudah berlalu dari tempat persembunyiannya di daun pintu.

Kulihat Diaz tidak terlalu mau membicarakan hal itu. Ia kembali menelungkupkan wajahnya di pahaku. “Aku tidak peduli. Aku sudah bosan dengannya.” Ujarnya singkat.

Hatiku teriris sakit. Taukah dia bahwa setiap kali ia berkata seperti itu, akan ada masalah yang esok akan menimpaku. Diberi julukan pihak ketiga adalah hal yang paling menyakitkan. Apa salahku? Aku sudah berusaha pergi, namun ia seperti menahanku dengan kunci.

Aku memeluknya erat, dan malam itu kami terlelap di sana, dengan Diaz yang balik memelukku.

Aku menghela nafas mengingat itu. kejadian setelahnya membuatku kembali harus mempertahankan tameng dan wajah tanpa ekspresi. Aku ingat saat itu mendung bergelayut di langit.

Seperti Déjà vu. Yang berbeda hanyalah tempat dan waktu. Saat itu, kami di sekolah, dan kini aku terjebak di rumahnya, dengan dua paket dimsum jumbo yang aku yakin tidak bisa menghabiskannya dalam semalam. Apalagi, Diaz membeli dua, mengatakan saat itu bahwa ia akan membantuku memakannya. Jus mangga kesukaanku, dan jus papaya favoritnya. Tidak lupa satu paket susi yang juga ia beli entah untuk siapa.

Hujan di luar sangat deras. Separuh dari tubuhku telah basah, antara memang air hujan, atau sisa keringat di lapangan tadi. Pemandangan luar dari kaca jendela rumah Diaz sangatlah indah. Bintang-bintang bumi yang dibuat dari beribu lentera di tiap bangunan.

Diaz menyukai arsitektur yang unik, elegan namun tetap sederhana. Rumah ini adalah hasil nyata pertama bukti ia mencintai arsitektur sedalam itu.

“Kau tidak ingin ganti baju?” kata Diaz yang entah kapan sudah menggunakan baju kaos berwarna putih, dan celana pendek hitam. rambutnya tersampir handuk putih.

“Kau kehilangan ingatanmu, Diaz?” kataku menyindir. “Aku tidak punya baju di sini.”

Diaz malah mendekat setelah aku mengatakan hal tersebut. harum tubuhnya memang memabukkan. Dan wajah segar sehabis mandi itu, membuatkan kembali terbius.

“Aw!” pekikku tatkala satu sentilan mendarat di dahiku. Dia yang melakukan itu, dengan wajahnya yang sangat menjengkelkan.

“Kau yang hilang ingatan!” katanya. Lalu menunjuk dengan matanya, baju yang sudah ia siapkan entah darimana. Baju setelah berwarna coklat muda dengan rajutan gambaran beruang besar di depan.

Dan saat bibirku sudah ingin bertanya, ia kembali menutup dengan telapak tangannya. “Kau jangan banyak bicara, aku lapar, Kim. Jika tidak mau kau yang kumakan, setidaknya cepatlah mandi, dan cicipi semua makanan itu.” katanya. Tidak lupa menggosok rambutku dengan handuknya.

“Aku lupa menyiapkan handuk. Pakai itu saja!” katanya berteriak, mengambil semua kresek makanan itu menuju dapur.

Setelah mandi, semua hidangan telah tersusun rapi di meja makan, di tambah pemandangan dengan Diaz yang tersenyum seraya mengetik pesan dari ponselnya.

Aku sedikit bertanya-tanya, siapa yang ia ajak bertukar pesan. Tapi lagi-lagi, aku tidak punya alasan untuk bertanya. Dan yang kulakukan hanyalah duduk di sampingnya dan mulai mengambil berbagai jenis dimsum yang sudah ia belikan tadi.

“Katakanlah dulu selamat makan padaku. Kenapa kau menjadi pasif begini.” Ia mendengus, mengambil sumpit yang sudah pas di tanganku.

“Hey! Kembalikan.” Kataku.

“Selamat makan, Kim.” Ujarnya, memakai sumpitku.

“Kenapa kau senang sekali mengangguku, Diaz? Kau bisa mengambil sumpit yang lain.”

Ia menggeleng. “Tidak ada. Pelayan itu hanya memberi sepasang sumpit.” Katanya membela diri. Mencapit-capit udara dengan sumpit bambu ditangannya.

Aku hanya menghela nafas lelah. Aku beranjak menuju ruang tamu, menghidupkan TV tanpa mau tau apa yang akan ia lakukan dengan semua makanan itu. mood-ku sudah dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Padahal aku sudah berpikir bagaimana rasanya jika dimsum itu kucicipi satu demi satu.

“Kau sedang datang bulan, Kim?” tanya Diaz sembari terkekeh.

“Tidak.” Kataku cepat.

“Tapi kenapa kau emosian seperti ini.” Diaz duduk di sampingku, dengan membawa semangkuk besar yang isinya dimsum. Ia mengalungkan tangannya di leherku, membuat jarak kami amat dekat.

“Kau mau?” katanya.

“Aku lapar.” Jawabku, namun manik mataku tetap fokus pada tayangan tv yang menyiarkan salah satu film bioskop yang membuatku tertarik.

Di ujung mata, kulihat Diaz menggeleng kepalanya heran, lalu mengambil satu dimsum dari menggunakan sumpit itu, dan mengarahkannya padaku.

“Bagaimana jika aku akan menyuapimu, dan kau bisa leluasa menonton tayangan itu?” katanya, dengan lembut.

“Hmm.” Ujarku. Dan mulailah satu persatu dimsum hangat masuk ke mulutku. Diaz mengoceh hal-hal yang tidak terlalu jelas kudengarkan.

“Seharusnya bisa seperti ini saja sudah bagus. Udara di luar sepertinya memang mengharuskan kita di sini.” Diaz menyuapkan dimsum ketiga padaku, dan aku masih tetap tidak bergeming.

Kudengar ia menarik nafas dalam. “Kau tidak akan pernah tau, Kim.” Katanya lirih. Aku penasaran, namun aku tetap pada posisiku saat ini.

Hujan sangat berisik di luar. Semakin menderas. Udara dingin ikut masuk ke celah-celah jendela kaca itu.

Sedari lama, Diaz diam membisu, entah apa yang dilakukannya di sampingku. Masih dengan memegang mangkuk yang telah kosong.

“Diaz.” Kataku pelan. Aku menguap, menoleh ke arahnya yang sialnya ia sedang menatapku lekat.

“Hmm?”

“Bersuaralah. Biasanya kau tidak pernah kehabisan kata.” Ucapku.

“Dan sekarang aku kehabisan kata.” Jawabnya, lebih mendekatkan tubuh kami berdua. “Aku terkadang berpikir, sampai kapan aku harus menunggu. Dan kenapa kau tidak pernah bersikap ceroboh?” tanyanya, tidak memutuskan kontak mata kami.

Matanya coklat madu, bersih dan bersinar. Alisnya tebal, walau bulu matanya tidak lentik. Guratan wajahnya memang menegaskan bahwa umum saja jika ia banyak disukai kaum hawa.

“Kenapa kau malah mau melihat sikap cerobohku?”

Diaz tersenyum manis, namun aku melihat kesedihan yang terpantri jelas. “Tidak.” Katanya singkat. Aku mengalihkan tatapanku kembali ke tv.

“Aku ingin mencoba menjadi pahlawan kesiangan yang menyelamatkanmu dari monster.” Aku terkekeh mendengar kata-katanya.

“Ya, kau sudah seperti itu.”

“Kapan?” tanyanya.

Aku terdiam. “Selalu.” Ada rasa dalam diriku yang ingin egois. Mengatakan bahwa bagaimana ia bisa menjadi pahlawan disaat dia sendirilah monster yang selalu ada. Terkadang menggerogoti, dan kembali menyembuhkan.

Bagaimana aku bisa berkata seperti itu?

“Kim.” Panggilnya. Ia menyisir rambut sebahuku dengan hati-hati. Sentuhan kulit tangannya yang sedikit kasar, kembali membuat yang ada di dalam dadaku merontak.

“Aku kesepian.” Tepat saat aku menatap matanya, ia mendekatkan wajahnya hingga hidung kami bersentuhan.

Aku terbius, menatap manik matanya yang tajam dan lembut secara bersamaan. “Apakah kau bisa berjanji tidak meninggalkanku?” katanya, menatap surai beberapa rambutku yang mengenai wajahku, dan membersihkannya.

“Kenapa aku harus berjanji?” tanyaku di tengah ketidakberanian. Kakiku susah payah kusuruh diam. Aku tidak mau jika ia melihatku sebagai gadis lemah.

Bibir kamu bersentuhan, dan kalimat terakhirnya membuat emosi dalam diriku tak terbendung lagi.

“Karena aku membutuhkanmu.”

Air mataku mengalir pertama kalinya di depannya. Aku menutup matanya. Bibirku kelu tidak bergerak. Ia menggerakkannya dengan denyutan kecil yang dimana itu membuat perasaanku seperti terjerembab di jurang dalam yang dingin.

“Kenapa kau egois, Diaz?” kataku saat ia perlahan menyingkirkan tanganku yang ada di matanya.

Ia tertegun melihatku berceceran air mata. “Kim.” Panggilnya.

“Kau membutuhkanku? Dan kau membutuhkan wanita lain. Kau tidak bisa terus-menerus seperti ini, Diaz. Ini salah.” Aku berupaya mengontrol nadaku.

Aku menangkup wajahnya dengan kedua tanganku. “Kau membuatku tidak berdaya. Kau menganggap aku ini apa, Diaz?” cercaku.

“Kau menciumku disaat kau juga bercumbu dengan wanita lain. Kau memelukku disaat kau juga tersenyum hangat ke yang lainnya. Aku tidak mengerti, apa arti diriku di matamu, di hatimu, dan dipikiranmu. Kenapa kau memperlakukanku sesukamu?” ia diam, dengan mata sayu yang menyerang mentalku.

“Tidak ada teman yang saling bercumbu. Kau mengertikan maksudku?” aku menunduk, tak tahan meliat iris mata itu.

“Aku sakit, Diaz.” Kataku terisak. “Kau ingin menjadi penyelamat padahal kau yang membuatku sakit? Apa kau gila, Diaz?”

“Aku membutuhkanmu juga, namun aku tidak seegois dirimu. Kau tidak membiarkanku dengan laki-laki lain disaat kau selalu salah berganti wanita. Apa aku hanya boneka kayu di matamu?”

“Kim, aku tidak bermaksud begitu.” Kata Diaz, memegang kedua pundakku kasar. Matanya berkilat marah.

Aku takut, “Lalu apa?” tanyaku.

Dan ia terdiam tak bisa menjawab. Seketika pandanganku kabur. Kumohon jangan sekarang. Aku tidak ingin ia melihatku lemah. Dadaku kembali terasa tertikam benda keras. Kumohon, setidaknya biarkan aku menunggu jawabannya.

Aku menjerit, nyeri di kepalaku tidak tertahanku. Diaz panik memanggil namaku seraya menepuk pipiku. Aku bertahan di tengah-tengah rasa sakit yang menjalar dari dua arah. Aku menangis sejadi-jadinya. Sejujurnya ini sakit sekali. Sungguh.

Aku meneteskan air mataku haru. Tuhan, biarkan aku sesaat. Aku mendengar sayup-sayup suara Diaz yang meneriakkan namaku, dan telp yang telah tersambung dengan pihak medis.

“Di..az.” kataku lirih, dengan kesadaran yang sudah menipis tipis

“Aku sebenernya menyukainya, jauh sebelum aku tau rasa cinta seperti apa.”

Diaz menggeleng. “Berhentilah keras kepala, Kim! Aku tau, jadi kau harus bertahan.”

“Tidak, tidak ada lagi alasanku untuk bertahan.” Kataku.

“Aku hanya bersyukur, jika masih ada kenangan yang bisa kupeluk erat.”

 


 Untuk Kim Xian.

Hai, Kim. Apa kabarmu? Dimana kau sekarang? Dan dengan siapa? Apakah kau makan dengan baik di sana? Apakah kau bisa tersenyum, dan apakah kau bisa melihatku? Aku sedang menulis surat untukmu, Kim. Surat kesekian kalinya, dan mungkin akan menjadi surat terakhir.

Kim, hari ini hujan kembali turun. Aku kedinginan. Hanya ada baju coklat bergambar panda di sampingku. Menemaniku yang haus akan dirimu. Pemandangan kota di luar sana sangat damai, walau hiruk pikuk terus terdengar dan klakson mobil beberapa kali berbunyi. Apakah kau melihatnya? Senang rasanya jika kau juga melihatnya.

Kim, aku ingin meminta maaf. Bisakah kau mendengar maafku yang keterakhir kalinya? Aku salah karena telah berbohong. Aku salah karena terlalu egois. Dan aku salah karena tidak memberitahumu tentang kebenaran yang selama ini kusimpan rapat.

Aku, tidak ada siapapun yang mengambilku darimu, dan tidak akan ada siapapun yang mengambilmu dari diriku. Kau berkata bahwa aku mengekangmu, semata-mata bahwa aku ingin melindungimu. Mereka tidak baik, dan hanya memanfaatkan dirimu saja. aku tidak ingin kau disakiti lebih dari sekali. Dengan kata lain, biar aku saja yang kau salah pahami.

Wanita-wanita, gadis-gadis itu. Sejak lama tidak berarti. Hanya kau yang berarti, pertama dan terakhir. Aku ingin tau, Kim. Aku ingin tau apakah kau juga mempunyai rasa untukku? Atau hanya seperti itu saja jalannya. Kukatakan, aku memang tidak langsung menyukaimu.

Berawal dari ketidaksengajaanku membaca buku diary-mu yang saat itu tertinggal di kelas. Kau tau betapa sakitnya hatiku saat kau menyembunyikan kebenaran tentang dirimu. Apakah aku tidak cukup kau percaya? Aku akan mendampingimu walaupun kau mengidap sakit apapun itu. Aku berjanji, Kim. Karena itulah aku ingin menjagamu, melampaui batas wajar dimana aku harus berhenti mengkhawatirkanmu.

Suatu hari, aku melihat ibuku menangis sambil memelukmu, dan kau seperti bergumam bahwa kau akan baik-baik saja, kau akan menjagaku, dan kau akan terus di sampingku. Apa itu benar?

Penyakit itu, aku benci, Kim. Kenapa kau tidak memberitahuku. Jika kau pernah bertanya, apa arti dirimu di mataku, bisakah aku bertanya sebaliknya? Seberapa penting aku di matamu? Kau sama saja egois, Kim. Kau membuatku benar-benar terpuruk dan sendiri.

Aku selalu melihat ibuku yang mengantarmu ke rumah sakit, dan saat hari dimana ia menghembuskan nafas terakhir, aku tahu bahwa kau lebih dahulu di sampingnya. Kau begitu menyayanginya. Tidak sebanding dengan sayangku padanya.

Kim, aku mencintaimu. Terlepas dari bagaimana dan kapan adanya. Aku ingin kau tau bahwa aku selalu mendukungmu. Bukan hanya kau saja yang sesak akan hal yang konstan ini, namun aku juga sepertimu, sayang.

Aku ingin kau tahu, bahwa aku selalu berusaha untuk mengungkapkan isi hatiku, dan bersamaan dengan kau yang kembali salah paham. Aku berjerih payah untuk memberi tahumu, Kim. Dan kau malah menganggap itu sebagai hal yang menyakitkan.

Bagaimana aku harus bicara, jika saja telingamu tidak untuk mendengarkanku. Bagaimana caranya aku mengungkapkan, jika matamu saja tidak terlahir untuk melihatku dengan jelas.

Tapi, aku ingin memaafkan diriku sendiri, dan meminta maaf dengan dirimu. Kau kuat, Kim. Aku bersyukur, seperti yang kau katakan. Kenanganmu akan kugenggam erat. Jika memang bisa kulepaskan, akan kusimpan.

Pandora itu indah, Kim. Kau pasti tau tentang itu. Namun, saat menelisik ke dalamnya, kita sama sama terjebak ke dalam hal menyakitkan yang tiada ujung.

 

18 Desember…..

 

Diaz Xenon.

 

 

4 Februari…

Hai, Aku Kim Xian.

Hari ini adalah hari yang menakutkan. Aku divonis penyakit ganas. Mama Diaz menangis, memelukku. Namun entah kenapa aku kelu. Aku tak bisa merasakan empati atau bahkan simpati. Aku hilang rasa.

Apakah aku bisa bangkit, Tuhan? Apakah akan ada mimpi yang terwujud saat aku saja masih bertopang dalam nafas orang lain.

Aku ingin berlalu tanpa tahu yang sebenarnya terjadi. Biarkan aku meminjam sukma ini untuk sementara. Dan akan kukembalikan saat semua telah jelas di mata dan hatiku.

Mimpiku adalah, melihatnya mendengar kata cinta dariku. Apakah itu akan terwujud dengan kondisiku seperti itu?

Tuhan, kuanggap kau membantuku, untuk mewujudkan itu. karena hal itu adalah kunci bahagiaku dimana saja kau akan menempatkanku nanti.

 

 


 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Bagaimana?

S(t)ick with U

UNTUK SIA